nusabali

Mahasiswa Unhi Juara Lomba Karya Tulis Nasional di Samarinda

Berkat Karya Tulis ‘Potensi Limbah Domestik sebagai Biofertilizer Guna Perbaiki Kualitas Tanah’

  • www.nusabali.com-mahasiswa-unhi-juara-lomba-karya-tulis-nasional-di-samarinda

I Made Dwi Mertha Adnyana termotivasi getol ikuti berbagai lomba sebagai modal cari beasiswa kuliah S2, agar kelak bisa angkat kehidupan keluarganya. Maklum, ayahnya hanya seorang juru parkir, sementara ibunya cuma tukang suwun di Pasar Negara

DENPASAR, NusaBali

Mahasiswa Semester V Jurusan Biologi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Made Dwi Mertha Adnyana, 21, tampil sebagai juara I dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa Nasional Festival Euphoria Biologi (Euphorbio) IV di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimatan Timur, 19-21 Oktober 2019. Anak ‘Tukang Suwun’ (buruh jinjing barang di pasar) ini berjaya berkat karya ilmiahnya berjudul ‘Potensi Limbah Domestik sebagai Biofertilizer guna Memperbaiki Kualitas Tanah Menuju Pertanian Berkelanjutan’.

Made Dwi Mertha Adnyana harus berjuang ekstra keras untuk bisa tampil sebagai yang terbaik dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa Nasional Festival Euphorbio IV 2019 di Samarinda. Mahasiswa kelahiran Negara, 30 Juli 1998, asal Banjar Sri Mandala, Desa Dauhwaru, Kecamatan Jembrana ini jawara setelah sukses menyisihkan 277 rivalnya dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia.

Dalam lomba karya tulis tersebut, Dwi Mertha mengungguli dua mahasiswa dari Universitas Mulawarman, yang masing-masing berada di poosisi kedua dan ketiga, serta mahasiswa Universitas 11 Maret Solo yang harus puas berada di posisi keempat.

Menurut Dwi Mertha, karya tulis berjudul ‘Potensi Limbah Domestik sebagai Biofertilizer guna Memperbaiki Kualitas Tanah Menuju Pertanian Berkelanjutan’ sengaja diangkat, setelah melihat data bahwa kondisi tanah pertanian di Bali setiap tahunnya mengalami penurunan. Produktivitas pertaniannya juga mengalami penurunan.

Setelah ditelisik, kata Dwi Mertha, penurunan produktivitas pertanian tersebut disebabkan oleh kualitas tanah yang menurun, di samping karena banyaknya alih fungsi lahan. Selain itu, kualias tanah juga memburuk karena penggunaan pupuk kimia (sintetis), yang menyebabkan turunnya jumlah mikro organisme di dalam tanah.

“Jika kualitas tanah mengalami penurunan, jelas produktivitas pertanian juga anjlok. Kandungan gizi makanan yang dihasilkan pun kurang. Nah, stunting (kurang gizi) itu salah satu sebabnya karena makanan yang dikonsumsi kurang gizi,” ujar Dwi Merta saat dikonfirmasi NusaBali di Denpasar, Selasa (22/10).

Melihat kualitas tanah seperti ini, Dwi Mertha membuat penelitian agar para petani beralih kembali ke pupuk organik. Maka, dia memanfaatkan limbah domestik (rumah tangga) dan limbah organik yang ditemukan di pasar untuk diubah menjadi pupuk hayati (biofertilizer). “Saya memanfaatkan limbah domestik berupa sampah organik yang sering dibuang oleh masyarakat. Juga gunakan sampah organik di pasar, seperti buah dan sayur,” cerita Dwi Mertha.

Menurut Dwi Mertha, pupuk temuannya dibuat dalam bentuk padat dan cair. Pupuknya ini sudah pernah diuji ke Balai Pertanian di Bogor, Jawa Barat. Percobaan kecilnya, pupuk tersebut diujikan ke beberapa jenis tanah. Sebidang tanah tidak diberikan pupuk, sedangkan empat biang lainnya diberi perlakuan dengan kadar pupuk sebanyak 25 persen, 50 persen, 75 persen, dan 100 persen. Hasilnya, dalam sebulan sudah terlihat.

“Dalam waktu sebulan, perbandingan antara tanah yang tidak diberikan pupuk dengan yang diberikan pupuk memang jauh beda, terutama yang diberikan kadar pupuk 75 persen dan 100 persen. Ada peningkatan populasi mikro organisme dan jamur yang baik untuk kesehatan tanah dan tumbuhan,” papar anak kedua dari tiga bersaudara pasangan I Gede Ketut Sunatra dan Ni Ketut Sariani ini.

Menurut Dwi Merta, dewan juri dalam lomba karya tulis ilmiah di Samarinda pun mengapresiasi penelitian yang dibuatnya. Konon, dewan juri tertarik karena belum banyak mahasiswa yang memanfaatkan sampah organik berbagai macam. Selama ini, mahasiswa biasanya memanfaatkan satu-dua jenis sampah saja.

“Awalnya, saya nggak nyangka bisa jadi juara I. Soalnya, yang diajak bersaing kan rata-rata universitas negeri, dan bahkan perguruan tinggi yang masuk 10 besar di Indonesia. Penelitian mereka juga bagus-bagus. Lagipula, saya sempat alami kendala saat presentasi saja,” katanya.

Dwi Mertha mengaku punya beragam alasan kenapa dia aktif mengikuti berbagai lomba selama ini. Salah satunya, sebagai modal agar bisa meraih beasiswa jika kelak melanjutkan pendidikan S2, yang mana salah satu persyaratannya adalah prestasi yang dibuktikan dengan piagam penghargaan. Bidang yang dituju adalah Jurusan Biomedik.

Ada motivasi besar bagi Dwi Mertha menempuh pendidikan setinggi-tingginya, yakni untuk mengangkat kehidupan keluarga suatu saat nanti. Sebab, kondisi ekonomi keluarganya saat ini terbilang sulit. Ibundanya, Ni Ketut Sariani, hanyalah tukang suwun di Pasar Negara yang berpenghasilan maksimal cuma Rp 50.000 sehari. Sedangkan sang ayah, I Gede Ketut Sunatra, hanya juru parkir di Pasar Jembrana dengan pendapatan pas-pasan. Meski dalam kondisi ekonomi yang sulit, Dwi Mertha tak pernah menyerah untuk belajar.

Dwi Mertha mengisahkan, hingga saat ini baru dirinya yang mampu menempuh pendidikan tinggi di keluarganya. Ayah bahkan sempat kaget dan ragu apakah Dwi Mertha bisa membiayainya kuliah. “Dulu saya pilih masuk SMKN 4 Negara Jurusan Keperawatan, dengan harapan lulus sekolah bisa langsung kerja. Nah, setelah tamat, saya ingin lanjut kuliah. Awalnya saya coba ikut SBMPTN di Unud, tapi memang nggak jodoh waktu itu, aya tidak lolos,” kenang Dwi Mertha.

“Akhirnya, saya mendengar kalau di Unhi Denpasar ini ada peluang beasiswa Bidikmisi. Saya coba ikut. Awalnya, orangtua nggak tahu, bahkan bapak kaget saat ada kunjungan rumah untuk verifikasi Bidikmisi. Bapak ragu apa bisa biayai saya kuliah nanti? Saya bilang kalau biaya kuliahnya ditanggung semua sama pemerintah melalui beasiswa Bidikmisi (kusus bagi mahasiswa dari keluarega miskin),” kata Dwi Mertha.

Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama kos di Denpasar, Dwi Mertha berupaya hidup mandiri. Sembari kuliah dan ikut lomba sana sini, dia mengisi waktunya dengan mencari kerjaan tambahan berupa jasa rias (make up artist) dan juga jadi penari lepas.

“Saya dari kecil memang suka menari. Sekarang saya lebih sering ambil job menari joged. Selain itu, saya buka jasa rias, kadang-kadang ada yang wisuda ingin di-make up, saya dicari. Sampai sekarang, saya belum pernah lagi minta bekal ke orangtua. Sebab, bapak dan ibu juga masih ada tanggungan adik yang sekolah SMA,” katanya. *ind

Komentar