nusabali

LIPI: Presiden Punya 3 Opsi Perppu

  • www.nusabali.com-lipi-presiden-punya-3-opsi-perppu

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) Syamsuddin Haris mengungkapkan, ada tiga opsi yang bisa dipilih Presiden Joko Widodo, apabila ingin menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.

JAKARTA, NusaBali

"Pemahaman mengenai perppu KPK itu tidak tunggal. Saya list ada tiga kategori cakupan perppunya," kata Syamsuddin dalam sebuah diskusi di Erian Hotel, Jakarta, Minggu (6/10) seperti dilansir kompas.

Pertama, perppu yang ditujukan untuk membatalkan implementasi UU KPK hasil revisi. Kedua, perppu yang ditujukan untuk menangguhkan implementasi UU KPK hasil revisi dalam jangka waktu tertentu. Opsi kedua ini, akan mendorong proses pembahasan perbaikan ketentuan UU KPK hasil revisi yang bermasalah dan berisiko melemahkan kinerja KPK.

"Dan ketiga yang isinya menolak atau membatalkan sebagian pasal bermasalah yang disepakati antara DPR dan pemerintah," ujar dia.

"Poin saya adalah apabila presiden misalnya takut dengan pilihan yang pertama, beliau bisa pilih yang lain, entah penundaan atau membatalkan hanya sebagian pasal yang sifatnya mengancam independensi atau melemahkan KPK," lanjut Syamsuddin.

Di sisi lain, Syamsuddin pun menilai ada waktu yang pas bagi Presiden Jokowi untuk menerbitkan perppu. Syamsuddin mengatakan, titik tolaknya adalah 17 Oktober 2019.

"Sebab, itu satu bulan sesudah 17 September, di mana disepakati DPR dan Pemerintah UU KPK hasil revisi. Pilihan yang baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober, perppu bisa dilakukan setelahnya. Nah setelahnya itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," ujarnya.

Syamsuddin menyarankan Presiden Jokowi bisa menerbitkan perppu setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Sebab, jika perppu KPK diterbitkan sebelum pelantikan, bisa menimbulkan potensi gejolak yang berisiko mengganggu pelantikan.

"Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas, setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden. Mengapa? Pertama, demi mengamankan pelantikan. Kedua, apabila perppu dilakukan setelah pelantikan, Pak Jokowi legitimasinya lebih kuat karena dapat mandat poltik baru," ujar dia.

 Di sisi lain, Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap, mayoritas masyarakat menilai revisi UU KPK yang baru disahkan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

LSI melakukan survei melalui sambungan telepon pada 4-5 Oktober 2019. Survei melibatkan 1.010 responden yang dipilih secara stratified random sampling para responden yang pernah menjadi sampel LSI sebelumnya. Survei ini memiliki margin of error 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Hasilnya, sebanyak 70,9 persen responden menilai, revisi UU KPK melemahkan KPK. Masyarakat yang menilai revisi UU KPK menguatkan lembaga itu hanya sebanyak 18 persen. Responden yang menyatakan tidak tahu sebanyak 11,1 persen

"70,9 persen publik yang tahu UU KPK, UU KPK itu melemahkan. Hanya 18 persen menyatakan bahwa UU KPK menguatkan," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Djayadi Hanan saat rilis survei di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10) seperti dilansir merdeka.

Melihat hasil survei tersebut, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai sudah tidak ada lagi alasan bagi Jokowi untuk menunda mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu itu dimaksudkan untuk membatalkan UU KPK yang baru disahkan. *

Komentar