nusabali

Seni 'Purba' Selalu Tersedia Penari

Kesakralan Wayang Wong Tejakula, Buleleng

  • www.nusabali.com-seni-purba-selalu-tersedia-penari

Wayang Wong merupakan kesenian yang diwarisi secara turun temurun oleh warga Desa/Kecamatan Tejakula, Buleleng.

SINGARAJA, NusaBali

Karena itu, kesenian ‘purba’ ini hingga kini masih lestari di Buleleng. Gede Komang, salah satu penari Wayang Wong Tejakula yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng, merasa bangga atas kelestarian Wayang Wong. Kata dia, pelestarian seni tradisional kuno Wayang Wong di desanya masih berjalan lancar. Terlebih Wayang Wong bersifat sakral yang dipentaskan di Pura Kahyangan Desa. Kelestariannya pun dijamin tak akan goyah karena regenerasinya menyangkut soal ikatan niskala yang dilakoni penari secara turun menurun.

Namun yang menjadi tantangan serius saat ini adalah kesenian Wayang Wong yang bersifat pertunjukan. Upaya pelestarian dalam konteks ini, disebut Gede Komang, sedikit mengalami hambatan. Sulit mencari penari yang konsisten dalam menjaga semangat berkesenian. “Kalau soal regenerasi tidak susah. Terutama yang bersifat sakral karena bersifat mengikat secara niskala secara turun menurun. Nah tantangan saat ini adalah kontinyuitas seniman kami dalam sekaa Wayang Wong duplikat untuk pertunjukan. Perlu ada tokoh penggerak memberikan daya dorong semangat berkesenian,” jelas Gede Komang yang juga mantan Kepala Dinas Sosial Buleleng.

Dia mengatakan, Tari Wayang Wong Tejakula sudah mendapat pengakuan dunia lewat UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengakuan ini menbuat warga di Tejekula harus memikul beban dan tanggung jawab besar terkait kelestariannya. Beban ini yakni menjaga semangat seniman agar terus berlatih, mengupayakan pelestarian. Langkah ini memerlukan peran dan dukungan pemerintah dalam hal pembinaan, sarana pendukung dan ruang tamping kesenian Wayang Wong.

Gede Komang mulai aktif menari Wayang Wong sejak tahun 2000. Kata dia, Wayang Wong Tejakula merupakan kesenian sangat tua. Kesenian ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17 dengan proses kelahiran yang sakral. Ketika itu orang kepercayaan Ida Bhatara yang berstana di Pura Maksan Tejakula karauhan. Ketika itu, Ida Bhatara meminta harus ada kesenian Wayang Wong yang dipentaskan di Pura Maksana serta pura-pura lainnya di Desa Adat Tejakula.

Pasca muncul petuah itu, para tokoh seni di Desa Adat Tejakula berkumpul dan sepakat membuat sebuah kesenian Wayang Wong. Dalam kumpulan tokoh seni itu ada I Gusti Ngurah Jelantik seorang seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-16, serta I Dewa Batan, seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-15.

Kedua seniman itu diperkirakan memiliki peran besar dalam kemunculan seni wayang wong di Tejakula. Kedua seniman itu pula yang membuat topeng-topeng berbahan dasar kayu yang menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 buah topeng yang dibuat pada masa tersebut. Ratusan topeng itu terdiri dari beberapa kelompok. Seperti kelompok Sugriwa, Rama, Laksamana, Wibisana, Punakawan, Rahwana, Kumbakarna, hingga kelompok raksasa.

Ratusan topeng itu kini distanakan di Pura Maksan Tejakula. Topeng yang kini diperkirakan berusia 3,5 abad itu masih tersimpan apik di Pura Maksan. Topeng-topeng itu hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja oleh anggota Sekaa Wayang Wong Tejakula yang beranggotakan ratusan orang, terutama ketika diselenggarakan piodalan di pura-pura yang ada di Desa Adat Tejakula.

Dulu kesenian sakral itu juga tak bisa dipentaskan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Misalnya saat piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, ngenteg linggih, serta piodalan di Pura Danka. Sebelum dimainkan, topeng-topeng itu harus melalui proses upacara bakti pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan.

Kesenian Wayang Wong yang sakral ini juga wajib dimainkan bersambung, tidak bisa dimainkan terpenggal atau dimulai pada bagian-bagian tertentu. Misalnya piodalan di Pura Desa Tejakula memainkan bagian pertama epos Ramayana, pada pementasan selanjutnya, harus memainkan bagian kedua. Begitu seterusnya. Jika sudah tamat, cerita dimulai lagi dari bagian pertama.

Sebagai kesenian sakral, Wayang Wong memiliki banyak hal sakral. Sekalipun orang itu tidak bisa menarikan Wayang Wong sebelumnya, namun jika sudah waktunya menari, maka penari yang kejumput (ditunjuk secara niskala) melalui garis keturunan itu akan bisa menari. Bahkan tanpa proses belajar sekalipun.

Warisan menarikan wayang wong itu pun selalu datang melalui garis keturunan ayah-anak atau kakek cucu. Namun bisa datang dari garis keturunan yang lebih panjang lagi. Hal itu dialami Gede Komang yang sebelumnya tak pernah menarikan kesenian wayang wong. Dirinya mendadak bermimpi harus menarikan wayang wong di penghujung era 1990-an silam.

Sebelumnya, Gede Komang tak pernah menarikan kesenian itu. Menontonnya pun jarang, karena dulu dia bertugas di Timor Timur (kini Timor Leste, Red). Namun karena sudah waktunya menari, dia pun menarikannya. “Dulu buyut saya yang menari wayang wong. Karena sudah waktunya, maka saya tarikan. Kalau ditolak, kami percaya ada hal yang buruk. Bisa saja kami mimpi buruk terus menerus atau mungkin sakit menahun. Ini kepercayaan, tapi memang terjadi pada kami,” cerita Gede Komang.

Sejak dimainkan pada abad ke-17 lalu, kesenian wayang wong terus berkembang. Kesenian ini juga mulai disukai wisatawan mancanegara (wisman). Namun karena kesenian itu disakralkan, wayang wong tak bisa dimainkan sembarangan. Pada era 1980-an, Nyoman Tusan, salah seorang seniman wayang wong di desa setempat memiliki ide membuat topeng duplikat. Tujuannya agar kesenian Wayang Wong bisa dimainkan di luar pura, dan bisa dinikmati wisatawan serta masyarakat luas.

Topeng-topeng duplikat itu kemudian dimainkan oleh Sekaa Wayang Wong Guna Murti yang beranggotakan 50 orang. Anggota sekaa ini yang membawa kesenian Wayang Wong ke luar Bali hingga keluar negeri.

Ketua Sekaa Wayang Wong Tejakula ini pun sudah berulang kali menampilakn kesenian ini di luar negeri, mulai dari sejumlah negara di benua Eropa, Jepang, Amerika. Wayang Wong hingga kini terus lestari dengan cara yang mistis. Selalu muncul generasi penerus wayang wong yang akan tetap menari. Bagi mereka, menarikan wayang bukan hanya berbakti dan berkarya pada masyarakat dan adat. Tapi juga sembah bakti mereka pada Sang Pencipta. *k23

Komentar