nusabali

Remaja Bergelut Literasi Digital

  • www.nusabali.com-remaja-bergelut-literasi-digital

LITERASI digital merupakan sikap ketertarikan dan kemampuan menggunakan teknologi digital. Teknologi digital berfungsi sebagai alat komunikasi.

Manfaat penggunaannya, antara lain, untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, mengevaluasi, membangun pengetahuan. Akses terhadap teknologi digital amat masif. Diduga pengguna teknologi digital, seperti internet sebanyak 65 persen dari 132 juta penduduk di Indonesia. Jumlah yang amat fantastis.

Di Bali, terdapat sekitar 22,97 persen dari 3.890.757 jiwa tergolong remaja, berusia antara 10-24 tahun. Mereka ini berpotensi sebagai pengguna internet. Secara kasar, akan ada sekitar 65 persen dari jumlah tersebut yang mengakses teknologi digital untuk berbagai tujuan. Kalau, 1 persen saja dari mereka iseng mengakses situs pornografi, maka akan ada sekitar 38.908 remaja yang berpotensi terekses negatif, seperti pergaulan bebas, perkawinan dini, narkoba, miras, tawuran, atau sejenisnya. Kalau ini benar terjadi pada ‘teruna-teruni’ Bali, apa jadinya generasi penerus ke depan?

Remaja merupakan generasi produktif masa depan Bali. Mereka perlu dibekali pemahaman dan pengetahuan yang benar. Misalnya, mereka perlu memahami tentang kesehatan reproduksi, efek pergaulan bebas atau bahaya mengonsumsi narkoba. Pengetahuan dan pemahaman itu sangat penting bagi kelangsungan pendidikan, kesehatan, dan fertilitas sebagai persiapan dalam membentuk rumah tangga dan mewujudkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Di Bali, rata-rata usia perkawinan berfluktuasi dari tahun 1990, 2000, dan 2010. Usia perkawinan perempuan tahun 1990 tercatat 22,7 tahun. Pada tahun 2000, usia perkawinan perempuan meningkat menjadi 23,1 tahun. Tetapi, usia perkawinan perempuan menurun menjadi 22,4 pada tahun 2010.  Apakah penurunan usia perkawinan ada kaitannya dengan tingginya akses terhadap teknologi digital?  Dengan perkataan lain, apakah kebebasan berkomunikasi lewat teknologi digital meningkatkan motivasi remaja pria maupun perempuan untuk segera membentuk mahligai perkawinan?   

Teknologi digital merupakan sarana penyebaran informasi secara cepat, bebas hambatan, dan relatif murah dibandingkan cara-cara konvensional. Kalau saja, 1 persen remaja Bali mengakses ‘hoax’, berita bohong, tak berdasar atas data, fitnah atau sejenisnya, maka akan ada sekitar 38.908 remaja yang berpotensi memiliki persepsi, sikap, maupun pemahaman salah terhadap pakraman, bangsa, dan negara. Kalau ini benar terjadi pada ‘teruna-teruni’ Bali, apa jadinya generasi penerus Bali ke depan?

Ketiga ilustrasi di atas dimaksudkan untuk membuka sisi lain dari teknologi digital. Literasi digital seharusnya digunakan untuk memeriksa akuntabilitas informasi. Teruna-teruni Bali, harus memfungsikan literasi digital sebagai kompetensi esensial, yaitu mengakses informasi yang terpercaya dan akurat, memperluas koneksi ke berbagai sumber dan komoditas, memanfaatkan informasi untuk meningkatkan produktivitas. Notifikasi-notifikasi yang mengganggu harus dapat dikesampingkan. Literasi digital harus membangun kesadaran, kemampuan menganalisis, dan kemampuan memahami data secara kritis. Informasi yang tidak bisa dipercaya dan tidak akurat bukanlah data.

Kesadaran data mengharuskan interaksi dan transaksi dalam dunia maya. Misalnya, sinkronisasi aplikasi WhatsApp ke Facebook. Kita harus sadar bahwa kita telah mengizinkan segala data percakapan dari akun pribadi untuk diakses oleh kedua media sosial tersebut. Dalam bahasa yang lebih lugas, ketika kita memberikan nomor rekening bank pada suatu perusahaan niaga elektronik, maka kita telah memberi persetujuan kepada pemberi layanan untuk menarik transaksi sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Hal ini berlaku pula pada data-data pribadi lain seperti nomor kartu tanda penduduk, nomor kepegawaian, alamat, dan kontak pribadi. Ketika kita tidak memahami konsekuensi diseminasi data digital, maka kita bisa kehilangan modal atau privasi.

Teknologi digital bukan hanya identik dengan disrupsi, melainkan juga distraksi. Distraksi menjadikan pengguna tidak bisa fokus untuk menyelesaikan tugas dan kewajiban. Akibatnya, ponsel digital yang seharusnya membantu untuk meningkatkan dan mempercepat produktivitas malah menjadi penghambat kinerja. Seharusnya, teknologi digital dimanfaatkan untuk memudahkan urusan menjadi lebih efektif dan efisien, bukan justru melahirkan destruksi maupun distraksi. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar