nusabali

Pesamuhan PHDI Kupas Pelecehan Pura

Hak Waris Krama yang Pindah Agama Juga Diangkat di Pesamuhan Madya

  • www.nusabali.com-pesamuhan-phdi-kupas-pelecehan-pura

Wakil Gubernur Cok Ace harapkan PHDI berikan batasan soal penodaan pura oleh wisatawan

DENPASAR, NusaBali

Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menyoroti tiga permasalahan umat Hindu dalam Pesamuhan Madya IV di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna Denpasar, Selasa (10/9). Ketiga permasalahan dimaksud, masing-masing kasus pelecehan tempat suci, masalah hak waris bagi yang sudah pindah agama dari Hindu, dan pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka 1942 pada 2020 mendatang.

Ketua PHDI Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi, mengatakan ketiga ini diangkat dalam Pesamuhan Madya IV, Selasa kemarin, karena banyak sekali pertanyaan dari masyarakat mengenai hak waris, pelecehan pura, dan pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka. “Khusus pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka, masih ada tumpang tindih apakah dilaksanakan bulan Maret atau April?” ujar Prof Sudiana.

Prof Sudiana menyebutkan, kasus pelecehan tempat suci (pura) selama ini cukup menyita perhatian masyarakat Bali. PHDI sebagai lembaga agama Hindu pun perlu membuat keputusan. “Selama ini, wisatawan bebas keluar masuk (pura), lalu mereka melakukan hal-hal yang kurang berkenan,” kata Prof Sudiana dalam Pesamuhan Madya yang dihadiri pula Ketua Umum PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya itu.

“Apakah (wisatawan) memang tidak tahu atau disengaja, kita belum tahu apa modusnya? Apakah ini kelalaian dari pengemong pura atau ada guide yang sengaja ingin mencari uangnya saja tanpa mau memperhatikan kesucian pura?” lanjut tokoh lembaga umat yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.

Namun, kata Prof Sudiana, keputusan tersebut tidak hanya berhenti di Pesamuhan Madya, melainkan akan ada pembahasan lanjutan dan nyambung dengan rancangan Pergub Perlindungan Pura yang sedang dirancang untuk diusulkan kepada Gubernur Bali. Pergub Perlindungan Pura ini nantinya akan meliputi etika masuk pura, kawasan suci, radius kesucian pura, dan status-status pura.

“Wisatawan kalau tujuannya untuk sembahyang, boleh masuk pura. Tapi, kalau tujuannya hanya wisata, harus dibuatkan tempat yang baik, spot melihat pura tanpa harus masuk ke dalamnya,” tandas Prof Sudiana.

Sementara, Dharma Upapati PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, menyatakan selain pangempon pura yang wajib menjaga kesucian pura, pelaku pariwisata dan dinas terkait yang mengambil keuntungan dari kegiatan wisata di pura-pura juga harus ikut memberikan edukasi tentang budaya dan etika berwisata di pura kepada wisatawan.

“Kita butuh pariwisata, namun tetap jaga kelestarian dan kesucian pura, terutama guide-nya kalau ada. Kalau tidak ada guide, mestinya dibuatkan booklet yang berisi tentang tata cara masuk tempat wisata termasuk pura-pura di Bali. Saat wisatawan turun dari pesawat, di bandara perlu disiapkan booklet sehingga mereka tahu mana yang boleh dan tidak,” jelas sulinggih dari Griya Wanasari, Desa Adat Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan ini.

Selain wisatawan dan umat lain, Ida Pedanda Wanasari juga mengingatkan umat Hindu agar jangan sering melecehkan pura. Salah satu contohnya, ke pura menggunakan pakaian yang tidak etis. Menurut Ida Pedanda, berpakaian kurang etis juga termasuk melecehkan pura sendiri.

“Kita sering melecehkan pura sendiri, kalau ke pura pakai baju tipis, lengannya pendek sekali. Jadi, kalau ingin menjaga kesucian pura, kesucian diri saat ke pura pun harus dijaga. Kita yang lebih dulu wajib menjaga kesucian pura itu sendiri,” tandas Ida Pedanda.

Sedangkan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, berharap PHDI bisa memberikan batasan mengenai mana yang boleh atau bisa dan mana yang tidak boleh. Pasalnya, Bali di satu sisi memerlukan hidupnya pariwisata, namun di sisi lain juga wajib menjaga pura agar tidak ternodai.

“Dalam konsep penodaan, kami berharap PHDI bisa memberikan batasan, seberapa yang dikatakan penodaan, dan batasan yang seperti apa yang tidak disebut sebagai penodaan,” pinta Cok Ace.

Cok Ace menegaskan, Pemprov Bali saat ini sedang menyusun Perda Pelayanan Pariwisata dan satu lagi Perda lagi belum bernama yang nantinya akan menyinggung pencurian pratima (benda sakral), termasuk pengaturan pura-pura besar. “Sedang disusun Perdanya, nanti akan menyinggung termasuk pencurian benda sakral. Masalah pencurian benda sakral ini dimasukkan karena nilai kesakralan benda-benda di pura tidak bisa disamakan dengan nilai benda yang dijual di pasar seni. Termasuk juga konsekuensi pencurian di masing-masing pura, baik Pura Dadia, Pura Kahyangan Desa, maupun Pura Kahyangan Jagat,” jelas tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Gianyar yang notabene mantan Bupati Gianyar 2008-2013 ini.

Sementara itu, dalam Pesamuhan Madya IV PHDI kemarin, masalah hak waris bagi krama yang sudah pindah agama dari agama Hindu ke agama lain, juga diangkat. Pasalnya, ini banyak menjadi pertanyaan masyarakat. Ketua PHDI Bali, Prof Sudiana, mengatakan selama ini orang yang telah pindah agama mendapatkan warisan yang sama, bahkan lebih banyak dari yang masih beragama Hindu.

Menurut Prof Sudiana, hak waris di Bali tidak sebatas pembagian material, tetapi juga nilai dan warisan religius yang harus dipelihara. Jika dilihat dari sisi waris di Bali, seharusnya tidak diberikan waris lagi bagi yang telah pindah agama, karena sesungguhnya mereka sudah meninggalkan keluarga. Mereka juga tidak lagi ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan pura, adat istiadat, dan agamanya (Hindu). Dalam agama Hindu di Bali, yang berpindah agama disebut ninggal kedaton, patita, dan ninggal sesana.

“Masyarakat resah, kalau ada pelaba pura atau pura yang berkaitan dengan umat Hindu yang masih percaya dan merawatnya, ketika dimenangkan oleh mereka yang sudah pindah agama. Ini tentu jadi masalah. Berat juga masalah among-amongan, orang Bali yang masih Hindu yang punya kewajiban merawat pura, kemudian yang pindah agama tidak punya tanggung jawab lagi terhadap keberlangsungan pura, malah dapat warisan yang sama. Ini tidak adil dalam posisi memelihara adat, budaya, dan agama yang bernafaskan Hindu,” tegas Prof Sudiana.

Sedangkan untuk pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Caka 1942 pada 2020 mendatang, menurut Prof Sudiana, masih ada tumpang tindih. Ada dua pandangan terkait hal ini, yakni jatuh pada bulan Maret dan April 2020. “Jika dilihat dari sistem kalender Bali, mestinya di bulan Maret,” katanya.

Selain itu, ada juga masyarakat mengusulkan Tawur Agung Kesanga Provinsi Bali (sehari sebelum Nyepi Tahun Baru Saka) agar dilaksanakan di kawasan seputar Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar. “Ada usulan masyarakat untuk melaksanakanTawur Agung Kesanga di Renon (maksudnya Niti Mandala Denpasar, Red). Namun, Tawur Agung Kesanga Provinsi Bali secara sastra dan keputus-an PHDI dilaksanakan di Pura Agung Besakih,” terang Prof Sudiana. *ind

Komentar