nusabali

Era 4.0 'Paksa' Seniman Berpikir Terbuka

  • www.nusabali.com-era-40-paksa-seniman-berpikir-terbuka

Era 4.0 ditandai arus informasi dan komunikasi global tak bisa dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali seniman.

GIANYAR, NusaBali

Dalam era digital ini seniman ‘dipaksa’ untuk berpikir terbuka, mulai dari ide, proses penciptaan hingga menemukan pasar.  Hal itu terungkap dalam Seminar Seni Rupa bertema ‘Prosfek Pendidikan Seni Rupa di Era 4.0’ digelar Program Studi Seni Murni

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar, di Museum Arma, Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, Jumat (6/9) siang. Seminar dengan empat pembicara pakar seni yakni Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Sugiartha, dosen seni rupa Undiksha Singaraja Dr Hardiman, pemilik Museum Arma AA Gde Rai alias Gung Rai, Direktur Museum Rudana yang anggota Komisi X DPR RI Putu Supadma Rudana.

Bahasan seni dalam seminar tersebut lebih terpantik pada tiga relasi yakni teknologi seni, proses penciptaan, dan kemanfaatan berkarya untuk kehidupan seniman.

Seminar dipandu I Wayan Karja, dosen Seni Murni ISI Denpasar. Empat pembicara sepakat bahwa seniman pada zaman now ini tak bisa memungkiri kemajuan teknologi dengan segenap piranti yang makin canggih. Hanay saja Agung Rai mengingatkan seniman Bali agar tetap waspada dengan kuasa teknologi era 4.0. Karena era ini cenderung menjadikan seniman Bali yang terkenal guyub dan komunal, berubah drastis menjadi individualis. ‘’Bagaimana canggihnya teknologi itu dipakai, nilai-nilai kegotongroyongan di Bali ini jangan terdegradasi,’’ jelasnya.

Hardiman menekankan, pada era 4.0 seniman ditantang lebih aktif berpikir. Karena karya seni sesungguhnya adalah buah pikiran, bukan bentuk rupa seni. Menurutnya teknologi telah membuka ruang lebar agar seniman lebih berproses aktif melalui pikiran. Dia mengaku  telah menemukan sejumlah perupa di Bali  yang belakangan ini dalam berkarya memanfatakan teknologi. Di antaranya, Gde Mahendrayasa, dan seniman akademis lainnya. Teknologi dimaksud yakni kamera digital, scener, LCD, meski pun dapat sesungguhnya lahir karya kopian. ‘’Memang proses berkarya dengan teknologi ini cenderung menghasilkan artisan bahkan nista,’’ jelas dia.

Dari hasil kajiannya, Hardiman menilai karya karya seni rupa berbasis teknologi sesungguhnya repetisi atau pengulangan. Namun bukan jiplakan, melainkan karya yang disimulasikan secara kreatif sehingga selalu beradaftasi dengan zaman. Di era digital, lanjut Hardiman, seniman makin lazim mengupload karyanya di media sosial, dan terkesan tak perlu pameran.

Bahasan seminar juga mengerucut saat Donal, salah seorang pelukis ‘tetap’ di Museum Arma, yang jebolan ISI Denpasar, mempertanyakan banyaknya peredaran uang di Bali yang tak linier dengan kesejahteraan perupa di Bali. ‘’Dimana titik masalahnya ini,’’ tanya dia. Menanggapi itu, Prof Arya Sugiartha menyarankan, pada era 4.0 ini,  setiap semiman tak hanya bisa berkarya, namun juga harus mahir berkomunikasi dengan setiap orang atau partner dan berjiwa interpreneur. ‘’Makanya kami di ISI menekankan setiap lulusan tak hanya mahir berteori, namun pintar menciptakan dunianya sebagai seniman,’’ tegas guru besar asal Desa Pupuan, Tabanan ini.  

Hardiman menambahkan gaya seniman era 4.0 tak bisa seperti dulu. Seniman kini harus proaktif membuka pasar. ‘’Manfaatkan ‘kekuasaan’ kurator, bukan kritikus. Silahturahmi lah dengan pencinta seni dan kurator untuk merekomendasi karya kepada galeri,’’ jelaqsnya.

Direktur Museum Rudana yang anggota Komisi X DPR RI Putu Supadma Rudana menyampaikan dirinya terus berupaya agar seniman Bali khususnya seniman akademis bisa berkiprah di tingkat pusat. Dia meyakini dengan kreativitas yang tinggi, seniman Bali mampu bersaing di era global.

Selain seminar, Prodi Seni Murni FSRD ISI Denpasar - Museum Arma, juga menggelar Pameran Seni Rupa dan workshop seni di museum setempat. *lsa

Komentar