nusabali

Tabanan Kewalahan Pertahankan Bengang

  • www.nusabali.com-tabanan-kewalahan-pertahankan-bengang

Tahun 2011-2017 alih fungsi lahan persawahan menjadi perumahan rata-rata per tahun mencapai 53,40 hektare.

TABANAN, NusaBali

Kabupaten Tabanan kini makin kehilangan bengang (zona hijau di  pinggir jalan raya). Bengang yang hampir habis antara lain di jalur Tabanan - Yeh Gangga, Kediri-Tanah Lot, dan lainnya. Kondisi ini akibat kahan pertanian makin hari beralihfunsgi jadi pemukiman dan tempat usaha.

Akibatnya, pemandangan bengang yang sebelumnya hijau kini berwarna-warni. Data di Dinas Pertanian Tabanan, tahun 2011-2017 alih fungsi lahan persawahan menjadi perumahan rata-rata per tahun mencapai 53,40 hektare dari luas lahan sawah di Tabanan tahun 2011 mencapai 22,435 hektare dan tahun 2017 mencapai 21,089 hektare. Dari 10 kecamatan di Tananan, domiman alih fungsi lahan ada di enam kecamatan yakni Kecamatan Kediri, Tabanan, Selemadeg, Selemdadeg Timur, Selemadeg Barat dan Kerambitan.

Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Bapelitbang) Tabanan Ida Bagus Wiratmaja mengakui, beberapa titik di Tabanan dan Bali umumnya, sudah kehilangan bengang. Kondisi ini dipicu oleh kemajuan ekonomi, pertambahan jumlah penduduk baik karena kelahiran, migrasi, urbanisasi, dan perbaikan derajat kesehatan "Bengang adalah tanah milik masyarakat kecuali Pemkab atau Pemprov mau membeli bengang tersebut sebagai land banking mereka (masyarakat) barulah akan bisa diatasi dan dikendalikan peruntukan ruangnya," ujar Wiratmaja, beberapa waktu lalu.  

Sepanjang penduduk terus bertumbuh karena banyaknya ‘gula-gula’ di Bali, jelas dia, maka bengang akan terus menjadi tempat kegiatan non pertanian. "Akibatnya batas-batas alam wilayah dan administrasi akan hilang," bebernya.

Menurut Wiratmaja terkait tata ruang, memang harus ada kebijakan yang mengaturnya dan tentu saja membangun inovasi-inovasi demi kesejahteraan masyarakat dengan berbasis perdesaan. "Kalau di Tabanan sendiri tentu saja akan terjadi. Dimana embrionya sudah jelas sudah banyak batas-batas desa yang awalnya bengang sekarang ‘bengong’ karena masyarakat juga bengkung (bandel)," ujarnya sambil tersenyum.

Atas kondisi seperti itu, jelas Wiratmaja, pemerintah hanya bisa bengong saja melihat kondisi tersebut. Bahkan sekarang banyak yang tidak menyadari dampak negatif yang akan ditimbulkan. Namun ada juga yang bangga bahwa kemajuan ekonomi sudah merambah desanya dengan indikator sudah mulai ramai ada bangunan masuk ke desanya. Sementara yang menyebabkan masyarakat bengkung karena memang kebutuhan akan ruang sudah mulai sesak di induk semangnya sehingga mereka harus keluar untuk membangun ruang baru bagi keluarganya. "Jadi mereka ini tidak punya pilihan-pilihan sehingga merambah ruang-ruang hijau yang menjadi hak miliknya termasuk bengang-bengang tersebut," jelasnya.

Cara mengatasi, pemerintah dan masyarakat harus bersinergi. Untuk pemerintah perketat migrasi penduduk ke Tabanan atau pun Bali. Papar Wiratmaja, kegiatan-kegiatan memanjakan masyarakat, seperti pengobatan gratis dan berlomba memberikan pelayanan plus justru mengundang migrasi ke Bali. Bangun desa dengan serius, tidak omdo (omongan doang), serta parsial tidak komprehensif untuk mengurangi arus urbanisasi ke kota. Kemudian libatkan adat dalam pengendalian dan pengawasan kependudukan dan bangun tata ruang yang sustainble, inklusif dan bertaring melalui penegakan perda dan tata ruang. "Yang terakhir, sisihkan anggaran 10 persen setiap tahun untuk membeli lahan dalam pola land banking sehingga pemerintah lebih mudah mengendalikan tata ruangnya," tegas Wiratmaja.

Langkah untuk pemberlakukan jalur hijau di jalur yang melanggar, Wiratmaja menegaskan, perda harusnya kuat dapat mengendalikan tata ruang hijau di jalur-jalur yang sudah ditetapkan. "Tetapi kembali lagi seperti tadi, masyarakat tidak punya pilihan untuk kebutuhan ruangnya sehingga kerap terjadi pelanggaran. Akhirnya pelanggaran sebagai penegakan perda oleh tim yustisi menjadi ompong dan akhirnya akan mandul," tandasnya.*des

Komentar