nusabali

Orang Bali Dituduh Korupsi

  • www.nusabali.com-orang-bali-dituduh-korupsi

INI kisah lama, tahun 2005, tatkala Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditahan, sesungguhnya bukan lagi berita heboh.

Penangkapannya Jumat (20/5/2005) cuma rentetan dari cerita korupsi di KPU. Berita itu tak terpaut jauh dengan kisah korupsi di Bank Mandiri yang juga terjadi di tahun itu. Rakyat menanggapi berita-berita penyelewengan uang itu dengan geleng-geleng kepala. Sejak dulu juga begitu, sebelum orde reformasi muncul. Bagi rakyat, praktik korupsi lebih sering cuma sebatas ‘santapan’ tinimbang harapan kelicikan itu akan terbasmi.

Korupsi selalu punya sisi manusiawi, tak cuma skandal keuangan. Kisah Mulyana W Kusuma, anggota KPU, yang dijebak di sebuah kamar hotel Jumat (8/4/2005) malam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih menarik dibanding jumlah uang yang dikorup. Penangkapan aktivis LSM itu mengejutkan banyak orang, karena dulu dia anti penyelewengan. Dia dikenal  aktivis bantuan hukum, dosen kriminologi di Universitas Indonesia. Dia diakui sangat peduli pada pihak yang menjadi korban kesewenang-wenangan. Yang sewenang-wenang itu penguasa yang mengkorup uang rakyat.

Orang Bali merasa terkejut dan ‘dekat’ dengan berita korupsi di Bank Mandiri di tahun 2005 itu juga, karena yang diduga terlibat adalah seorang putera Bali, Wayan Pugeg. Dia Wakil Dirut di bank itu, dan sudah puluhan tahun berkarir di perbankan. Orang Bali mengikuti perkembangan tuduhan korupsi di bank itu tidak semata karena ingin tahu jumlah duit yang ditilep, atau bagaimana uang itu diselewengkan, tapi lebih karena ingin tahu siapa sesungguhnya Wayan Pugeg, bagaimana dia sampai menduduki jabatan itu, dari desa mana dia berasal, di mana semasa muda dia bersekolah, bagaimana pula hubungannya selama ini dengan kerabat-kerabatnya di Bali.

Jika Pugeg bukan orang Bali, penyelewengan di Bank Mandiri tak memiliki magnitude sedemikian kuat. Juga kalau Mulyana cuma seorang birokrat. Sesuatu yang lazim, tiba-tiba jungkir balik, menjadi sangat menakjubkan, aneh, ganjil, ajaib. Dan sisi manusiawi sesuatu yang tiba-tiba berubah jauh lebih menyentuh tinimbang perubahan-perubahan teknis. Jumlah uang yang diselewengkan menjadi tidak terlalu penting, karena mungkin saja jumlah yang jauh lebih banyak sedang dijarah diam-diam tanpa seorang pun tahu. Logika, angka-angka, tak terlalu penting. Pergolakan rasa masyarakat luas menanggapi berita itu, menjadi utama.

Ketika seorang ibu harus mengutil susu di pasar swalayan untuk anaknya, menjadi sesuatu yang mengharukan. Atau emosi masyarakat membaca berita tatkala seorang bapak harus mencopet untuk bayar uang sekolah anaknya, lalu digebuki massa, mungkin tidak terlalu beda dengan kisah Mulyana dan Pugeg yang terjerumus. Ada yang mengharukan di situ, atau perasaan tak rela kenapa itu harus terjadi. Bisa dimengerti, kalau kemudian muncul dugaan, mereka cuma korban dari sebuah sistem yang harus dipertahankan. Mereka cuma tameng untuk menjaga keselamatan, agar sistem bisa tetap berjalan di lintasannya.

Mereka yang berpihak pada Pugeg dan Mulyana kadang menghibur diri dengan menganggap dua orang itu contoh sosok yang berubah oleh kesempatan. Peluang selalu menyediakan iming-iming untuk menerobos. Mereka yang lamban, malas mendobrak tatkala peluang di tangan, sering dituduh pengecut. Peluang acap tidak memberi cukup waktu bagi seseorang untuk bertimbang-timbang. Godaan sering menjadikan seseorang gampang berbulat tekad.

Tapi semua orang tahu, korupsi kini terjadi di sembarang tempat, di setiap waktu. Di Bali entah berapa ribu kali terjadi korupsi, entah dilakukan oleh berapa ribu orang. Tetapi ketika tuduhan korupsi terhadap manusia Bali itu terjadi di Pusat, di sebuah tempat yang mendudukkan seseorang pada puncak karir, tempat yang menjulang, tanggapan pun menjadi lain. Boleh jadi orang Bali tak terlampau bergetar jika korupsi itu terjadi di Bali, dilakukan oleh orang Bali.

Tentu harus diterima dengan lapang dada jika muncul komentar, orang Bali kini punya bakat menjadi koruptor. Tuduhan korupsi terhadap manusia Bali akan mengubah pula citra watak orang Bali. Tentu banyak yang tak sudi menerima begitu saja tuduhan jelek itu. Tetapi tuduhan-tuduhan itu tidak dengan sendirinya membuat orang Bali mawas diri. Tanah Air mencatat kisah tuduhan korupsi dan suap dilakukan Jero Wacik ketika menjabat Menteri ESDM, Putu Sudiantara (anggota Komisi III DPR RI), dan Nyoman Dhamantra (anggota Komisi VI DPR RI).

Pasti banyak orang Bali setuju dengan pernyataan, se­sungguhnya manusia Bali tak punya bakat jadi koruptor, karena manusia Bali dikenal santun, rendah hati, dan jujur. Jika sampai ada yang korup, itu dipandang sebagai tindakan keterlaluan, pasti dilakukan oleh orang-orang yang tidak lagi memiliki jati diri sebagai manusia Bali.

Tetapi tuduhan korupsi terjadi saban hari di Bali. Praktik korupsi itu, sosok sang koruptor itu, sama saja di mana-mana, tidak membedakan bangsa. Mungkin itu sebabnya, kita sering menghibur diri dengan menyebut koruptor itu sebagai oknum. Apakah Mulyana kemudian bisa disebut oknum dosen? Dan Wayan Pugeg sebagai oknum Bali?

Banyak yang merasa pilu jika mendengar kabar mengapa orang harus korupsi. Kepiluan itu kian terasa jika yang dituduh korup itu orang Bali, karena orang-orang di Pulau Surga ini sangat tunduk pada hukum karma. Mereka berniat selalu hidup bersih dan jujur agar terus menerima keadilan tinggal di surga. Banyak yang tidak percaya, kalau sesama mereka berbuat jahat, usil, apalagi menerima suap dan menilep duit rakyat.

Tapi, selalu ada orang jujur yang terjerumus dan ketiban sial. Seorang kepala SMA, orang Bali, di Klungkung, dituduh korupsi dan menyalahgunakan uang untuk bantuan sekolah. Banyak orang kaget, kepala sekolah yang baik dan jujur itu dituduh korupsi. Tapi hukum memang bertugas mencari kesalahan dan kekeliruan yang sekecil pun. Akhirnya si kepala sekolah dibebaskan dari semua tuduhan. Putusan itu tidak dia terima di ruang sidang, di atas pembaringan, karena dia sakit.

Tak lama dia menikmati hidup selepas dibebaskan. Kepala sekolah itu meninggal di kampungnya, usai melakukan kegiatan pagi sehari-hari di pekarangan rumah. Mungkin tuduhan korupsi, menilep uang, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, membuat hidupnya rapuh. Dia menyerahkan karma lebih cepat pada Yang Kuasa. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar