nusabali

Ngelawang, Pertunjukan Seni Budaya atau Ritual Religi?

  • www.nusabali.com-ngelawang-pertunjukan-seni-budaya-atau-ritual-religi

Tradisi Ngelawang yang dilaksanakan sehari setelah hari raya bagi umat Hindu, memiliki makna religius yang kian hari semakin tergeser oleh sebutan ‘Barong ngamen’

DENPASAR, NusaBali.com
Ngelawang, tradisi unik yang kerap dijumpai di kawasan Bali Selatan ini pada umumnya dilaksanakan setiap menjelang hari raya umat Hindu, seperti Galungan, Kuningan, bahkan Nyepi. Tradisi ini identik dengan sekumpulan remaja yang berkeliling memainkan gong dan menampilkan pertunjukan Barong di setiap rumah yang dilewati. Adapun penduduk atau si pemilik rumah akan menonton pertunjukan dan memberi dana punia seikhlasnya. Istilah kerennya, mereka ‘ngamen’. 

Padahal, pada mulanya tradisi Ngelawang merupakan sebuah rangkaian upacara religi yang tak lepas dari mitologi Dewi Durga dan Sang Hyang Tri Semaya yang termuat dalam Lontar Barong Swari.  Alkisah, dalam pengasingannya di bumi, Dewi Uma yang menjelma menjadi Dewi Durga menyebarkan aura negatif, yang kemudian menyebabkan beragam wabah bagi umat manuia. 

Maka dari itu, Dewa Iswara bersama dengan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu turun ke dunia dan berpencar untuk membantu menghilangkan wabah tersebut. Adapun Dewa Iswara menjelma menjadi Barong, yang menjadi asal muasal tarian Barong dalam berbagai ritual, termasuk Ngelawang. 

“Dengan kisahnya yang demikian, maka jelaslah bahwa setiap ada pertunjukan Barong, termasuk Ngelawang, itu sebenarnya bertujuan untuk membersihkan tempat secara niskala,” ujar Dr. Putu Sabda Jayendra S.Pd.H., M.Pd.H., dosen pengajar Agama Hindu di Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional (STPBI) Denpasar, sekaligus pemerhati budaya. 

Lebih lanjut lagi, Putu Sabda menjelaskan, bahwa Ngelawang sejatinya dilakukan dengan menggunakan kostum Barong yang sakral milik desa atau banjar setempat. Maka dari itu, pada ritual Ngelawang yang menggunakan sarana yang sakral, ritual harusnya dimulai dengan maturan banten (menghaturkan sesaji) di pura di desa setempat. Pun sebaliknya, pemilik rumah yang didatangi turut menghaturkan canang dan sesari untuk menyambut penolak bala tersebut, dimana jumlah sesari yang dihaturkan bersifat seikhlasnya tanpa paksaan. 

Namun pada kenyataannya, banyak ritual Ngelawang yang tidak menarikan Barong yang sakral, sehingga tujuan Ngelawang ini pun bergeser menjadi sebatas pertunjukan seni dan untuk mengumpulkan dana punia. Inilah yang kemudian oleh masyarakat menjadi salah kaprah dalam menafsirkan esensi Ngelawang. 

“Dalam Barong yang sakral, ada Ida Betara yang melinggih di sana, sehingga jelas memiliki kekuatan untuk menetralisir kekuatan negatif. Penyebutan namanya juga tidak sembarangan, karena menyebut nama Betaranya, misalnya ‘Ratu Gede’ dan sebagainya, tidak sekadar menyebutkan ‘barong’ saja. Tapi kalau barong yang tidak sakral, masyarakat cuma beranggapan bahwa tujuannya adalah untuk mengumpulkan dana punia dan sekedar tradisi saja, sehingga Ngelawang menjadi identik dengan sebutan Barong ngamen,” papar pemerhati budaya  kelahiran Singaraja itu.

Pergeseran nilai budaya ini tentu akan berpengaruh pada berkurangnya makna religius di dalamnya, meskipun dari sudut pandang seni, dengan masih berlangsungnya tradisi Ngelawang berarti masih ada remaja dan anak-anak yang sejak dini telah turut serta melestarikan budaya lokal. “Kita lihat positifnya saja, syukur anak-anak mau, artinya mereka peduli dengan tradisinya, meskipun dengan catatan bahwa seharusnya ini dibarengi dengan edukasi mengenai arti Ngelawang yang sebenarnya,” jelasnya.*yl

Komentar