nusabali

Tradisi Makotek, Perayaan Kemenangan dan Penolak Bala di Hari Raya Kuningan

  • www.nusabali.com-tradisi-makotek-perayaan-kemenangan-dan-penolak-bala-di-hari-raya-kuningan

Warga Desa Munggu, Mengwi, Kabupaten Badung, menggelar tradisi Makotek atau Ngerebek, Sabtu (3/8/2018), bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. 

MANGAPURA, NusaBali.com
Selama prosesi Makotekan, para pemuda yang berjumlah ratusan  orang, membawa tongkat kayu sepanjang 3 hingga 4 meter dan berjalan mengelilingi wilayah desa diiringi tabuhan gamelan tradisonal. Ketika di persimpangan jalan mereka berkumpul dalam beberapa kelompok dan menyatukan ujung tongkat membentuk piramida.

Saat itu salah satu pemuda akan memanjat tumpukan tongkat tersebut sampai di puncak piramida. Tidak beberapa lama tumpukan tongkat kayu tersebut akan jatuh. Hal yang sama juga dilakukan kelompok lainnya.

Menurut I Putu Suada, ketua pengelola Desa Wisata Munggu, tradisi ini digelar setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali berdasarkan kalender Bali. “Tujuan tradisi Makotek ini adalah prosesi tolak bala dan memohon kemakmuran,” jelasnya.

I Putu Suada menjelaskan pada awalnya tradisi Makotek dilakukan sebagai perayaan kemenangan prajurit Kerajaan Mengwi setelah berhasil mempertahankan wilayah kekuasaannya di wilayah Blambangan, Jawa Timur dari Kerajaan Mataram.

Sebelumnya, perjalanan pasukan Kerajaan Mengwi yang saat itu dinamakan Goak Selem menuju Blambangan tidak berjalan mulus. “Sempat kocar-kacir di tengah laut karena dihadang pasukan Kerajaan Mataram,” jelas I Putu Suada.

Akhirnya pemimpin pasukan Kerajaan Mengwi saat itu, Tjokorda Munggu melakukan meditasi di Pura Dalem Khayangan Wisesa. Selama meditasi tersebut Tjokorda Munggu mendapatkan pawisik yang mengatakan bahwa di bagian hulu Desa Munggu terdapat lempengan tembaga yang dapat digunakan sebagai tombak untuk menangkal pasukan Kerajaan Mataram.

“Nah, tombak dari lempengan tembaga yang dipakai pasukan Kerajaan Mengwi tersebut yang diarak ketika prosesi Makotek dahulu,” tutur I Putu Suada.

Pada masa penjajahan, tradisi ini sempat dilarang oleh Belanda karena khawatir jika akan ada pemberontakan. Namun saat  itu malah terjadi gerubug atau wabah penyakit sehingga banyak orang meninggal dunia.

Akhirnya beberapa tokoh adat saat itu melakukan negosiasi dengan Belanda. Setelah negosiasi berjalan alot, akhirnya tradisi Makotek diizinkan digelar kembali. “Tetapi sarana yang dipakai bukan tombak lagi, namun diganti dengan kayu pulet,” kata I Putu Suada.

Kini tradisi Makotekan tidak lagi hanya sebagai peringatan kemenangan pasukan Kerajaan Mengwi. Tradisi ini juga digelar sebagai penolak bala. I Putu Suada menambahkan tradisi ini juga sebagai sarana untuk menyatukan anak-anak muda di 12 banjar adat yang mengikuti.*zky

Komentar