nusabali

Jero Mangku Boleh Santap Daging Sapi Duwe

  • www.nusabali.com-jero-mangku-boleh-santap-daging-sapi-duwe

Ritual Munggah Wali di Desa Adat Kubutambahan

SINGARAJA, NusaBali

Puncak Upacara Munggah Wali di Pura Merajapati, Desa Adat Tambakan, Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, berlangsung pada Purnamaning Kasa pada Anggara Paing Sungsang, Selasa (16/7). Puncak upacara ditandai persembahan daging sapi dari 28 ekor Sapi Duwe, yang dijuk (diburu) sejak Redite Kliwon Sungsang, Minggu (14/7) lalu.

Puncak ritual Munggah Wali diawali penyemblihan seluruh Sapi Duwe, pada pagi hari sekitar pukul 08.00 Wita. Penyemblihan ini menggunakan senjata Tombak yang disungsung oleh Krama Adat Tambakan. Penyemblihan ini hanya bisa dilaksanakan oleh Prajuru Adat setempat.

Setelah Sapi Duwe disemblih, warga kemudian memotong daging Sapi Duwe untuk dipersembahkan kehadapan Ida Batara di Pura Merajapati. Setelah prosesi Persembahyangan bersama, daging Sapi Duwe kemudian dibagi-bagi untuk seluruh krama, baik itu Krama Pengayah, Krama Pengampel dan Teruna. Masing-masing Krama bisa mendapat bagian 2-3 km daging.

Daging Sapi Duwe ini dinyakini oleh krama setempat memiliki nilai sakral. Daging sapi itu tidak boleh dijual kepada orang luar, namun bebas disantap oleh siapa saja termasuk oleh para pamangku maupun sulinggih.

Menurut cerita Jro Mangku Dalem Made Suarta, bahwa kepercayaan Sapi Duwe itu sakral sudah tertanam sejak lama, secara turun temurun hingga saat ini. Awal dari sejarah sapi yang disakralkan tersebut berpusat di Pura Dalem Tambakan. Pura Dalem tersebut disamping sebagai tempat suci umat Hindu melakukan pemujaan, juga sebagai tempat masyarakat memohon dengan segala macam tujuan atau maksud. Mulai dari keselamatan, ingin memiliki momongan, usaha, kerja, rejeki lainnya. Ketika permohonan mereka terkabulkan, warga masyarakat yang percaya membayar kaul berupa Godel (anak sapi,Red) yang disebut dengan upacara Nawur Bulu Geles yang upacaranya dilakukan pada saat Tilem. Syaratnya Godel yang dipakai membayar kaul itu harus Godel Muani (anak Sapi laki,red) yang bersih atau tidak ada cacatnya.

Kelian Desa Adat Tambakan Jero Nyarikan Komang Nita mengatakan, pisau yang digunakan adalah senjata tombak yang disusung oleh warga desa setempat. Selain senjata itu warga menyakini tidak akan mampu dipergunakan untuk menyemblih sapi. “Sebelum prajuru yang menyemblih, warga tidak boleh langsung menyemblih. Ini juga kenyakinan kami sebagai penghormatan terhadap prajuru adat,” terangnya.

Setelah sapi-sapi itu mati, dagingnya kemudian dipersembahkan kepada Ida Batara yang malinggih di Pura Prajapati tersebut. Di saat persembahan itu, warga juga menghaturkan sesajen yang dibawa masing-masing. Sisa dari daging yang dipersembahkan itu kemudian dibagi oleh semua krama. Daging tersebut hanya boleh dibagi dan tidak boleh diperjual belikan kepada orang luar. Semua warga mendapatkan jatah sesuai yang ditentukan. Daging itu kemudian diolah untuk dihidangkan. Artinya seluruh warga Tambakan, sudah biasa memakan daging sapi kaul. “Kami sangat pantang memakan daging sapi yang dijual-jual. Tapi kalau daging sapi ini, kami sudah biasa dan tidak akan terjadi apa-apa,” kata Guru Jero Budi.

Selain biasa dimakan oleh warga, para Jero Mangku setempat juga terbiasa memakan daging sapi tersebut. Padahal, ada kepercayaan warga apalagi Jero Mangku maupun Sulinggih tidak boleh makan daging sapi. “Di sini biasa, Jero Mangku semuan boleh makan daging sapi Duwe, Peranda juga bisa,” ujarnya.

Jero Mangku Dalem Suartha mengatakan, ada kenyakinan jika daging sapi itu adalah berkah atau merta. Disamping itu, sapi-sapi tersebut sudah melewati berbagai proses upacara sehingga sudah dianggap suci. “Kenapa daging sapi itu bisa dimakan oleh warga dan Jero Mangku, karena sejak pembayaran Kaul hingga ditangkap untuk dipersembahkan kepada Ida Batara semuanya melewati proses upacara, sehinga sapi-sapi itu sudah sangat suci,” terangnya.*K19

Komentar