nusabali

Mengapa Senang di Bali?

  • www.nusabali.com-mengapa-senang-di-bali

Robert Stronks berasal dari Hereford, sebuah kota kecil di Inggris.

Tapi, sudah sebelas tahun dia menjadikan Bali tempatnya bermukim. Dia tinggal di Tabanan. Usianya belum 40 tahun, menderita diabetes mellitus, penyakit kronis yang mengharuskan dia merawat tubuh dengan seksama.

Banyak rekannya, orang Bali, bertanya-tanya, mengapa Robert memilih tinggal di Bali. Di Inggris sana keluarganya punya usaha ternak sapi daging, pasti memberi Robert kemewahan hidup. Namun, dia berkelana ke Bali, dan menyunting seorang gadis Tabanan memberinya seorang anak.

Wajar jika muncul komentar, Robert kepincut sama cewek Bali, sehingga dia memilih tinggal di Bali. Tapi, bukankah perempuan Tabanan itu bisa dia boyong ke Hereford, sekalian mengurus peternakan sapi milik keluarganya? Atau jangan-jangan dia berniat membangun ranch sapi potong di Bali. Bukankah cukup banyak laki-laki asing beristrikan perempuan Bali sebagai kedok biar gampang buka usaha?

Berterus terang juga akhirnya Robert kepada rekan-rekannya, mengapa dia bermukim di Bali. Sebagai penderita diabetes, dia selalu membutuhkan kehangatan, menghindar dari cuaca dingin. Di Bali, matahari bersinar terik sepanjang tahun, sehingga dia memutuskan tinggal di Bali.

Tapi, ada juga kawan yang tidak percaya dengan itu alasan. “Di Pontianak kan matahari juga terik sepanjang hari, setahun penuh, mengapa tidak tinggal di Kalimantan saja?” tanya seorang pemuda Bali yang senang metajen.

“Di Bali, selain cuacanya hangat, warganya juga sangat hangat,” jawab Robert tersenyum. Pemuda yang suka metajen dan bertato di kedua lengan dan betisnya itu juga tersenyum, menyalami Robert dan memeluknya. Hangat.

Beda pula alasan Sigeru Hamada mengapa dia senang dengan Bali. Dia berasal dari Kumanogawa, Prefektur Wakayama. Bapaknya mewarisi perusahaan pengolahan kayu di Wakayama dan usaha perahu buat turis plesir di Sungai Kumano. Dari hasil usaha itu mereka membuka restoran di Nara dan Osaka.

Tentu Sigeru diharapkan meneruskan usaha keluarga itu, karena dia anak lelaki satu-satunya dari empat bersaudara. Tapi dia ogah melanjutkan tahta usaha itu, karena dia mengaku suka bebas, senang berkelana, gemar akan kehidupan yang longgar.

Di Bali Sigeru menyukai Sanur, Ubud, dan Sidemen di Karangasem. Dia menyukai Sidemen karena dusun ini punya Tukad Telagawaja yang mirip dengan sungai di kampungnya di Kumanogawa. Di Telagawaja dia senang mandi, lalu duduk berjemur telanjang di atas batu.

Sigeru tidak suka membaca buku. Dia lebih senang bicara, ngobrol langsung dengan orang-orang yang dia jumpai. Dia menyukai bahasa-bahasa, kehidupan sosial, dan kebudayaan. Kalau mempelajari bahasa dan kebudayaan, itu dia lakukan bicara langsung dengan para penutur, tak perlu belajar dari buku.

Menurut Sigeru, masyarakat Jepang itu kaku, seperlunya saja. Memang mereka santun, tapi tidak santai. “Kalau di Bali orang-orangnya rileks,” kata Sigeru. Dia mengaku pernah cukup lama di Australia, “Tapi saya lebih suka di Bali,” ujarnya.

Tapi, orang-orang curiga Sigeru senang di Bali karena punya rencana hendak mengembangkan wisata rafting di Tukad Telagawaja. Banyak orang Bali yang kemudian berusaha lengket dengannya, siapa tahu diajak berbisnis, mungkin mencari tanah untuk membangun base camp. Bisa lumayan banyak dapat komisi kalau jadi calo tanah.

Tatkala orang-orang terus mendesak bertanya saking ngebet ingin tahu, apa sesungguhnya yang membuat Sigeru senang di Bali, dia menjawab pendek, “Mungkin karena saya tidak suka baca buku ya, sama dengan orang Bali, makanya saya senang di sini. Hahaha…..”

Jika ditelusuri mengapa para pendatang itu senang di Bali, tentu alangkah banyak cerita bisa kita dapatkan. Mereka pasti menyampaikan hal-hal yang sangat menyenangkan yang membuat mereka betah di Bali. Banyak anak muda yang bekerja di gerai-gerai rumah makan di Kuta, Jimbaran, Nusa Dua, Canggu, Sanur, berasal dari Bandung, Semarang, Jogja, Jakarta, atau Surabaya. Mereka kos di kamar sempit agar bisa murah. Tapi, tak sedikit yang kos dengan sewa lumayan, karena bergaji lumayan pula. Mereka lulusan S1 jurusan marketing atau informasi, juga akuntansi.

Mereka mengaku jauh lebih senang mencari nafkah di Bali tinimbang bekerja di Jakarta. “Bekerja di Bali itu santai, terasa selalu libur, padahal kita bekerja,” komentar mereka. Bahkan ada yang berpendapat, “Di Bali itu setiap hari libur. Hahaha.… Kita selalu bertemu orang-orang piknik.” Maka ketika mereka liburan pulang, mereka membujuk rekan-rekannya, “Ayo kerja di Bali saja. Saban hari kita santai, karena bertemu orang-orang tamasya.” Tak heran, jika dari tahun ke tahun pekerja pendatang selalu bertambah jumlahnya di Bali.

Jika orang luar negeri, kaum pendatang, merasa sangat senang tinggal di Bali, apakah orang-orang Bali juga senang hidup di Bali? Bukankah sampai sekarang masih saja ada orang Bali yang berniat bertransmigrasi, pergi merantau ke Sulawesi, Sumatera, Papua? Bisakah disebut mereka, para peminat transmigrasi itu, tidak suka hidup di Bali?

Tapi, pasti sebagian besar, untuk tidak menyebut semuanya, orang Bali senang hidup di Bali. Tinggal di tanah asal membuat mereka tidak terlalu pusing jika menemui kesulitan hidup sehari-hari. Banyak yang tidak punya pekerjaan tetap, yang pengangguran, yang malas, tidak terlalu cemas karena mereka pasti bisa makan. Mereka senang karena selalu bisa terlibat khusyuk, meriah dan mantap, dalam kegiatan upacara adat dan keagamaan. Di mana lagi tempat di dunia yang memungkinkan mereka hidup senang dan senyaman itu, kecuali di Bali? *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar