nusabali

Punya Kekuatan Niskala, Bisa Datangkan Makhluk Halus

  • www.nusabali.com-punya-kekuatan-niskala-bisa-datangkan-makhluk-halus

Keberadaan Tingklik Gambang pemberian Raja Tabanan merupakan cikal bakal berdirinya Desa Antosari. Dalam perkembangannya, Tingklik Gambang digunakan para pendiri Desa Antosari untuk muput upacara pengabenan


Tingklik Gambang Desa Antosari, Hadiah Perang dari Cokorda Tabanan

TABANAN, NusaBali
Krama Desa Pakraman Antosari, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan memiliki Tingklik Gambang, seperangkat alat musik tradisional dari bambu yang usianya sudah sangat tua. Tingklik Gambang ini merupakan pemberian dari Raja Tabanan, Cokorda Tabanan, sebagai hadiah perang saat Arya Bajera dan Arya Kaba-kaba bergolak. Perang saudara itu berhasil digagalkan Raja Tabanan dengan minta bantuan Pasek Wanagiri dan Arya Jembrana.

Tidak jelas, berapa usia Tingklik Gambang yang diwarisi krama Desa Pakraman Antosari dari Raja Tabanan ini. Yang pasti, usia Tingklik Gambang ini hampir sama dengan berdirinya Desa Antosari. Sebab, nama Desa Antosari diambil dari kisah Pasek Wanagiri dan Arya Jembrana dalam menggagalkan perang saudara antara Arya Bajera vs Arya Kaba-kaba.

Nama Antosari berasal dari kata Antos (berarti tunggu) dan Ari (berarti adik). Kisahnya, usai menyerang Arya Bajera, prajurit Pasek Wanagiri dan Arya Jembrana menetap di sebelah barat Desa Bajera, tepatnya di sisi barat tukad Yeh Otan. Desa itu kemudian dinamai Antosari (Antos Ari), tempat di mana Arya Jembrana meminta Pasek Wanagiri menunggu sebelum mematahkan serangan Arya Bajera yang berencana memberontak ke Puri Kaba-kaba.

Kisah ini diungkap Pamangku Palinggih Sapu Jagat, Desa Pakraman Antosari, Jro Mangku Ketut Agus Kerta Wibawa, 43, saat ditemui NusaBali di Banjar Gulingan, Desa Antosari, beberapa hari lalu. “Prajurit yang tinggal di Desa Antosari kemudian diberi hadiah Tingklik Gambang oleh Raja Tabanan. Tingklik Gambang ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya Desa Antosari,” cerita Jro Mangku Kerta Wibawa.

Menurut Jro Mangku Kerta Wibawa, Tingklik Gambang pemberian Raja Tabanan ini dalam perkembangannya kemudian dimanfaatkan para pendiri Desa Antosari untuk muput karya (memimpin upacara) Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, utamanya saat pengabenan.

Tingklik Gambang tua hadiah Raja Tabanan itu sendiri sudah pernah diperbaiki sekitar tahun 1951. Sejak itu, tak pernah lagi dilakukan perbaikan. Namun, kondisinya tetap awet sampai sekarang. “Tingklik Gambang masih kuat sampai sekarang. Bambunya utuh, tidak ada yang dimakan rayap,” katanya.

Saat ini, Tingklik Gambang warisan Raja Tabanan tersebut ditempatkan di Merajan (Pura Keluarga) Keluarga Jro Mangku Kerta Wibawa. Jro Mangku Kerta Wibawa mengatakan, gambang berasal dari kata gamang yang berarti makhluk halus, sehingga identik dengan kejadian-kejadian niskala. Saat upacara Atiwa-tiwa (pengabenan), tabuh Tingklik Gambang berfungsi untuk mengantar atma (roh orang meninggal) menuju sunia loka, sesuai dengan subha dan asubha karma (baik-buruk perbuatan) selama hidupnya.

Jika ditabuh di pura, tetabuhan Tingklik Gambang berfungsi untuk mendak (menjemput) Ida Sang Hyang Widhi dalam segala manifestasinya agar turun ke mercapada (alam manusia), guna menyaksikan yadnya atau upacara yang dipersembahkan. Tingklik Gambang tua waeisan Raja Tabanan ini bukan hanya ditabung di wewidangan Desa Pakraman Antosari, tapi juga hingga ke luar desa.

“Tingklik Gambang ini sering ditanggap (didatangkan bersama sekaa tabuhnya) untuk upacara di pura dan pakubon (rumah warga) yang menggelar upacara pengabenan. Kalau ditanggap orang yang punya gawe ayu (di luar ngaben), belum pernah,” imbuh Jro Mangku Kerta Wibawa.

Jro Mangku Kerta Wibawa memaparkan, sekitar tahun 1950-an, Sekaa Tingklik Gambang Desa Pakraman Antosari pernah ditanggap ke wilayah Kabupaten Jembrana. Namun, saat itu keluarga yang punya hajatan (pihak nanggap) lalai dan kurang sopan terhadap Sekaa Tingklik Gambang Antosari ini.

Apa yang terjadi? Mungkin karena terbawa emosi, saat itu juga penabuh Tingkluk Gambang tanpa sadar memainkan gending Alis-alis Ijo, yaitu nyanyian yang mengundang segala jenis makhluk halus. Akibatnya fatal, pelaksanaan upacara keluarga penanggap berantakan, karena selalu saja ada kelengkapan upacaranya yang kurang. “Namanya gambang, ya identik dengan gamang. Jika gending Alas Ijo dimainkan, maka segala makhluk halus berdatangan dan mengikuti perintah penabuh Tingklik Gambang,” jelas Jro Mangku Kerta Wibawa.  

Selama ini, jumlah anggota penabuh Tingklik Gambang mencapai 6 orang. Mereka yang bergabung sebagai Sekaa Tinglik Gambang, bukan berdasarkan garis keturunan maupun dalam lingkungan satu banjar. Namun, mereka adalah orang-orang yang terpanggil untuk melestarikan warisan leluhur dan mau belajar memainkan Tingklik Gambang.

“Guru Tingklik Gambang kami justru berasal dari Desa Buruan (Kecamatan Penebel, Tabanan). Namun, beliau sudah lama meninggal. Kami belajar kepadanya sekitar tahun 1955,” ungkap salah seorang pengurus Sekaa Tingklik Gambang Desa Pakraman Antosari, I Nyoman Mandi, 64.

Menurut Nyoman Mandi, gending yang dipelajarinya waktu itu, antara lain, Panji Marga, Manuk Kaba, Demung, Wargasari, Wargasari Gegiringan, Singa Nidra, dan Alis-alis Ijo. Setelah menimba ilmu dari guru asal Desa Buruan, kata dia, generasi berikutnya hanya diajarkan oleh panglingsir atau anggota sekaa yang masih bertahan ngayah.

Setiap katanggap (diupah tampil), Sekaa Tingklik Gambang Desa Pakraman Antosari paling banyak bisa memainkan tiga gending, yakni Panji Marga, Manuk Kaba, dan Demung. Sebab, dengan tiga lagu itu, sudah cukup mengiringi ritual ngeringkes (memandikan jenazah) dalam upacara pitra yadnya. Dan, saat sembahyang tarpana (keturunan sembahyang kepada yang meninggal), Tingklik Gambang tidak boleh dimainkan lagi.

Nyoman Mandi mengaku pernah mengalami pengalaman mistik saat ditanggap pentas di wilayah Kecamatan Pupuan, Tabanan sekitar tahun 1960-an. Ketika itu, 6 anggota Sekaa Tingklik Gambang dan pamangku menunggu mobil di pertigaan Desa Antosari, tepatnya di Palinggih Sapu Jagat. Saat mobil Isuzu datang, penumpang sudah penuh sesak. Karena ingin cepat sampai ke Pupuan, maka diputuskan menumpangi mobil Izusu tersebut.  “Saya menyarankan kotak tempat penyimpanan Tingklik Gambang ditaruh di atas mobil. Kernet waktu itu mau menaruhnya di atas, tapi hanya satu kotak. Satu kotak lagi ditaruh di bawah,” kenang Nyoman Mandi.

Begitu akan berangkat, mobil susah dihidupkan, sopir yang membawa dua kernet mencoba mendorong kendaraannya dengan terlebih dulu menurunkan penumpang. Dan, para penumpang juga bantu mendorong, tapi mobil tak juga bisa hidup. Berulangkali dicoba, namun usaha mereka gagal. Salah seorang kernet lalu memindahkan kotak Tingklik Gambang yang ditaruh di bawah ke atas mobil. Setelah itu, mesin mobil langsung bisa hidup. “Sejak saat itu saya percaya Tingklik Gambang punya kekuatan niskala,” tutur Nyoman Mandi. 7 k21      

Komentar