nusabali

MUTIARA WEDA: Golongan Hina?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-golongan-hina

Dia akan jatuh hina, menurut Atri dan Gautama, putra Utathya, bila mengawini wanita sudra, menurut Saunaka bila dia tidak mempunyai anak laki-laki, menurut Bhagavan Bhrgu dia yang mempunyai anak laki-laki dari wanita Sudra.

Sudravedi pataryatre rutathyata nayasya ca,

Caunakasya sutotpattya tadapatya taya bhrgoh.
(Manavadharmasastra, III: 16)


Menurut teks di atas, ada tiga penyebab orang jatuh hina dalam konteks membina sebuah keluarga. Yang menjustifikasi bahwa orang itu benar akan menjadi hina adalah mereka yang sangat dimuliakan, yakni sekelas Maharsi atau Bhagavan seperti Atri, Gautama dan Saunaka, sehingga teks ini bukan main-main dan tidak bisa dibantah kebenarannya pada ‘zaman’ itu. Pertama, orang langsung menjadi hina jika dia mengawini seorang wanita Sudra. Siapa ‘dia’ yang dimaksudkan? Tentu laki-laki. Laki-laki siapa? Dia yang memiliki derajat tinggi. Dari mana bisa mengetahui bahwa ‘dia’ itu derajatnya lebih tinggi? Dari pernyataan ‘wanita sudra’ tersebut. Mengapa demikian? Karena, wanita sudra itulah menjadi penyebab ‘dia’ itu hina. Jika demikian, siapa wanita sudra tersebut? Tentu berasal dari golongan yang ‘hina’, atau dengan kata lain golongan sudra itu adalah golongan ‘hina’. Apa ada sebuah golongan di masyarakat dicap sebagai ‘hina’? Pasti ada, buktinya orang sekelas Bhagavan mengatakannya demikian.    

Kedua, orang menjadi hina jika tidak memiliki anak laki-laki. Artinya, di zaman itu anak laki-laki adalah dambaan. Mengapa? Karena menganut sistem masyarakat patrilineal kaku. Perbedaan anak laki dan perempuan seperti langit dan bumi. Kelahiran anak laki dianggap berkah sementara anak perempuan seperti kutukan. Jika sampai sebuah keluarga tidak melahirkan anak laki-laki, maka mereka akan dihinakan. Siapa yang menghinakan? Apakah keberadaannya sendiri atau masyarakat? Kita langsung bisa memastikan bahwa masyarakat lah yang menghina. Ketiga, keluarga juga menjadi hina walaupun memiliki anak laki-laki tetapi dari perempuan sudra. Seperti itulah konsensus masyarakat di zaman itu, di mana mereka sepakat ada orang yang mulia dan ada orang yang dihinakan oleh karena pengklasifikasian yang demikian ketat.

Bila teks di atas dibaca dalam konteks sekarang, apakah hal tersebut masih relevan? Hindu menyatakan bahwa teks di atas adalah kitab suci yang mesti dijadikan sebagai rujukan utama. Jika demikian halnya, oleh karena kita Hindu, apakah kita mesti merujuk teks tersebut dan tetap melaksanakannya sebagaimana yang dimaksudkan? Jika tidak, apakah kemudian kita menolak teks tersebut dan menyebut kitab itu mengandung unsur diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan? Beberapa orang yang memiliki pandangan bahwa Hindu mengandung ajaran tanpa kekerasan (ahimsa), menekankan pada persaudaraan bagi semua (vasudaiva kutumbhakam), menekankan pada sikap egalitarian (tat tvam asi), dan senantiasa mendoakan agar alam semesta dan semua makhluk berbahagia (loka samasta sukhino bhavantu), tentu bereaksi dengan teks di atas dan menolaknya karena sangat tidak relevan dengan semangat kesetaraan dan nilai-nilai kasih sayang.

Tetapi, jika menolaknya, itu kan kitab suci? Bukankah Adi Shankaracharya mengatakan bahwa di antara semua jenis sumber kebenaran, kitab suci adalah sumber yang paling benar? Bila kitab suci telah mengatakannya demikian, bukankan itu adalah kebenaran yang tidak bisa dibantah? Bukankah kita hanya perlu melaksanakannya saja tanpa harus protes apa-apa? Tetapi, ada teori lain, sebagaimana Mahatma Gandhi katakan, “meskipun kitab suci mengatakan bahwa api itu dingin jangan dipercayai.” Artinya, walaupun kitab suci mengatakan bahwa orang sudra adalah hina, tetapi kenyataannya itu melanggar hak asasi manusia dalam hal prinsip-prinsip kesetaraan, maka hal itu wajib ditolak.

Baik teori Adi Sankaracharya maupun Mahatma Gandhi, walau saling bertentangan, namun memiliki kekuatan argumen yang sama-sama kuat jika dilihat dari stand point-nya masing-masing. Maka dari itu, sebagai orang Hindu yang bijak, mempertentangkan hal itu tentu akan sama-sama melukai. Kita tentu tidak boleh ‘menyalahkan’ kitab suci, tetapi tidak pula mengingkari prinsip-prinsip kesetaraan. Bagaimana caranya? Kita harus membaca teks di atas dari perspektif eksistensinya bukan dari sisi moralnya. Artinya, secara eksistensi memang ada orang hina sebagaimana yang dideskripsikan, tetapi siapa pun tidak boleh menjustifikasinya, karena justifikasi yang muncul dari persepsi adalah produk moral, dan ini tentu melukai prinsip-prinsip kesetaraan. Lalu siapa yang menentukan bahwa orang itu ‘hina’ atau tidak? Dirinya sendiri dan semesta (Tuhan) yang menjustifikasinya. Dengan demikian, prinsip kesetaraan dan teks seperti di atas tetap bisa bergandengan. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta  

Komentar