nusabali

Sudirta Yakin 99 Persen Jokowi-Ma’ruf Menang di MK

  • www.nusabali.com-sudirta-yakin-99-persen-jokowi-maruf-menang-di-mk

Hasil putusan atas kasus sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) akan diumumkan paling lambat 28 Juni 2019 mendatang.

DENPASAR, NusaBali

Dari proses persidangan di MK, pihak Tim Hukum Capres-Cawapres 01 Jokowi- Ma’ruf Amin optimis bakal menang.  Wakil Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma’ruf, I Wayan Sudirta yang ‘tarung’ selama persidangan di MK membeber alasan kenapa optimis bisa menang di MK. Sudirta membeber fakta-fakta yang terjadi di persidangan MK yang membuat Tim Hukum yakin pasangan Jokowi-Ma’ruf bisa menang di MK.

Advokat senior jebolan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) ini di Denpasar, Senin (24/6) siang mengatakan 100 persen keyakinan itu hanya milik Tuhan. Namun dari seluruh proses persidangan 99 persen Jokowi-Ma’ruf bisa menang di MK. “Tanpa bermaksud mendahului majelis hakim kami berkeyakinan 99 persen Jokowi-Ma’ruf menang di MK,” ujar Sudirta.

Menurut Sudirta dari segi hukum, permohonan pihak pemohon pada 24 Mei 2019 yang dijadikan dasar laporan dan pedoman hukum tidak berisi permohonan perselisihan hasil. Walaupun ada permohonan diserahkan lagi pada 11 Juni 2019, hal itu dianggap lampiran oleh MK.

“Yang diminta MK supaya dibacakan kan permohonan pada 24 Mei. Cuman kuasa pemohon kan nggak tunduk atas perintah itu, yang dibacakan malah yang tanggal 11 Juni 2019. Tetapi kami yakin MK pasti pertimbangkan yang 24 Mei 2019,” ujar Sudirta.

Kata Sudirta berdasarkan UU Pemilu, Peraturan MK dan hukum acara tidak boleh pemohonan dalam sengketa Pilpres dilakukan perbaikan yang dapat memperlambat proses persidangan.”Sidang harus selesai 14 hari. Pasti yang diputus dasarnya dari permohonannya pada 24 Mei,” ujar Caleg terpilih DPR RI 2019 Dapil Bali dari PDIP ini.

Yang membuat percaya diri adalah permohonan pada 24 Mei 2019, di mana menurut pandangan tim hukum Jokowi-Ma’ruf tidak memenuhi ketentuan pasal 51 pasal 8 ayat (4) peraturan MK, peraturan nomor 4 Tahun 2018, dimana disebutkan pasal 51, dimana permohonan yang tidak memenuhi pasal 3, 5, 6 dan pasal 8  harus dinyatakan tidak dapat diterima.

“Dalam pasal 8 ayat 4 mengatur, di mana permohonan Pilpres yang disidangkan MK memuat yang berkaitan dengan selisih suara. Nah selisih suara itu tidak pernah ada dalam permohonan pada 24 Mei 2019. Secara hukum permohonan ini tidak dapat diterima. Menurut pasal 51 PMK. Itu dari segi hukum acara formal,” tegas jebolan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Tahun 1976 ini.

Sementara bagaimana soal bukti-bukti lainnya? Sudirta dengan kajian hukum membeber seluruh fakta persidangan. “Kalau dari segi hukum dan substansi masalah ada 5 pokok alat bukti. Di MK itu yang disebut alat bukti surat, keterangan pihak-pihak, saksi-saksi, ahli dan petunjuk,” bebernya.

Dicontohkan Sudirta, bukti surat misalnya, pihak pemohon Prabowo-Sandi pernah sebutkan ada 30 kontainer bukti surat.  Pernyataan yang 26 kontainer kemudian dicabut, sementara yang 4 kontainer tidak bisa dibuktikan. “Salah satunya tentang DPT tidak beres. Ketika MK memberikan batas waktu untuk diserahkan ke sidang, penyerahan juga nggak ada. Jadi yang pernyataan 30 kontainer itu gertak sambal saja,” ujar advokat senior yang mantan Ketua Tim Perancang Undang-Undang DPD RI selama 10 tahun ini.

Kemudian untuk keterangan pihak-pihak, pihak pemohon juga tidak bisa membuktikan. Misalnya dalil adanya TSM (terstruktur, sistematis, masif) tidak bisa membuktikan dengan gamblang. Kemudian soal saksi ahli, dari saksi ahli yang memberikan keterangan di sidang tidak bisa disebutkan bukti-bukti yang didalilkan.

“Ada 17,5 juta DPT bermasalah katanya. Dari 17,5 juta itu ada yang memilih Prabowo-Sandi juga. Dari mana bisa dikatakan DPT-nya lemah? Sudah diverifikasi ulang kok. Ini kan harusnya dimasalahkan sebelum ke MK. Jadi ke mana selama ini?,” sindir Sudirta. Soal perhitungan angka-angka hasil perhitungan pemilu secara manual juga sudah diberitahukan dan dibeber oleh KPU. Dalam UU Pemilu MK hanya menyelesaikan masalah selisih suara.

Di luar selisih suara itu ada penyelesaian oleh lembaga lain. Ada Bawaslu yang menyelesaikan sengketa administrasi, ada Gakkumdu, ada ketika Bawaslu tidak puas bisa ke Mahkamah Agung.  KPU melanggar atuan ada DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). *nat

Komentar