nusabali

MUTIARA WEDA: Para Dewa Memihak?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-para-dewa-memihak

Para Dewa menyukai orang yang bekerja keras dan tidak suka dengan pemalas. Orang yang senantiasa waspada akan mencapai kebahagiaan yang agung.

Icchanti devah sunvantam Na svapnaya sprhayanti

Yanti pramadam atandrah
(Atharvaveda XX.18.3)


MENGAPA para Dewa senang dengan orang yang suka bekerja keras? Apa alasannya tidak suka dengan orang yang tidak bekerja keras? Dewa siapa yang suka pilih-pilih seperti ini? Bukankah Dewa Surya tidak seperti itu? Buktinya Dia menyinari siapa pun orang yang ada di bumi dengan cara yang sama. Dewa Surya tidak pernah hanya menyinari mereka yang suka bekerja keras dan menutup dirinya kepada mereka yang malas. Pekerja keras ataupun pemalas akan mendapat sinar Surya yang sama. Begitu juga Dewa Udara. Siapa pun bisa menghirup udara secara bebas. Jika memang ada Dewa yang memihak, siapakah Dewa itu? Dan, jika pun memihak, lalu apa pentingnya bagi Dewa tersebut?

Jika ditanyakan seperti itu rasanya cukup sulit untuk dijawab, tetapi jika mantra di atas diberikan interpretasi lain dari segi tujuan mengapa dibuat demikian mungkin sangat signifikan. Ada kebenaran absolut yang ingin disampaikan. Jika memang ada kebenaran yang ingin disampaikan, lalu mengapa menggandeng Dewa-Dewa dan menganggapnya suka memihak? Mungkin karena penyampaiannya melalui bahasa makanya memiliki kekurangan. Yang kurang mungkin adalah ‘bahasanya’ bukan ‘maksudnya’.

Pertama, tujuannya adalah mengajak orang untuk selalu rajin. Sejak zaman dulu, Dewa-Dewa merupakan pujaan manusia, lalu, jika sampai Dewa tidak suka, maka diri mereka merasa tidak akan memperoleh berkat dan akan dijauhi Dewa. Jika Dewa jauh, maka perlindungan pada dirinya juga akan menjauh. Dengan demikian, oleh karena takut jauh dari para Dewa, akhirnya orang itu mau bekerja keras. Siapa pun akan suka dengan orang yang suka bekerja keras. Atas dasar inilah Dewa-Dewa diikutkan untuk disebut-sebut mendukung dan tidak menyukai orang yang karakternya bertentangan dari yang diharapkan.

Kedua, orang yang malas-malasan tidak ada gunanya. Orang malas biasanya suka mengeluh merasa ini dan itu, merasa terpuruk, apes, nasib sial, dan lain sebagainya. Ini tidak baik bagi diri sendiri, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Orang malas tidak akan mendapat support dari alam, karena tidak ada ruang di mana support itu harus ditampung. Orang rajin hidupnya lebih mujur ketimbang orang malas, karena setiap upaya akan memberikan peluang. Sementara orang malas tidak menyediakan peluang bagi dirinya sehingga dipastikan nasib buruk akan selalu menimpa. Inilah mengapa Dewa dikatakan memihak kepada mereka yang rajin dan bukan kepada pemalas.

Ketiga, orag rajin itu selaras dengan cara kerja alam semesta. Alam tidak pernah istirahat. Bhagavad-gita bahkan menyebut bahwa sedetik pun alam tidak pernah lepas dari tindakan. Oleh karena itu orang yang suka bekerja artinya orang yang selalu berada selaras dengan resonansi alam semesta. Oleh karena selaras dengan resonansi itu, maka alam akan mendukung apapun yang dikerjakannya. Ada banyak kejadian yang membuat orang rajin itu sukses. Sementara orang malas akan selalu bertubrukan dengan prinsip alam sehingga yang terjadi adalah pertubrukan energi. Ketidakselarasan inilah yang menjadikan hidup mereka yang malas akan terasa berat, dan karena berat, maka dirinya tidak mendapat dukungan sama sekali sehingga apapun kejadian yang ada di depannya tidak akan menjadikan dirinya berhasil. Keselarasan dengan resonansi semesta inilah yang mungkin dimaksudkan dengan Dewa, karena mereka yang selaras selalu menciptakan keberuntungan. Masyarakat mengindentikkan bahwa orang yang beruntung itu adalah orang yang diberikati oleh para Dewa. Atas dasar itulah mengapa dikatakan orang rajin disenangi oleh para Dewa.

Jadi, senang dan tidak senang yang dimuat di dalam mantra ini tidak dalam konteks emosi seperti manusia miliki, melainkan lebih pada kebenaran yang hendak disampaikan. Dengan interpretasi seperti ini kemungkinan logika kita lebih mudah menangkap makna mantra di atas. Jika tidak seperti ini, akan tampak bahwa Dewa-Dewa yang kita kenal seolah-olah memiliki sifat tendensius, arogan, dan sejenisnya yang menyerupai sifat alami manusia. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar