nusabali

Nganten, Payas Agung Mesti Disesuaikan

  • www.nusabali.com-nganten-payas-agung-mesti-disesuaikan

Sungguh kurang elok jika habis melaksanakan upacara, pengantin, apalagi dari keluarga kurang mampu, mesti menanggung utang uang atau material lainnya yang tak kecil.

AMLAPURA, NusaBali

Sastra Hindu yang dipahami krama Bali yakni ada empat tujuan hidup manusia yang dikenal dengan Catur Purusa Artha yakni Dharma (kebenaran luhur), Artha (material), Kama (keinginan) dan Moksa (kelepasan menuju Brahman). Tujuan hidup ini, salah satunya dapat

ditempuh melalui perkawinan. Atau, perkawinan    adalah salah satu bentuk dari perwujudan mencapai hidup, sesuai makna Lontar Agastya Parwa. Dalam teks lontar ini disebutkan  Yatha sakti kayika dharma atau sesuai kemampuan sendiri melaksanakan dharma.

Keutamaan dalam upacara perkawinan sendiri sesungguhnya adalah upacara pesaksian kepada Tuhan (niskala) dan warga masyarakat (sekala). Dengan itu, keduanya atau mempalai telah mengikatkan diri sebagai suami istri, secara lahir dan bathin. Tujuannya adalah membentuk keluarga bahagia. Dalam perkawinan ada dua tujuan yakni mewujudkan artha dan kama, berdasarkan dharma. ‘’Seperti itu makna keutamaan upacara perkawinan, bukan bagaimana jenis payas orang yang melaksanakan perkawinan,’’ jelas Sekretaris Majelis Madya Desa Pakraman Karangasem I Gede Krisna Adi Widana, belum lama ini.

Dia mengakui, perkawinan di Bali belakangan ini cenderung berat dalam prosesi upacara dan nyaris hilang dari pemaknaan dan tujuan agama. Menurut dia, resepsi perkawinan sangat baik dilaksanakan, namun itu bukanlah yang utama. Prewedding (session berfoto memakai payas agung untuk calon mempelai) lanjut pengenaan payas agung pada mempelai atau pengantin saat upacara perkawinan juga tak salah, sepanjang bisa menyesuaikan keadaan. Terpenting mempelai dan keluarga mempelai memahami makna dan tujuan perkawinan. Tak kalah penting tiga kerangka agama Hindu, tatwa, susila dan upacara, wajib diketahui. ‘’Bukti dari penting pemahaman ritual ini, yang utama adalah adanya Sanggar Surya sebagai simbol stana Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih,’’ paparnya.

Lebih dalam lagi, ritual ini memakai sarana Kelabang Kala Nareswari digunakan alas upacara Makala-Kala. Ada tikeh dadakan (tikar ukuran kecil) diduduki pengantin, pengantin laki nyungklit keris sebagai lambang Sang Hyang Purusa. Ada benang putih 50 cm dibentangkan di dua cabang kayu dapdap sebagai simbol lapisan kehidupan yang akan dijalani, juga ada tegen-tegenan simbol pengantin mengambil alih tanggungjawab sekala dan niskala. Terakhir menggelar ritual dagang-dagangan, sebagai lambang suami istri membangun rumah tangga. "Makanya dalam upacara perkawinan sesuai sastra Hindu tidak menyebutkan adanya kemewahan, tidak dikenal ada pra wedding. Boleh mewah asal mampu, agar tidak menambah kemiskinan usai upacara," jelas I Gede Krisna Adi Widana.

Menurutnya, masyarakat di Karangasem khususnya penting untuk mengendalikan diri agar tak setiap mayadnya didasari rasa malu hingga berbiaya tak kecil. Sungguh kurang elok jika habis melaksanakan upacara, pengantin, apalagi dari keluarga kurang mampu, mesti menanggung utang uang atau material lainnya yang tak kecil.

Pemahamannya ini sangat perlu dicermati karena di balik kemewahan berupacara, angka kemiskinan di Karangasem masih relatif tinggi, yakni 42.710 KK. Angka ini tersebar di delapan kecamatan yakni Kecamatan Abang 9.369 KK, Bebandem 4.760 KK, Karangasem 9.634 KK, Kubu 8.166 KK, Manggis 2.350 KK, Rendang 2.104 KK, dan Sidemen sebanyak 2.975 KK. Dari 75 desa dan 3 kelurahan, angka kemiskinan tertinggi di Desa Bunutan, Kecamatan Abang sebanyak 1.941 KK, di Desa Datah, Kecamatan Abang 1.008 KK dan Desa Ban, Kecamatan Kubu 1.870 KK, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu 1.601 KK. *k16

Komentar