nusabali

Pemprov Gelar Oratorium Gerakan Kekuatan Pancasila

  • www.nusabali.com-pemprov-gelar-oratorium-gerakan-kekuatan-pancasila

Koster: untuk Tularkan Semangat Bung Karno ke Generasi Milenial

DENPASAR, NusaBali

Peringatan Hari Lahir Pancasla 1 Juni dan Bulan Bung Karno tahun ini diselenggarakan Pemprov Bali dengan tema ‘Gerakan Kekuatan Pancasila’ (The Movement of Pancasila Power). Pemprov Bali pun secara khusus bikin pagelaran kolosal Oratorium Gerakan Kekuatan Pancasila di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Art Centre Denpasar, Sabtu (1/6) petang, yang sekaligus menandai awal pelaksanaan Bulan Bung Karno.

Ada dua pagelaran penting yang dilaksanakan saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni di Taman Budaya Denpasar, Sabtu petang. Pertama, teatrikalisasi puisi ‘Aku Melihat Indonesia’ yang akan dibawakan langsung Ni Putu Putri Suastini, istri dari Gubernur Bali Wayan Koster. Puisi ‘Aku Melihat Indonesia’ merupakan sajak karya Bung Karno. Kedua, pentas kolosal Oratorium Gerakan Kekuatan Pancasila, yang disutradarai dosen ISI Denpasar, Made Sidia

Pagelaran Oratorium Gerakan Kekuatan Pancasila besok petang akan disaksikan masyarakat lintas agama, para bandesa adat, perbekel/lurah se-Bali, tokoh masyarakat, pejabat Pemprov dan Pemkab/Pemkot-se-Bali, pelajar/mahasiswa, seniman, hingga wakil rakyat. Pagelaran kolosal ini merupakan kegiatan awal dari pekaksanaan Bulan Bung Karno.

Nantinya, Bulan Bung Karno berlangsung selama sebulan penuh mulai 1 Juni 2019. Ini merupakan perayaan Bulan Bung Karno berskala besar pertama di Bali. Selain diisi dengan berbagai lomba yang melibatkan pelajar dan anak muda, Bulan Bung Karno tahun ini juga menampilkan sejumlah pementasan kesenian, termasuk pemanggungan naskah drama yang ditulis oleh Bung Karno.

Gubernur Wayan Koster menyebutkan, pelaksanaan Bulan Bung Karno di Ba-li memiliki lima tujuan utama. Pertama, mengarusutamakan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Bali dalam berbangsa dan bernegara. Kedua, meningkatkan pemahaman masyarakat Bali tentang sejarah, filosofi, dan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, memperkokoh inklusi sosial di tengah kontestasi nilai (ideologi) dan kepentingan yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas.

Keempat, membangkitkan dan memelihara memori kolektif masyarakat Bali tentang ketokohan dan keteladanan Ir Soekarno (Presiden RI pertama) sebagai penggali Pancasila dan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia. Kelima, memperkuat institusionalisasi nilai-nilai Pancasila sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Bali.

Menurut Gubernur Koster, pada bulan Juni yang disebut sebagai Bulan Bung Karno, ada tiga peristiwa historis yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Ketiga peristiwa historis tersebut semuanya berhubungan dengan Bung Karno. “Pada 1 Juni, kita akan memperingati Hari Lahir Pancasila. Pada 6 Juni, kita memperingati Hari Lahir Bung Karno. Pada 21 Juni, memperingati Hari Wafat Bung Karno,” ujar Koster di Denpasar, Kamis (30/5).

Hari Lahir Pancasila merujuk pada pidato Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Dalam sidang yang berlangsung sejak 29 Mei 1945 itu, para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia memperbincangkan sejumlah hal penting, termasuk rumusan dasar negara.

Diskusi tentang dasar negara saat itu tidak menemukan titik terang, sampai kemudian tiba giliran Bung Karno untuk berpidato. Bung Karno yang saat itu baru berusia 44 tahun, berpidato tanpa menggunakan teks. Dalam pidatonya itulah Bung Karno mengajukan rumusan dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila.

Seluruh peserta sidang BPUPKI menerima rumusan itu secara aklamasi. Pidato Bung Karno itu kemudian dibukukan BPUPKI dan diberi judul ‘Lahirnya Pancasila’ oleh mantan Ketua BPUPKI, KRT Radjiman Wedyodiningrat. Pancasila sendiri kemudian ditetapkan oleh BPUPKI sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan.

“Perjalanan hidup Bung Karno bisa menjadi teladan bagi anak-anak muda untuk berani menginisiasi perubahan sosial yang positif dan progresif. Bung Karno itu berani luar biasa. Dalam usia muda, Bung Karno sudah berani melawan penjajahan sampai kemudian ditangkap, dipenjara, dan diasingkan. Tapi, semua itu tidak pernah menyurutkan niatnya untuk melihat bangsa-nya merdeka,” papar Koster.

“Kalau generasi milenial kita bisa meneladani keberanian, kecerdasan, dan semangat kebangsaan Bung Karno, maka yakinlah Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang besar,” lanjut Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Perjuangan Bali ini.

Sementara itu, Bulan Bung Karno yang dilangsungkan di Taman Budaya Denpasar dan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, akan diawali dengan peringatan 74 Tahun Lahir Pancasila 1 Juni di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar, Sabtu besok. Peringatan 1 Juni tersebut akan ditandai dengan Pameran Foto Bung Karno dan Keberagaman Indonesia.

Selain pameran, juga dilaksanakan dua pagelaran penting di Taman Budaya Denpasar, Sabtu petang. Pertama, teatrikalisasi puisi ‘Aku Melihat Indonesia’ yang dibawahan Ni Putu Putri Suastini (istri dari Gubernur Koster). Kedua, pentas kolosal Oratorium Gerakan Kekuatan Pancasila, yang disutradarai dosen ISI Denpasar, Made Sidia.

Bulan Bung Karno juga akan diisi dengan Ramah-tamah Lintas Agama, 6 Juni 2019, untuk memperingati 118 tahun lahirnya Bung Karno. Juga ada pemutaran film dokumenter, Lomba Cerdas Cermat, dan Pidato Bung Karno pada 21 Juni 2019, untuk mengenang 49 tahun wafatnya Bung Karno. Sebagai penutup rangkaian Bulan Bung Karno, pada 30 Juni 2019 akan dipentaskan teater kontemporer berjudul ‘Koetkoetbi’ yang disutradarai Putu Satria.

Teater konteporer ini diangkat berdasarkan naskah drama yang ditulis Bung Karno sendiri. Bung Karno memang sempat menulis sejumlah naskah drama, bahkan mendirikan sebuah grup teater selama masa pengasingannya di Ende, NTT awal 1930-an.

“Yang akan kami pentaskan adalah naskah karya Bung Karno yang berjudul Koetkoetbi. Di permukaan, Koetkoetbi tampak sebagai cerita dendam-asmara, tapi substansinya adalah tentang betapa hidup akan menjadi indah saat kita berani melupakan dendam,” ujar Putu Satria, tokoh teater asal Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng.

Menurut Putu Satria, Koetkoetbi akan dipentaskan dengan menggunakan teknik-teknik pemanggungan drama gong gaya Buleleng. “Drama gong gaya Buleleng memiliki kedekatan dengan seni drama modern, karena akting dan pemanggungannya yang cenderung realis. Drama gong gaya Buleleng lahir dari interaksi dengan teater zaman kolonial, yaitu stambul dan tonil. Sedangkan drama gong Bali Selatan berkembang dari sendratari,” tandas Putu Satria. *

Komentar