nusabali

Wayang Lemah Masih Kokoh di Bumi Bali

  • www.nusabali.com-wayang-lemah-masih-kokoh-di-bumi-bali

DI  tengah masyarakat Bali, aktivitas berkesenian terus berjalan tiada henti, lebih-lebih dalam kehidupan keagamaan, seni adalah sebuah persembahan.

Bahkan mungkin tak ada upacara agama yang selesai dan dianggap sempurna tanpa kehadiran atau penampilan nilai-nilai seni seperti tari-tarian, bunyi gamelan, pengkisahan dalam teater wayang, serta kumandang kidung atau kekawin. Begitu menyatunya agama dan seni sering membuat orang luar Bali kagum sekaligus “bingung” menyaksikan gemuruh pementasan seni di tengah religiusitas upacara agama.

Salah satu kesenian yang sering tampil dalam upacara agama Hindu adalah Wayang Lemah. Wayang Lemah pada umumnya dipentaskan siang hari, wayang ini dipentaskan tanpa kelir atau layar dan lampu belencong Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayangya di atas benang tukelan (seutas benang putih) sepanjang sekitar satu setengah meter yang diikat pada kayu dapdap ditancapkan pada batang pisang di kedua sisi dalang. Gamelan pengiringya adalah gender wayang yang berlaras selendro (lima nada).

Wayang Lemah termasuk salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Sudamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : ngeruat. Dari ketiga jenis wayang itu, Wayang Sapuh Leger diusung paling angker dan paling berat, baik bagi  dalang yang membawakannya maupun bagi yang berkepentingan, yaitu dalam konteks khusus ngeruat orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Sedangkan  Wayang Sudamala dan Wayang Lemah mempunyai fungsi lebih umum yaitu untuk manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya, dan resi yadnya.

Kehadiran Wayang Lemah sangat dibutuhkan dalam Upacara Panca Yadnya. Salah satu dari kelima yadnya yang memerlukan pementasan Wayang Lemah dalam prosesi upacaranya adalah dewa yadnya. Upacara dewa yadnya adalah pemujaan serta persembahan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi  melalui sinar suci-Nya yang disebut dewa-dewi. Pemujaan kehadapan para dewa menyebabkan digelarnya upacara dewa yadnya. Dalam prosesi upacara dewa yadnya selalu disertai dengan pementasan Wayang Lemah.

Dalam ritual agama khususnya dewa yadnya, para seniman dan masyarakatnya  melakukan tugas dan baktinya dengan tulus iklas berdasarkan dengan keinginan menyumbangkan keterampilannya yang disebut ngayah. Budaya ngayah ini selalu diaktualisasikan dan diimplentasikan dalam gerak laku masyarakatnya. Dalam konteks ritual keagamaan tradisi ngayah begitu eksplisit terlihat. Mereka yang tak bisa menari, menabuh, mendalang, atau mekidung, mungkin ngayah menata atau mengerjakan dekorasi panggung. Membantu para penari mengenakan kostum tarinya pun sudah termasuk berperan. Mengangkat gamelan dan mengurus konsumsi penari dan penabuh juga termasuk “berkesenian”.

Kesenian  Bali berkaitan erat dengan agama Hindu yang dipeluk mayoritas penduduknya. Maka tak salah bila dikatakan bahwa eksistensi kesenian Bali banyak terkondisi oleh tradisi ngayah. Seniman seni rupa dengan merasa bahagia bila sempat menyumbangkan kebolehanya dalam membuat benda-benda keagamaan. Seorang penari Topeng Pajegan akan merasa puas bhatinya bila sempat unjuk kemampuan saat prosesi upacara sedang berlangsung. Para seniman karawitan akan merasa berperan bila ikut memberi suasana hikmat lewat permainan gamelanya.

Namun kini di Bali, sedikit sekali terdapat seniman-seniman muda yang mau menggeluti seni pedalangan khusunya Wayang Lemah, padahal upacara ritual di Bali yang membutuhkan kehadiran dalang Wayang Lemah masih kokoh. Hampir dalam setiap penyelengaraan ritual penting di pura, di banjar maupun di rumah masyarakat, memerlukan pertunjukan Wayang Lemah. Akan tetapi sering penyelenggaraan upacara adat dan keagamaan tersebut kesusahan mencari dalang Wayang Lemah.

Di beberapa desa, pertunjukan Wayang Lemah disebut “ngiring pedanda“ (mengikuti pendeta) yaitu ketika pendeta selesai mengumdangkan doa mantranya (mepuja) maka Wayang Lemah juga selesai, meskipun ceritanya belum selesai. Struktur pertunjukan wayang terurut dari Tabuh Petegak, Pemungkah, Gilak Kayonan, Rundah (adegan sidang), Angkat-angkatan, Rebong, Bapang Delem, Pesiat dan terakhir ditutup dengan Tabuh Gari. Cerita yang dibawakan pagelaran Wayang Lemah untuk upacara dewa yadnya diambil dari epos Mahabharata, misalnya “Raja Suya“ yang mengisahkan sebuah upacara yang bernama Raja Suya yaitu penobatan Yudistira sebagai Raja Indraprasta.

Karena begitu pentingnya fungsi Wayang Lemah dalam ritual keagamaan di tengah masyarakat Bali, kini diperlukan perhatian dan kesungguhan kita semua memberdayakan eksistensi para pelakunya, dalang dan pemain gamelannya. Oleh karena itu, semua pihak, khususnya pemerintah dalam hal ini, sepatutnya memberi apresiasi dan kontribusi yang asih pada para seniman dalang Wayang Lemah, baik motivasi secara material maupun stimulasi secara moril. 7 (Dr Kadek Suartaya SSKar MSi-Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar)                 

Komentar