nusabali

Awalnya Berserak di Tepi Sungai, Lalu Ditata dan Dibuatkan Palinggih

  • www.nusabali.com-awalnya-berserak-di-tepi-sungai-lalu-ditata-dan-dibuatkan-palinggih

Krama Desa Lokapaksa yang memiliki hajatan di rumahnya selalu menghaturkan sesajen apa saja yang mereka buat ke Palinggih Dewa Ayu di situs batu Megalitikum. Jika tidak, makanan akan cepat habis, meskipun tamu sedikit

Situs Batu-batu Berlubang Pencelupan Tekstil Megalitikum Ditemukan di Desa Lokapaksa, Seririt

SINGARAJA, NusaBali
Tak banyak orang tahu, ada belasan batu besar berlubang seperti lesung berjejer di sepetak lahan kawasan Dusun Pamesan, Desa Lokapaksa, Kecamatan Seririt, Buleleng. Batu-batu berlubang berbentuk pesergi panjang dan bundar tersebut dipercaya warisan zaman Me-galitikum, yang dipakai nenek moyang warga setempat untuk tempat pencelupan tekstil.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti sejak kapan belasan batu berlubang mirip lesung yang kini berjejer di bantaran Tukad (Sungai) Saba---sungai yang membelah Kecamatan Seririt---ini dibuat. Pasalnya, hingga sekarang tidak ada prasasti maupun satra lontar yang menceritakan tentang keberadaan batu-batu tersebut. Warga Dusun Pamesan, Desa Lokapaksa hanya mengetahui keberadaan batu-batu tersebut dari cerita tetua mereka sebelumnya.

Sebelum dievakuasi dan dijejer ke bantaran Tukad Saba, batu-batu berlubang tersebut mulanya dibiarkan berserak begitu saja di tegalan pinggir sungai. Barulah sekitar tahun 1999, batu-batu tersebut ditata secara swadaya oleh warga setempat. Penataan dipelopori oleh keluarga I Gede Degdeg, 60.

Penataan tersebut didasari adanya pawisik (petunjuk niskala) yang sering didapatkan anggota keluarga Gede Degdeg. Sesuai pawisik yang diterima, mereka diminta menata dan mengumpulkan keberadaan batu-batu yang dipercaya bekas alat pencelupan tersebut. Keluarga Gede Degdeg pun diminta membuatkan palinggih (bangunan suci) untuk batu-batu tersebut.

Menurut Gede Degdeg, tahun 2000 penataan dilanjutkan dengan pembangunan Palinggih Dewa Ayu, sebagai penguasa batu-batu tersebut. Penataan batu-batu berlubang ini dilakukan secara sederhana di lahan seluas tak lebih dari 1 are. Palinggih Dewa Ayu sendiri dibangun di sisi selatan yang posisinya lebih tinggi.

Kemudian, di depan Palinggih Dewa Ayu, dijejer batu-batu berlubang yang jumlahnya mencapai 12 butir. Batu-batu tersebut dijejerkan ke arah utara menjadi dua baris. Sedangkan di pojok timur lautnya, juga dibangun Palinggih Wong Aamar (makhluk halus), yang selama ini diyakini warga setempat memiliki nilai magis sangat tinggi.

Sejak mulai ditata belasan tahun silam, palinggih si situs batu-batu berlubang ini memiliki tegak piodalan (karya pujawali) yang dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Wage Klawu, dengan menyungsung Dewa Ayu selaku penguasa.

Berdasarkan cerita yang diwarisi keluarga Gede Degdeg dan warga setempat secara turun temurun, keberadaan batu-batu berlubang ini diyakini dulunya menjadi tempat pencelupan tekstil, untuk pewarnaan benang maupun kain. Hal ini dikait-kaitkan dengan keberadaan kerajinan tenun Songket di Desa Lokapaksa.

Menurut Gede Degdeg, pihaknya memang tidak pernah melihat proses prncelupan yang dilakukan nenek moyangnya. Namun demikian, Gede Degdeg pernah melihat salah seorang leluhurnya menenun kain Songket saat dia masih kecil. “Sekarang sudah tidak ada lagi (kegitan tenun kain Songket di keluarganya, Red). Tapi, seingat saya, waktu saya masih kecil paman saya masih menenun dengan alat tradisionalnya,” ungkap Gede Degdeg saat ditemui NusaBali di situs Batu Berlubang di Dusun Pamesan, Desa Lokapaksa, Selasa (31/5).

Gede Degdeg mengisahkan, sebelum batu-batu tua warisan zaman Megalitikum tersebut ditata, salah satu dari belasan batu berlubang ini pernah diambil tanpa izin oleh seorang warga Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Buleleng. Tapi, hanya berselang beberapa hari kemudian, warga Desa Patemon tersebut mengembalikan batu yang diambilnya ke tempat semula di pinggir Tukad Saba.

“Pasalnya, warga Desa Patemon ini terus-terusan mangalami peristiwa aneh setiap malam, pasca mengambil batu tersebut,” beber Gede Degdeg. Peristiwa aneh itu, antara lain, pintu rumah selalu digedor setiap malam. Anehnya, siapa yang menggedor pintu sama sekali tidak kelihatan. Saat tidur pun, warga Desa Patemon tersebut sering bermimpi aneh yang diminta orang tak dikenal untuk mengembalikan batu berlubang ke tempat asalnya.

Batu-batu berlkubang mirip lesung di Desa Lokapaksa itu sendiri amat dikeramatkan oleh warga setempat. Bahkan, batu-batu yang dulunya diyakini untuk pencelupan tekstil zaman Megalithikum ini juga sering didatangi warga dari luar Desa Lokapaksa buat nunas tamba (mohon obat). Sebab, batu tersebut dipercaya memiliki berkah pengobatan.

Sudah banyak warga yang membuktikan kemurahan hati Ida Batara yang berstana di situs batu Megalitikum ini. Termasuk, memperoleh berkah berupa dikaruniai anak, selain sembuh dari serangan penyakit non medis. Biasanya, umat yang pedek tangkil ke situs ini malukat dengan menggunakan tirta (air suci) yang dipendak dari Palinggih Dewa Ayu.

Bukan hanya itu. Krama yang memiliki hajatan pun di rumahnya pun, selalu meng-haturkan sesajen apa saja yang mereka buat ke Palinggih Dewa Ayu di situs batu Megalitikum. “Kalau tidak ‘ngejot’, maka makanan dalam setiap hajatan akan cepat habis, meskipun tamu yang datang sedikit. Terlambat saja ngejot ke sini (Palinggih Dewa Ayu), makanan akan boros, makanan cepat habis,” cerita salah satu tokoh Desa Lokapaksa, I Gede Subrata.

Bahkan, kehadiran wong samar sering dirasakan oleh kelyarga yang memiliki hajatan dengan terdengarnya bunyi-bunyian sendok dan piring seperti layaknya orang makan. Namun sebaliknya, jika semua sudah dilakukan sesuai dengan keyakinan, yakni ngejot ke Palinggih Dewa Ayu, wong samar akan memberikan bantuan yang tak terduga kepada empunya hajatan. Misalnya, tiba-tiba muncul bahan upakara yang tidak diketahui siapa membawakannya.

Sementara itu, Kepala Desa (Perbekel) Lokapaksa, I Wayan Ariadi, mengatakan pemerintah desa setempat berencana melakukan penataan lebih bagus terkait keberadaan belasan bau berlubang di Dusun Pamesan, mengingat batu-batu Megalitikum bekas pencelupan tekstil tersebut memiliki nilai sejarah sangat tinggi.

“Ke depannya, kalau dapat bantuan dari Pemkab Buleleng atau Pemprov Bali, kami ren-cananya akan membuat semacam tracking Desa Lokapaksa. Salah satunya, kunjungan ke situs batu-batu ini,” ujar Perbekel Wayan Ariadi. Apalagi, menurut Ariadi, situs tersebut sebelumnya sudah sempat didata oleh Badan Arkeologi Denpasar tahun 2000 dan 2005. 7 k23

Komentar