nusabali

Di Geriana Kauh Ada Sanghyang Jaran

  • www.nusabali.com-di-geriana-kauh-ada-sanghyang-jaran

DESA Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, sesungguhnya kaya dengan peradaban seni berbasis spiritual.

AMLAPURA, NusaBali

Tak hanya punya Sanghyang Dedari, desa ini juga punya tarian sakral lain, yakni tari sakral Sanghyang Jaran (kuda). Sanghyang Jaran  dipentaskan di Desa Adat Geriana Kauh, juga untuk mohon berkah agar hasil panen padi berlimpah. Tanaman padi tersebut agar terbebas dari hama sehingga terjaga pertumbuhannya tetap subur. Penari Sanghyang Jaran itu menari juga dalam keadaan kerauhan. Diawali nusdus atau ngukup di hadapan pasepan yang mengepulkan asap diiringi nyanyian Sanghyang Jaran yang bermaksud mengundang roh jaran (kuda). Setelah roh jaran memasuki jiwa penari, penari langsung rebah selanjutnya menuju lokasi yang telah disediakan, menyasar gunungan bara api.

Penari berlari-lari langsung menendang dan menginjak-injak dan berjingrak di bara api denga kaki telanjang. Walau bara api begitu panas, penari tidak mengalami luka bakar. Gerak tariannya, mirip gerak kuda, jingkrak-jingkrak, di atas bara api. Bara api itu dijadikan mainan, tarian akan berakhir apabila bara api habis dipadamkan dengan cara diinjak-injak.

Setelah tarian berakhir, penarinya langsung rebah, saat itu pamangku memercikkan tirtha untuk melepas roh kuda yang merusaki badannya, juga untuk mengembalikan kesadarannya. Selama Sanghyang Jaran menari, suasana di sekitarnya mesti gelap sehingga yang terlihat hanyalah tumpukan bara api.

Ketua Kerta Desa, Desa Adat Geriana Kauh I Wayan Darpa mengatakan, semenjak perempatan jalan desa diaspal, maka tarian Sanghyang Jaran dipindah ke perempatan jalan di bagian timur atau menuju Pura Pajenengan. Di perempatan jalan itulah diawali menggelar nusdus atau ngukup, selanjutnya setelah penarinya karauhan, langsung berlari menuju jaba Pura Pajenengan, ke arah utara yang telah disediakan bara api. Bara api itulah ditendang hingga semuanya padam.

Penari Sanghyang Jaran selama ini adalah Jro Mangku Wayan Kisid. Di akhir tariannya yang disebut ngalinggihang atau mengembalikan roh jaran dari tubuh penari, setelah seluruh bara api habis diinjak-injak. Kemudian Jro Mangku Mudita, pamangku di Pura Pajenengan memercikkan tirtha kepada penari. Sehingga penari kembali dalam kesadarannya.  "Tarian sakral Sanghyang Jaran, justru dipentaskan dalam suasana gelap. hanya kobaran api yang ada," kata I Wayan Darpa.

Jika ada lampu senter, lampu kamera atau lampu HP, katanya, penari enggan melanjutkan tariannya, atau penari mencari sumber cahaya itu. "Makanya diberlakukan larangan mengambil gambar gunakan lampu," jelasnya.

Disebutkan, dua tarian sakral itu tetap lestari, dan secara rutin dipentaskan setiap setahun sekali. Kedua warisan budaya itu merupakan warisan budaya tak benda, yang perlu dijaga nilai-nilainya dan manfaat untuk kehidupan sosial masyarakat setempat.

Bendesa Adat Geriana Kauh I Nyoman Subrata juga mengatakan, penari Sanghyang Jaran, hanya satu orang. Berbeda dengan penari Sanghyang Dedari. "Dua tari sakral itu merupakan satu paket, yang selalu dipentaskan bersamaan di dua tempat berbeda," kata I Nyoman Subrata.*nan

Komentar