nusabali

Air Pancoran Berasal dari 7 Mata Air Berbeda, Keluar dari Mulut Naga

  • www.nusabali.com-air-pancoran-berasal-dari-7-mata-air-berbeda-keluar-dari-mulut-naga

Pamangku Pura Tirta Sudhamala Jero Mangku Gede Ferry Hariawan menyebut, banyak pamedek yang permohonannya terkabul, seperti diberikan keturunan, jodoh, kesembuhan, dan kesehatan serta anugerah lainnya.

Pura Tirta Sudhamala di Kelurahan Banyuasri Jadi Tujuan Saat Banyupinaruh  


SINGARAJA, NusaBali
Pura Tirta Sudhamala di Desa Pakraman Banyuasri, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, belakangan ini menjadi salah satu tempat melaksanakan ritual Banyuniparuh usai upacara Saraswati maupun Siwaratri. Umumnya, yang melaksanakan Banyupinaruh di Pura Tirta Sudhamala adalah pelajar dan mahasiswa. Selain tempatnya mudah dijangkau karena berada di jantung kota Singaraja, air pancuran di Pura Tirta Sudhamala juga diyakini dapat memberi efek pikiran menjadi jernih untuk mengikuti setiap pelajaran.

Pada ritual Banyupinaruh yang berlangsung pada Redite Paing Sinta, Minggu (12/5) pagi ini, lokasi Pura Tirta Sudhamala diprediksi bakal penuh pamedek yang akan melangsungkan pembersihan dan melukat.

“Kalau Banyupinaruh, pagi sudah penuh pamedek. Terutama anak-anak pelajar yang banyak mandi. Mereka biasanya baru datang dari laut, langsung ke sini membersihkan diri,” kata Jero Mangku Gede Ferry Hariawan, Pamangku Pura Tirta Sudhamala yang ditemui NusaBali, Sabtu (11/5).

Di Pura Tirta Sudhamala terdapat dua palinggih. Satu palinggih berada di Jeroan Pura adalah palinggih Dewa Taksu Manik Geni. Kemudian palinggih lainnya berada di seberang Tukad Banyumala yang merupakan Palinggih Ida Bhatara Dewa Ayu Manik Sudhamala. Di palinggih Ida Bhatara Dewa Ayu Manik Sudahamala ini terdapat air pancuran yang menghadap arah terbitnya matahari. Air pancuran ini langsung mengalir ke Tukad Banyumala. Sehingga apabila ada warga yang akan melaksanakan Banyupinaruh atau melukat, harus menyeberangi Tukad Banyumala. Pihak Desa Pakraman sudah membuatkan tempat penyeberangan dari beton. Dulunya pernah dibuatkan jembatan, namun roboh diterjang banjir badang pada awal 2018 lalu.

Dari penuturan Jero Mangku Gede Ferry Hariawan, munculnya air Pancoran Sudhamala berawal dari suara ledakan yang terdengar hingga sejauh 500 meter, di zaman sistem kerajaan di Bali. Karena suara ledakan terdengar keras, penduduk setempat mencari tahu sumber ledakan tersebut. Ternyata sumber ledakan itu diketahui dari tebing bagian barat Tukad Banyumala. Dari tebing itulah keluar air yang cukup besar yang kemudian diyakini menjadi Tirta Sudhamala.

“Konon salah seorang penduduk waktu itu mengalami kesurupan dan menyebutkan kalau goa itu tembus hingga menuju Segara Banyumala, serta meyakinkan penduduk bahwa semburan tersebut merupakan air suci yang dapat digunakan untuk membersihkan segarala racun atau mala,” kata Jero Mangku Ferry.

Sebutan Pura Tirta Sudhamala sejatinya berawal dari keinginan krama Desa Banyuasri untuk menata keberadaan sumber air yang dulu lebih dikenal sebagai Tukad Banyumala, pada tahun 2007. Saat krama desa ngaturang piuning terkait rencana penataan tersebut, tiba-tiba salah seorang krama presutri (krama pangiring yang seringkali kerauhan saat berlangsung upacara di wewidangan desa pakramannya, Red) mengalami kerauhan. Dan ternyata yang rawuh itu adalah Ida Petapakan yang bernama Dewa Ayu Manik Sudhamala yang memberi petunjuk agar kelak setelah bangunan pura rampung dibangun, agar diberi nama Pura Tirta Sudhamala.

Disebutkan pula bahwa pura tersebut nantinya memiliki aura yang pingit dengan sumber air pancoran yang ada, merupakan air suci yang kelak mampu memberikan penganugerahan khususnya melalui ritual panglukatan. Sehingga, sangat wajar apabila hingga kini Pura Tirta Sudhamala lebih dikenal sebagai Pura Kahyangan Desa untuk tujuan pembersihan diri, memohon kesembuhan dan kesehatan melalui prosesi melukat.

Areal suci Pura Tirta Sudhamala menempati luasan tidak kurang dari 700 meter persegi, yang terbagi menjadi Tri Mandala. Yakni jaba pura yang menjadi areal parkir berada di sebelah selatan. Kemudian areal Jaba Tengah atau jeroan pura menjadi stana/palinggih Dewa Taksu Manik Geni. Bangunan Palinggih Dewa Taksu Manik Geni menghadap ke timur, sehingga ketidak pamedek melaksanakan persembahyangan menghadap ke barat.

Sedangkan areal Utama Mandala adalah areal Palinggih/stana Ida Bhatara Dewa Ayu Manik Sudhamala. Pancuran Sudhamala sendiri yang berada tepat di sisi barat pura, tetapi dipisahkan oleh aliran Tukad Banyumala. Sebagai penghubung dibuatkan jalan beton sebagai akses untuk menyeberang sungai apabila ingin melakukan panglukatan. “Di areal ini, merupakan sumber mata air suci yang dulunya pancoran biasa, namun kini pancoran sudah dipugar menjadi lebih tertata berwujud patung seekor naga yang diyakini sebagai manifestasi dari ancangan atau tunggangan Ida Bhatara Dewa Ayu Manik Sudhamala, yang lebih dikenal dengan Naga Basuki. Sementara pengawalnya dimanifestasikan dalam bentuk dua ekor macan,” ujar pria yang mulai ngiring menjadi Pangempon di Pura Tirta Sudhamala sejak 2010 silam.

Air pancoran tersebut juga berasal dari tujuh mata air yang berbeda, namun sudah dijadikan satu dan keluar secara bersamaan melalui mulut patung naga.

Bagi pamedek yang tangkil melukat, diharapkan pada hari-hari atau rahina seperti Purnama, Tilem, Purwani, Banyupinaruh sehari setelah Hari Raya Saraswati, Siwaratri, Ngembak Geni sehari setelah Nyepi, Kajeng Kliwon serta rerahinan yang lainnya.

Sedangkan, menurut saran Jero Mangku Ferry, sarana utama yang perlu dipersiapkan apabila ingin melukat hanya banten Peras Pejati Jangkep yang berisi Tegteg Daksina, Canang Sari, Banten Peras, Canang Ajengan, Tipat Gong, Tipat Kelanan, Segehan putih kuning atau panca warna, Banyuawangan serta Kembang 11 rupa ditambah bunga teratai.

Ditanya mengenai pamedek yang nangkil darimana saja, Jero Mangku Ferry mengaku dirinya sudah pernah melayani umat yang nangkil untuk melukat tidak hanya berasal dari Bali saja. Namun juga dari luar Bali yang beragama non Hindu. “Yang ke sini dari berbagai kalangan, agama, profesi yang begitu beragam. Ini sebagai bukti bahwa Pura Tirta Sudhamala pingit dan suci,” tuturnya.

Jero Mangku Ferry menambahkan bahwa banyak pamedek yang permohonannya terkabul, seperti diberikan keturunan, jodoh, kesembuhan dan kesehatan serta anugerah lainnya. Sehingga ketika kembali nangkil ke Pura Tirta Sudhamala mereka maturan busana Palinggih seperti wastra, tedung maupun dana punia.

Air atau tirta Sudhamala sejatinya tidak hanya dikenal sebagai tirta panglukatan saja. Karena kemurnian dan kesuciannya pula dijadikan sebagai salah satu sumber air suci yang umum digunakan oleh krama Hindu untuk keperluan di masing-masing sanggah merajannya. Bahkan, manakala ada kegiatan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben yang salah satunya mewajibkan prosesi ritual ‘manah toya’, peranan air tirta Sudhamala menjadi sangat vital. *k19

Komentar