nusabali

40 Film dari 14 Negara Diputar

  • www.nusabali.com-40-film-dari-14-negara-diputar

BIIFF 2019 juga mengajak sineas termuda berumur 14 tahun untuk menampilkan hasil karyanya dalam festival ini.

BIIFF Kembali Digelar, Angkat Potensi Lokal Jadi Film


DENPASAR, NusaBali
Bali International Indigenous Film Festival (BIIFF) kembali digelari di tahun 2019. Kali ini, BIIFF mengusung tema ‘Stories that Matters’ atau cerita-cerita yang mengena. Festival yang berada di bawah naungan Yayasan Ranu Welung – sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada penciptaan film – tersebut, diselenggarakan selama 3 hari, dari 10-12 Mei, bertempat di 2 lokasi di Ubud, yakni Museum Njana Tilem dan Paradiso Theater. Total 40 film dari 14 negara akan diputar dalam ajang ini.

“Festival film ini adalah penyelenggaraan kedua setelah tahun lalu yang pertama dimulai pada Januari 2018 dan kami ingin menyelenggarakan festival ini sebagai kegiatan tahunan,” papar David Metcalf, selaku Co-Founder di Bali International Indigenous Film Festival (BIIFF), saat menggelar jumpa pers di Kubu Kopi, Denpasar, Rabu (8/5).

Sambung pria yang juga fotografer tersebut, festival ini merupakan kesempatan yang sangat penting untuk membawa bukan hanya film-film, tetapi juga sineas dari berbagai masyarakat adat di Nusantara dan juga Internasional untuk ikut berbagi dalam BIIFF 2019. Terdapat 35 sutradara dari 14 negara di dunia yang akan meramaikan perhelatan akbar tersebut dengan karya-karya original mereka. “Rencananya, dalam waktu dekat ini festival akan diselenggarakan di Jogjakarta dan Kalimantan,” tandas Metcalf.

Selama 3 hari akan ditayangkan total 40 film dari 14 negara, yakni Ekuador, Panama, India, Nagaland, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Taiwan, Papua New Guinea, Malaysia, serta dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Kalimantan, Sumba, Papua, Maluku, Bali, dan Lombok. Berbagai genre film akan ditampilkan di ajang BIIFF 2019 ini, di antaranya, film dokumenter, video advokasi, hingga film fiksi, yang tetap berpijak pada lokalitas serta isu-siu yang dihadapi budaya setempat. Sebanyak 20 film datang dari sineas Indonesia, dan 20 film lainnya merupakan karya sineas internasional. Ada pula, 25 sesi tanya jawab bersama para sutradara untuk saling berbagi dan menginspirasi. Gelaran ini digadang-gadang akan menarik lebih dari 900 penonton dalam 3 hari.

Disambung oleh rekannya, Emmanuela Shinta, yang juga Co-Founder BIIFF, sebelumnya, Shinta bersama Yayasan Ranu Welum telah melakukan pemutaran-pemutaran film dengan layar tancap besar di wilayah pedesaan Kalimantan, namun tidak dalam bentuk festival. Dari kegiatan itu, Shinta melihat adanya suara-suara daerah yang bisa digali untuk lebih diperdengarkan ke ranah yang lebih luas terlebih Internasional. Maka, terciptalah suatu gagasan untuk membuat sebuah festival film bertaraf internasional tersebut. “Ini memang sudah inisiatif kami sejak tahun 2014 di Kalimantan ketika kami pertama mulai sebagai komunitas pembuat film tetapi berorientasi untuk membawa isu-isu tentang hak-hak masyarakat adat, juga tentang pelestarian budaya, termasuk dokumentasi kisah-kisah leluhur di Kalimantan,” ungkap perempuan asli suku Dayak Ma’anyan, Kalimantan Tengah  yang juga Filmaker tersebut.

Selain itu, BIIFF 2019 juga mengajak sineas termuda berumur 14 tahun untuk menampilkan hasil karyanya dalam festival ini. Adalah Kynan Tegar, bocah asli suku Dayak Iban, Kalimantan Barat, yang akan tampil dengan film perdananya yang bertajuk ‘Mali Umay.’ Film tersebut mengangkat kehidupan sehari-hari di sebuah pemukiman masyarakat Kalbar yang berlatarkan Sungai Utik. Kynan hadir menawarkan pesan-pesan mendalam mengenai kehidupan suku yang hidup dengan hukum adat tradisional. *cr41

Komentar