nusabali

Dibayangi Kejadian Mengerikan, Korban Selamat Tidak Bisa Tidur

  • www.nusabali.com-dibayangi-kejadian-mengerikan-korban-selamat-tidak-bisa-tidur

Korban selamat I Wayan Dampuk sempat selama 15 menit tertimbun material jembatan ambruk di pangkung sedalam 8 meter, sebelum kemudian diselamatkan dua krama Subak Palian

Dua Jenazah Korban Tewas Jembatan Ambruk Diaben Bersamaan di Setra Desa Adat Perean


TABANAN, NusaBali
Sehari pasca musibah maut, dua jenazah korban tewas akibat jembatan ambrol di Banjar Puseh, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Tabanan, I Made Budi, 50, dan I Ketut Sudana, 50, diaben melalui prosesi ritual ngaben suasta atau makingsan ring gni pada Buda Pon Watugunung, Rabu (8/5). Sedangkan tiga korban selamat masih trauma, hingga mereka tidak bisa tidur.

Proses ngaben suasta jenazah Made Budi dan Ketut Sudana di Setra Desa Adat Perean, Rabu kemarin, dilaksanakan berbarengan sekitar pukul 13.00 Wita. Pantauan NusaBali, keluarga kedua korban tewas asal Banjar Puseh, Desa Perean tampak sangat berduka. Sebagian dari mereka tiada henti menangis saat mengantar jenazah ke setra. Meski demikian, prosesi ngaben suasta berlangsung lancar.

Kelian Dinas Banjar Puseh, Desa Perean, I Nyoman Suda, mengatakan jenazah Ketut Sudana (yang notabene Kelian Subak Palian, Desa Perean) dan Made Budi (krama Subak Palian) buat sementara baru diupacara ngaben suasta atau makingsan ring gni. "Sekarang upacaranya hanya makingsan ring gni. Sedangkan untuk ngeroras (menyucikan) belum bisa dilakukan," ungkap Nyomnan Suda kepada NusaBali, Rabu kemarin.

Karena ada jenazah asal satu banjar diupacarai ngaben suasta, menurut Nyoman Suda, maka proses pembuatan upakara dibagi menjadi dua kelompok. Untuk krama Tempek Kangin (warga bagian timur), membuat upakara di rumah duka Made Budi. Sedangkan krama Tempek Kauh (bagian barat) membuat upakara di rumah duka Ketut Sudana.

Sementara, tiga korban selamat dalam musibah maut jembatan ambrol ini yang juga semuanya asal Banjar Puseh, Desa Perean, yakni I Wayan Dampuk, 60 (Bendahara Subak Palian), I Wayan Sider, 58 (krama Subak Palian), dan I Wayan Topol, 55 (krama Subak Palian), masih trauma. Bahkan, korban Wayan Dampuk mengaku tak pernah tidak bisa tidur pasca musibah maut yang terjadi Selasa (7/5) pagi pukul 07.15 Wita tersebut.

Wayan Dampuk mengaku tidak bisa tidur, karena masih teringat musibah mengerikan yang nyaris merenggut nyawanya tersebut. Apalagi, dia dia melihat dengan jelas detail kejadian, termasuk bagaimana korban tewas Ketut Sudana ketika tubuhnya terkubur.

Wayan Dampuk sendiri saat itu berhasil selamat dari maut, berkat pertolongan dua krama subak lainnya, I Wayan Gadra dan Pan Balik. Sebelum diselamatkan, Wayan Dampuk sempat terkubur setengah badan selama 15 menit di bawah reruntuhan jembatan di pangkung sedalam 8 meter. “Saya saat itu tak bisa menggerakkan kaki yang terjebak timbunan material,” kenang Wayan Dampuk saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Puseh, Desa Perean, Rabu kemarin.

Menurut Wayan Dampuk, dirinya masih trauma atas musibah jenbatan ambruk saat krama subak gotong royong mengurug jembatan dengan tanah urug tersebut. Namun, secara umum kondisi psikologisnya sudah berangsur pulih. Hanya saja, kaki kirinya masih terasa berat. "Tiyang sampun baikan, kemanten kaki kiri tiyang nu merasa baat (Saya sudah baikan, tetapi kaki kiri saya merasa berat, Red)," tutur Wayan Dampuk yang kemarin ditemani putrinya, Ni Made Ernawati, 33.

Wayan Dampuk menceritakan, sebelum musibah maut, dirinya tiba di lokasi jembatan perbatasan Banjar Puseh dan Banjar Bunyuh, Desa Perean pagi itu pukul 07.00 Wita, untuk ikut gotong royong. Dia datang lebih awal, karena menjabat sebagai Bendahara Subak Palian, yang hari itu kena giliran gotong royong mengurug jembatan dengan tanah urug.

Meski sebagian krama subak belum datang, namun Wayan Dampuk beserta rekan-rekannya mendahului gotong royong. Saat itu, Wayan Dampuk tepat berada di tengah jembatan buat menarik tanah urug agar posisinya datar dengan jalan badan jalan. Dia saat ini berada di tengah jembatan bersama 10 krama subak lainnya, termasuk korban tewas Made Budi dan Ketut Sudana.

Saat mereka sedang asik mengobrol sambil bekerja sekitar pukul 07.15 Wita, tiba-tiba Wayan Dampuk melihat tanah di atas jembatan retak, kemudian langsung ambrol. "Tiyang tengkejut, ten ngerasaang tanah memunyi, cingak tiyang engkag tanahe langsung tiang jak telu terjun. Tiyang napet dewek tiyang sampun beten. Awak tiyang metanem tak bangkiang (Saya terkejut, tidak merasakan ada suara tanah, saat lihat tanahnya retak kami langsung terjun. Saya sudah melihat diri saya di bawah. Badan saya sudah tertanam sampi sepinggang, Red)," kenangnya.

Setelah di dasar pangkung bawah jembatan ambrol, Wayan Dampuk berteriak minta tolong karena tidak bisa mengangkat kedua kakinya. Apalagi, dia panik melihat korban Ketut Sudana yang berjarak 1 meter sebelah selatan sudah tertimbun total, hanya terlihat tanganya bergerak-gerak. Dia semakin panik melihat beton yang posisinya tepat atasnya nyaris jatuh.

"Saya takut, kaki tidak bisa diangkat, apalagi melihat tangan ketut Sudana yang begerak-gerak, tapi tubuhnya sampak kepala sudah tertimbun. Kalau saja beton dia atas saya ambruk, mungkin saya sudah mati,” cerita ayah dua anak ini.

Beberapa menit kemudian, barulah dua krama subak, yakni Wayan Gadra dan Pan  Balik turun dengan bantuan tangga untuk menolong Wayan Dampuk. “Kaki saya ditarik satu, kemudian ditarik di bagian pinggang. Akhirnya saya bisa selamat dan naik ke atas sendirian. Saat itu, Pak Gadra dan Pak Balik masih berusaha mengeruk Pak Aris (korban tewas Made Sudana, Red)," jelas Wayan Dampuk. *des

Komentar