nusabali

Dari Alam Tetap Kembali ke Alam

  • www.nusabali.com-dari-alam-tetap-kembali-ke-alam

Sehebat apapun seniman mengerjakan karya seni dari styrofoam tidak akan berkharisma. Sebaliknya, karya seni yang dibuat dari bahan alami hasilnya akan lebih mataksu.

GIANYAR, NusaBali

Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai sedang gencar diimplementasikan masyarakat, terutama seniman. Dalam Pergub ini ada tiga bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik yang dilarang. Terdiri dari kantong plastik, polysterina (styrofoam) dan sedotan plastik. Namun jauh sebelum Pergub ini dikeluarkan, beberapa seniman di bumi seni Gianyar telah menyadari akan bahaya bahan dasar plastik ini, terutama styrofoam. Salah satu seniman, Dewa Made Wibawa Kesuma,42, alias Dewa Aji Malen, warga Banjar/Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, mengaku sejak dua tahun lalu stop membuat parung menggunakan bahan styrofoam.

Keputusannya untuk membatasi penggunaan styrofoam, karena malu melihat limbah/sampah hasil karyanya berserakan diterbangkan angin sehingga mencemari lingkungan. Dewa Aji Malen mengaku mengawali pemakaian styrofoam sejak era 1990an. Hingga ia sempat didaulat sebagai pembuat maskot SEA Games 2011 bernama Komodo Modo-Modi yang kala itu berlangsung di Jakarta dan Palembang. Dalam waktu hampir tiga bulan, Dewa Aji Malen bersama beberapa rekannya ngebut siang malam menuntaskan 200 maskot. Dua di antaranya setinggi 6 meter, sisanya ukuran kecil. Dari limbah sisa pembuatan maskot tersebut dirinya berpikir untuk membuat ogoh-ogoh mini berbahan styrofoam kala itu. Dewa Aji Malen bisa dikatakan sebagai inisiator pembuatan ogoh-ogoh mini, yang kini produksinya kian masif sebagai industri rumah tangga. “Sejak awal berkarya, tahun 1986 sejatinya saya full menggunakan bahan-bahan alami. Seperti kertas, kayu dan ulatan bambu untuk ogoh-ogoh. Tapi era 90an, plastik mulai masuk jadi primadona sehingga semua serba menjadi instan. Termasuk membuat ogoh-ogoh,” ungkapnya. Tapi lama-lama, sampah-sampah plastik maupun styrofoam yang tak bisa terurai mengusik kedewasaannya dalam berpikir. Sehingga mulai tahun 2017 lalu, ia memutuskan hubungan dengan styrofoam. “Saat ini masih ada satu dekorasi pengantin berbahan styrofoam. Tapi itu saya bikin lima tahun lalu.

Dan sejak 2 tahun terakhir, saya memang sama sekali tidak membuat apapun dengan styrofoam,” jelas pembina Komunitas Lingga Udayana Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh ini. Setelah putus hubungan dengan styrofoam, kini suami dari Jro Sekar yang dikaruniai dua anak ini pun konsen mengerjakan pembuatan prerai, pratima, maupun pralingga yang sarat dengan kesan sakral. Menurut Dewa Aji Malen, sehebat apapun seniman mengerjakan karya seni dari styrofoam tidak akan berkharisma. Sebaliknya, karya seni yang dibuat dari bahan alami hasilnya akan lebih mataksu. Terlebih dikerjakan dengan penuh ketulusan dan gotong royong.

Sementara dari sisi ekonomi, 'stop penggunaan styrofoam' ini tidak berpengaruh pada dirinya sendiri. Sebab, Dewa Aji Malen telah kembali dan beralih pada seni ukir, khususnya bernilai sakral. Terhadap seniman lain, khususnya dekorasi dan ogoh-ogoh pihaknya yakin mereka bisa berinovasi. Sebaliknya, Dewa Aji Malen berharap agar Pemerintah serius mengurangi polusi udara, air dan tanah Bali. Tidak saja membatasi seniman menggunakan plastik, styrofoam dan sejenisnya. Tapi juga harus tegas membatasi polusi udara, yang disebabkan oleh asap industri maupun asap kendaraan bermotor. “Kami seniman oke-oke saja dibatasi. Tapi mau tidak, kendaraan yang masuk ke Bali itu dibatasi? Karena itu sumber polusi udara juga untuk Bali,” serangnya.*nvi

Komentar