nusabali

Memilih Pemimpin

  • www.nusabali.com-memilih-pemimpin

ORANG jujur pasti kecewa berat kalau berpolitik. Yang senantiasa bertindak dengan hati nurani pasti sakit hati jika coba-coba berpolitik.

Politik bukan gerakan nurani. Ia arus siasat, taktik, akal-akalan, yang bisa ganas seperti air bah, bisa bengis bagai topan dan badai. Tiba-tiba bisa pula lembut mengusap-usap bak angin semilir, membuat kita terbuai, terayun-ayun, duduk melamun, mengkhayal.

Susahnya, sekarang orang tak mungkin membebaskan diri dari gejolak politik. Politik itu arus yang sangat kuat menyeret, acap kali membinasakan, namun tidak berarti ia tak mungkin dikendalikan. Orang butuh pegangan, tempat bergayut, agar tidak seenaknya politik membanting-banting. Kemudian orang-orang senantiasa menganjurkan agar yang berpolitik berpegang teguh pada gerakan moral.

Tapi, politik selalu menghindarkan diri dari romantisme, agar tokoh-tokoh politik itu bisa bebas seluas-luasnya. Agar mereka dengan gagah, tanpa perasaan, mengubah kawan menjadi lawan, dan musuh menjadi pendamping. Kita lantas mengenal, tak ada yang tabu dalam politik. Politikus itu diperkenankan menyembah-nyembah untuk mencapai tujuan, tapi di saat lain, ketika keinginan terpenuhi, ia akan menjagal orang-orang yang pernah dengan cemerlang membantunya. Politik nyaris selalu menghalalkan segala cara.

Di masa kini, politik harus hadir setiap saat. Akal-akalan semakin dibutuhkan. Maka ketika hendak menentukan pemimpin, politik menjadi cara untuk menentukan yang terpilih. Timbangan nurani, moral, terkesampingkan. Sang pemenang adalah mereka yang lihai bersiasat. Atau seseorang yang siap menjadi boneka orang-orang yang hendak berkuasa. Karena itulah, kesan yang selalu muncul adalah, politik itu kotor, jahat, curang. Ia membalik yang benar jadi salah, yang keliru jadi betul, yang putih jadi merah, yang rendah menjadi tinggi. Dalam berpolitik, acap kali orang bertanya-tanya, kebenaran itu apa?

Tak gampang, juga tidak sulit, mencari kebenaran dalam politik. Karena tak ada yang absolut dalam politik, semestinya politik dimainkan dengan santai, enjoi, tenang-tenang, dengan cengkerama, tak usah dengan debaran jantung. Namun, ketika siasat dan akal-akalan dalam berpolitik menjadi tindakan kriminal, tentu persoalan menjadi serius. Politik kemudian berkembang menjadi skandal. Ia berbiak menjadi tindak tanduk yang memalukan. Bukankah skandal Watergate bukti skandal politik yang memalukan negara paling demokratis seperti Amerika Serikat? Dan skandal memalukan itu harus dibayar dengan kejatuhan Presiden Richard Nixon.

Politik memang sering melahirkan orang-orang tebal muka, tidak tahu malu.  Ketika segala akal, siasat, dan cara sudah digelar, dan kemenangan dalam pertarungan tak kunjung diraih, saat itu kaum politikus menelanjangi diri bulat-bulat di depan publik. Mereka pecundang, tapi tak sudi kalah, dan tak pernah lelah menyebut diri sebagai pemenang.

Orang Bali, sesungguhnya, tak berbakat jadi politikus ulung. Mereka itu seniman, yang lebih sering bertindak dan bergerak berdasarkan hati nurani. Konon, orang Bali mengutamakan kejujuran, menjauhkan diri dari tipu muslihat — sesuatu yang mutlak dikuasai kalau berpolitik. Ada kesan, kalau berpolitik, orang Bali cenderung ikut-ikutan, agar tidak dicap sebagai orang-orang yang buta politik. Pembunuhan terhadap orang-orang PKI tahun 1965 di Bali menunjukkan, betapa orang Bali tidak terlampau paham berpolitik. Mereka tega membunuh sanak saudara, sahabat, kerabat, karena berpolitik menyebabkan dendam tumbuh subur. Perbedaan pandangan bersemai menjadi dengki jika orang Bali berpolitik.

Namun orang Bali, kini, harus menentukan pemimpin mereka lewat gelanggang politik. Karena mereka tak berbakat jadi politikus, dengan mudah mereka diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang apolitik. Uang pun gampang bermain untuk menentukan ke arah mana angin politik harus dihembuskan. Dengan gampang pula mereka berdalih, uang itu bukan untuk menyogok mereka agar mengkhianati hati nurani ketika berpolitik. Uang itu merupakan biaya karena siapa pun terjun ke gelanggang politik tak pernah gratis. Politik butuh biaya sangat besar, pakelem, pengorbanan, yang tak kecil.

Begitulah repotnya kalau kita memilih pemimpin lewat panggung politik. Pertimbangan moral dikesampingkan, kalah oleh suara terbanyak. Dan suara-suara itu begitu mudah dikendalikan, untuk tidak mengatakan demikian gampang dibeli, dengan uang. Rasanya, kita ingin menentukan pemimpin tanpa melewati jalur politik, tanpa pakelem besar.

Tapi semua orang tahu itu mustahil, kecuali kita meniadakan demokrasi. Tatkala penentuan pendapat menjadi sesuatu yang diunggulkan, di situlah kejelasan seorang pemilih dan yang dipilih tampak. Publik menjadi tahu ke arah mana zaman akan terbawa, dan menjadi paham mengapa seseorang harus kalah, dan yang lain mesti dimenangkan. Karena itu politik itu asyik. Bukankah barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati, terluka, oleh permainan politik merupakan kisah-kisah menarik? Berkat politik, publik pun tahu seberapa besar kapasitas seseorang yang terpilih itu untuk jadi pemimpin. Karena politik itu ‘menelanjangi’ dia di depan umum.

Untuk memberi tempat pada kebebasan menyatakan pendapat, zaman membutuhkan politik. Kita pun butuh politikus. Dan tokoh-tokoh politik membutuhkan banyak uang untuk menentukan pemimpin. Kalau para politikus itu kemudian jadi pemimpin, dan dia seorang negarawan, kita akan mencapai zaman yang sentausa. Kalau tidak, kita tak pernah berhenti saling curiga, rajin menyimpan dengki satu sama lain, dan berantem terus. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar