nusabali

Ipda Ketut Artawan Gugur Saat Kawal TPS

  • www.nusabali.com-ipda-ketut-artawan-gugur-saat-kawal-tps

Diduga karena kelelahan dan riwayat hepatitis yang diidap, Ipda Ketut Artawan gugur saat bertugas mengawal kelancaran pesta demokrasi.

Sempat Mengeluh Tak Enak Badan H-1 Pemilu


SINGARAJA, NusaBali
Korban penyelenggaraan Pemilu serentak di Indonesia semakin meluas. Kemalangan juga menghampiri Ipda I Ketut Artawan, 48, anggota Polsek Pekutatan yang bertugas mengawal TPS di Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Jembrana. Perwira asal Banjar Dinas Gunung Ina, Desa Lokapaksa, Kecamatan Seririt, Buleleng ini, akhirnya tak tertolong dan berpulang diduga kelelahan saat mengawal tahapan pemilu serentak, pada Minggu (21/4) lalu.

Jenazah Ipda I Ketut Artawan, diperabukan di setra Desa Pakraman Lokapaksa, Desa Lokapaksa, Kecamatan Seririt, Buleleng, Sukra Umanis Klawu, Jumat (26/4), diikuti upacara perabuan jenazah yang diikuti personel Polres Jembrana dan Buleleng.

Menurut keterangan kakak kedua Ipda Artawan, Made Wijanarka, yang ditemui di sela-sela upcara pangabenan kemarin menjelaskan peristiwa memilukan itu berawal saat Ipda Artawan mendapatkan tugas PAM TPS di Desa Gumbrih.

Pada H-1 pencoblosan, suami Anik Sustianti ini sempat mengeluh tak enak badan, karena memang ia punya riwayat sakit hepatitis yang dideritanya sejak beberapa tahun belakangan. Hanya saja karena tugas dan tanggung jawab yang besar, ayah dua anak itu tetap memaksakan diri untuk bertugas mengawal pelaksanaan pemilu serentak 2019. Ipda Artawan pun pada hari H pencoblosan, 17 April lalu datang menjalankan tugas mengawal sejumlah TPS di Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Jembrana.

“H-1 memang sempat mengajukan izin, tetapi karena kesibukan dan mungkin tenaga kurang akhirnya tidak dapat persetujuan. Hari H pencoblosan dia melaksanakan tugas yang sebenarnya sudah tidak kuat,” kata Wijanarka.

Dalam kondisi yang tidak fit dan tak kuasa menahan sakitnya, Ipda Artawan pun akhirnya sempat beristirahat dengan tiduran di TPS, hingga akhirnya menjelang sore hari ia memutuskan untuk pulang dan meminta izin kepada atasan.

Anak kedelapan dari sembilan bersaudara pasangan almarhum I Made Tambun dengan Ni Made Ragi ini dengan kondisi kesakitan, memaksakan pulang ke rumahnya di daerah Kelurahan Pendem, Kecamatan/Kabupaten Jembrana, yang ditempuh dengan waktu satu jam. Setelah tiba di rumah ia pun meminta istrinya mengantarkan ke rumah sakit, karena sudah tidak kuat menahan sakit dan penglihatan mulai kabur.

Ipda Artawan yang sempat diperiksakan di seorang dokter di Jembrana, akhirnya pada Kamis (18/4) pagi dibawa keluarganya ke RSUD Buleleng. Saat itu kondisinya sudah cukup parah karena pengelihatan kabur dan kejang-kejang, padahal tensi tekanan darahnya normal. Sebelum dinyatakan meninggal dunia pada Minggu (21/4) pukul 15.30 WITA, Ipda Artawan mengalami koma dan dirawat di ruang ICU dengan bantuan alat bantu pernafasan dan alat pacu jantung.

“Setelah dicek lab hasilnya HBsAG-nya (Hepatitis B Surface Antigen,red) sangat tinggi lebih dari seribu, hatinya sudah tidak berfungsi, matanya sudah sangat kuning dan kencingnya seperti warna teh yang pekat. Setiap detik kondisinya semakin melemah, hingga akhirnya dipacu jantung dan pukul 15.30 WITA menghembuskan nafas terakhir,” tutur Wijanarka yang merupakan pensiunan tenaga kesehatan.

Ipda Artawan meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak. Pihaknya pun mengatakan terakhir kali berkumpul bersama mendiang pada tanggal 6 April lalu. Saat itu Wijanarka yang menetap di Jawa Tengah sempat pulang ke Bali dan berkumpul bersama keluarga. Ia dan Ipda Artawan pun sempat menghabiskan waktu berkualitas terakhir kalinya dengan mandi di kali dan makan bersama. Hingga terakhir Ipda Artawan mengantarkan kakaknya sampai  di penyeberangan Gilimanuk.

Ipda Artawan yang merupakan Alumni SMAN 1 Seririt itu sempat berkonsultasi kepada Wijanarka melalui telepon saat kakaknya sudah sampai di Jawa Tengah. “Saat itu dia telepon katanya matanya sudah kuning, saya sarankan untuk segera berobat ke rumah sakit yang ada spesialis hatinya, dengan mengambil rujukan di Rumah Sakit terdekat, namun nampaknya tidak keburu berobat,” kenang Wijanarka.

Sebagai kakak kandungnya Wijanarka mengaku sudah curiga saat melihat wajah adiknya saat terakhir kali bertemu. Ipda Artawan saat itu terlihat sudah sangat pucat dan mengeluh sering sakit perut hingga mual. Hanya saja ia tak menyangka jika adik kesayangannya itu akan pergi begitu cepat. *k23

Komentar