nusabali

Logika dan Rasa

  • www.nusabali.com-logika-dan-rasa

Karena orang Bali sehari-hari hidup dalam balutan seni, banyak komentar muncul bahwa orang Bali itu lebih mementingkan rasa tinimbang logika.

Aryantha Soethama
Pengarang



Orang Bali dinilai punya kepekaan rasa melebihi etnik lain. Orang Bali dinilai menikmati sesuatu berdasarkan rasa, sehingga mereka bahagia tidak karena akal, namun berkat rasa, karena kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, sering dikait-kaitkan dengan rasa, tidak dengan akal.

Sering terpetik berita, orang Bali yang sedang sakit karena umur uzur, dikenal sebagai penari, tiba-tiba sehat, enerjik, ketika diajak pentas bersama anak dan cucunya yang juga penari. Dia tak peduli pada logika, bahwa ia harus berobat, menebus resep yang mahal, dan harus menjaga kesehatan. Acap kali jika mendengar suara gamelan yang lamat-lamat sampai karena sekaa gong berlatih, ia sumringah.

Sulit menjelaskan, apakah benar orang Bali lebih mementingkan rasa atau logika. Banyak orang menduga, karena orang Bali peka dengan rasa, mereka menjadi manusia santun, penuh tenggang rasa, dan kaya pengertian. Namun, nyatanya tak sedikit orang Bali yang sangar, senang menghardik, sering bertindak kasar, suka baku hantam. Orang berpendapat, itu antara lain disebabkan oleh salah pergaulan atau akibat dari zaman modern yang bejat.

Mereka yang berkerabat dengan orang Bali, pasti tetap pada pendirian bahwa orang Bali itu baik-baik dan polos-polos, karena mereka adalah makhluk-makhluk yang bergulat dengan segala macam kegiatan berkesenian. Jika mereka tidak mengandalkan perasaan, tak bakalan ada aneka seni di Bali. Seni itu membutuhkan jiwa dan rasa, bukan semata akal dan logika. Banyak kegiatan yang membutuhkan ketajaman akal, seperti berhitung dalam berdagang, membutuhkan kepekaan rasa dan kehalusan budi.

Karena orang Bali dikenal mengutamakan rasa, mereka kemudian sering berhadapan dengan pertimbangan-pertimbangan, apakah harus mengutamakan rasa dan mengesampingkan akal, atau sebaliknya. Ketika melihat pengemis di tepi jalan berdebu, muncul niat bersedekah, memberi uang. Tapi sedekah seperti itu membuat pengemis manja, bahkan menjadikan meminta-minta sebagai lapangan pekerjaan. Pemerintah bahkan melarang warganya memberi pengemis uang, yang menjadikan kian banyak orang mengemis, malas bekerja.

Akal mengisyaratkan, jangan memberi pengemis uang. Tapi, karena kasihan, orang-orang akhirnya memberi uang. Mana yang tepat, mengutamakan logika (tidak memberi uang), atau merasa kasihan dan memberi mereka uang? Ada orang bijak yang berpendapat, kesalahan yang sering kita lakukan adalah, ketika semestinya kita menggunakan logika, kita menggunakan rasa. Tatkala harus mengutamakan rasa, kita menggunakan logika.

Banyak orang menilai, orang Bali tumbuh menjadi manusia bepekerti baik karena ketika hendak memutuskan sesuatu mereka mengedepankan rasa. Hidup mereka pun kemudian menjadi penuh tenggang rasa. Dalam komunitas seperti banjar, hidup bersama tenggang rasa ini menjadi sangat penting, utama, unik, dan menarik. Sebuah keluarga yang tengah menjalankan kegiatan adat dan keagamaan, menerima bantuan dari para kerabat. Uluran tangan ini tidak berdasarkan atas logika, tapi atas keinginan rasa. Tapi, ketika keluarga miskin tak sanggup menyekolahkan anak, perhatian cuma berhenti pada rasa kasihan, tidak pada logika untuk memberi uang untuk biaya sekolah.

Logika mengisyaratkan, orang susah harus ditolong, tapi banyak orang sering menimbang-nimbang, seberapa susahkah orang itu sehingga harus ditolong? Benarkah ia membutuhkan pertolongan? Tidakkah bantuan yang diulurkan justru membuatnya tersinggung? Jangan-jangan ia bisa menangani sendiri kesulitannya tanpa bantuan orang lain. Begitulah logika.

Tapi mereka yang mengedepankan rasa tak butuh pertimbangan-pertimbangan sepanjang dan serumit itu. Mereka akan segera membantu, karena naluri mereka menyarankan untuk menolong. Jika logika dikedepankan, orang yang mesti ditolong tak bakalan kunjung dibantu. Karena itu, acap muncul komentar, orang Bali itu penuh pengertian. Tak sulit untuk menjadi bagian dari komunitas Bali, karena mereka menerima orang lain tidak atas pertimbangan logika, namun atas kehendak rasa. Jika perasaan mereka menyatakan ya, maka segeralah orang lain itu menjadi bagian dari komunitas Bali.

Mungkin itu sebabnya, kaum pendatang tak pernah menemui kesulitan beradaptasi dengan masyarakat Bali. Padahal media pekabaran sering mewartakan, banyak peluang kerja orang Bali tertutup, karena diambil alih kaum pendatang, akibat orang Bali dinilai penuh tenggang rasa. Orang-orang pun kemudian memuji, Bali sanggup dengan baik menjaga keseimbangan logika dan rasa, sehingga mereka menjadi etnik yang terbuka, dan membuat orang lain selalu nyaman.

Pujian seperti itu memberi pertanda Bali itu hebat, sehingga tak sadar ada sekian hal yang jika ditilik secara logika, membuatnya terdesak.

Komentar