nusabali

Wanita Dilarang Masuk Pura, Semua Aktivitas Dilakukan Pria

  • www.nusabali.com-wanita-dilarang-masuk-pura-semua-aktivitas-dilakukan-pria

Krama istri (wanita) diharamkan masuk ke Pura Nampusela untuk menghormati Ida Batari Ayu yang berstana di sana, agar tidak malu lantaran mengalami cacat di mana jari tangannya terputus dipatuk ular

Sisi Unik Pura Nampusela di Desa Adat Padangan, Kecamatan Pupuan, Tabanan


TABANAN, NusaBali
Pura Nampusela di Desa Adat Padangan, Kecamatan Pupuan, Tabanan terma-suk salah satu pura yang sangat unik. Pasalnya, krama istri (perempuan) dilarang masuk ke dalam pura yang diempun 600 kepala keluarga (KK) ini. Itu sebabnya, saat digelar piodalan 5 tahun sekali pada Purnamaning Kadasa, segala aktivitas di Pura Nampusela dilakukan sepenuhnya oleh krama lanang (laki-laki).

Kawasan Pura Nampusela masuk wilayah dinas Banjar Kebon Padangan Kaja, Desa Kebon Padangan, Kecamatan Pupuan. Pura Nampusela ini berada di sor (bagian bawah) sekitar 1 kilometer ke arah selatan dari pemukiman warga. Pura tua yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1218 ini diempon oleh 600 KK Desa Pakraman Padangan.

Berbeda dari pura umumnya di Bali, Pura Nampusela hanya memiliki dua halaman, yakni Utama Mandala dan Nista Mandala. Tidak ada Madya Mandala di pura yang dibangun di atas lahan seluas hanya 1 are atau 10 meter persegi ini.

Di Utama Mandla Pura Nampusela juga hanya terdapat satu bantunan suci (palinggih) utama, yang disebut Palinggih Petilaan. Palinggih ini merupakan sthana Ida Batari Ayu, yang merupakan putri dari Ida Batara di Pura Puncak Luhur Batukaru. Sedangkan di Nista Mandala Pura Nampusela, terdapat tiga palinggih, masing-masing Palinggih Apit Lawang (2 unit, di kanan kiri pintu masuk) dan Palinggih Penyawangan (di sisi jalan).

Selain unik dari sisi halaman dan keberadaan palinggih, ada satu pantangan di Pura Nampusela yang tak boleh dilanggar. Krama istri dilarang keras masuk ke Pura Nampusela. Menurut Bendesa Adat Padangan, I Gede Artamba, ada sejarahnya tersendiri, kenapa kaum wanita tabu masuk ke areal Pura Nampusela.

Gede Artamba mengisahkan, pantangan ini ada kaitnanya dengan mitologi Ida Batari Ayu yang berstana di Pura Nampusela. Ida Batari Ayu yang notabene adalah istri dari Ida Batara Bagus Made Bentang, memiliki cacat di tangan. Konon, jari tengah tangan kirinya putus dicotot (digigit) naga saat memakai cincin.

Dengan kondisi jari tengahnya yang putus, Ida Batari Ayu menjadi mala (buruk), hingga tidak diperkenankan berstana di Pura Puncak Luhur Batukaru. Selain itu, Ida Batari Ayu juga tidak diperkenankan berstana di Pura Luhur Kedaton. "Akhirnya, Ida Batari Ayu distanakanlah di teben akhir dari Desa Adat Padangan (tepatnya di Pura Nampusela, Red)," ungkap Gede Artamba saat ditemui NusaBali di Pura Nampusela, Minggu (31/3) lalu.

Menurut Gede Artamba, sebelum Desa Adat Padangan jadi pangempon, Pura Nampusela ini diempon oleh krama Desa Adat Batungsel. Namun, lama ke-lamaan pura ini dilupakan, hingga akhirnya krama Desa Adat Padangan yang memeliharanya.

Nah, setelah Desa Adat Padangan menjadi pangempon itulah, muncul bhisama dari Pura Luhur Puncak, bahwa kaum wanita tidak diperkenankan masuk atau sembahyang di Pura Nampusela. Tujuannya, untuk menghormati Ida Batari Ayu agar tidak malu, mengingat tanganya mengalami cacat. "Sejak muncul bhisama tersebut, segala aktivitas termasuk ngodalin di Pura Nampusela sepenuhnya dilakukan oleh krama lanang," papar Gede Artamba.

Piodalan di Pura Nampusela dilaksanakan 5 tahun sekali pada Purnamaning Kadasa. Berselang 6 hari sebelum Purnaming Kadasa, krama Desa Adat Padangan wajib mendak Ida Batari Ayu dari Opura Nampusela untuk dituntun ke Pura Puseh lan Bale Agung. Di Pura Pusel lan Bale Agung inilah Ida Batari ayu dan Ida Batara Sesuhunan lainnya secara bersamaan dihaturkan yadnya. "Sesuai bhisama, di mana pun menggelar upacara, krama selalu mengutamakan bahwa yang pertama-tama harus dipendak adalah Ida Batari Ayu," tegas Gede Artamba.

Meski segala aktivitas dan piodalan di Pura Nampusela sepenuhnya dilakukan krama lanang, namun persiapan upakara dibuat oleh krama istri di tempat berbeda. Biasanya, sarana upakara dibuat di Pura Puseh lan Pura Bale Agung Desa Pakraman Padangan. Setelah jadi, barulah krama lanang yang membawa sarana upakara tersebut ke Pura Nampusela.

Gede Artamba menyebutkan, pantangan di mana kaum wanita dilarang masuk ke areal Pura Nampusela ini tak boleh dilanggar, karena akibatnya bisa fatal. Dulu pernah terjadi musibah, gara-gara seorang wanita nekat sembahyang ke Pura Nampusela. Begitu selesai sembahyang, wanita tersebut langsung tidur dan besoknya ditemukan sudah meninggal. Bukan hanya wanita tersebut yang meninggal, tapi terjadi kematian beruntun dengan cara yang sama selama 3 hari. “

Selain ada larangan kaum wanita masuk pura, kata Gede Artamba, di Pura Nampusela juga sering muncul peristiwa gaib. Pada rahina (hari suci) tertentu, seperti Kajeng Kliwon, kerap muncul wanita berambut panjang sampai betis masuk ke areal Pura Nampulsela. Peristowa itu dilihat secara kasat mata oleh krama setempat. “Wanita berambut panjang itu diyakini merupakan penampakan Ida Batari Ayu yang bersthana di Pura Nampusela,” katanya. *des

Komentar