nusabali

Sebagian Besar Prasasti Dibuat di Zaman Raja Jaya Pangus

  • www.nusabali.com-sebagian-besar-prasasti-dibuat-di-zaman-raja-jaya-pangus

Sejumlah prasasti asal 16 titik kawasan di Buleleng yang telah diidentifikasi berisi tentang aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, politik, budaya, tatanan kehidupan, perpajakan, hingga batas-batas desa

Hasil Identifikasi dan Pembacaan Prasasti di Buleleng Didiseminasikan


SINGARAJA, NusaBali
Balai Arkeologi Denpasar mendiseminasikan hasil identifikasi dan pembacaan prasasti di 16 titik yang ada di Buleleng, Kamis (11/4). Terungkap, prasasti-prasasti yang telah diidentifikasi dan dibaca tersebut berisi tentang aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, politik, budaya, tatanan kehidupan, perpajakan, hingga batas-batas desa. Prasatsi tersebut sebagian besar dibuat pada zaman Raja Sri Aji Jaya Pangus.

Acara diseminasi hasil identifikasi dan pembacaan prasasti, Rabu kemarin, digelar di Kantor Camat Kubutambahan, Buleleng. Kegiatan ini dihadiri sejumlah pemilik prasasti dan kalangan siswa. Hasil identifikasi dan pembacaan prasasti dari 16 titik di Buleleng tersebut disampaikan oleh Kepala Balai Arkeologi Denasar, I Gusti Made Suarbawa.

Menurut IGM Suarbawa, secara umum prasasti yang dibaca di Desa Pakisan (Kecamatan Kubutambahan), Desa Bengkala (Kecamatan Kubutambahan), Desa Bebetin (Kecamnatan Sawan), Desa Sawan (Kecamatan Sawan), Desa Jagaraga (Kecamatan Sawan), Desa Les (Kecajatan Tejakula), Desa Penuktukan (Kecamatan Tejakula), Desa Gobleg (Kecamatan Banjar), dan satu prasasti dari Gedong Kirtya Singaraja, berisi tentang aspek kehidupan. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, tatanan kehidupan, hingga batas-batas desa pada zamannya.

“Saat ini kami memfokuskan pada toponim, nama-nama tempat, dan batas desa untuk memberikan gambaran bagaimana desa-desa pada zaman dulu,” ujar IGM Suarbawa.

Menurut Suarbawa, identifikasi dan pembacaan prasasti di Buleleng itu merupakan bagian dari penelitian besar Balai Arkeologi Denpasar terkait tinggala prasasti di Bali. Buleleng dengan garis pantai terpanjangnya, kata dia, menempati posisi kedua di bawah Bangli terkait banyaknya keberadaan prasasti. Disebutkan, prasasti tersebut sebagian besar dibuat pada zaman Raja Jaya Pangus, yang mengatur soal kehidupan masyarakat, perpajakan, bagi waris, upakara, hingga batas desa.

Namun, dalam penelitian yang dilakukan sejak 26 Maret hingga 13 April 2019, ada sejumlah prasasti yang belum dapat dibaca dan diidentifikasi, Misalnya, prasasti di Desa Julah (Kecamatan Tejakula), Desa Sebiran (Kecamatan Tejakula), Desa Bulian (Kecamatan Kubutambahan), Desa Bila (Kecamatan Kubutambahan, Desa Banyuseri (Kecamatan Banjar), dan Desa Sepang (Kecamatan Busungbiu). Menurut Suarbawa, pihaknya masih menunggu dewasa ayu (hari baik) untuk menurunkan prasasti yang selama ini dikeramatkan krama setempat.

“Memang belum semua dapat kami rampungkan identifikasinya, karena masih menunggu dewasa ayu, sesuai dengan proses aturan adat. Ada pula karena sebel (cuntaka) desa. Ini yang masih kami tunggu,” jelas Suarbawa.

Suarbawa menyebutkan, identifikasi dan pembacaan prasasti ini bukan semata-mata untuk keperluan penelitian dan pendidikan, tapi juga sebagai proteksi dari ancaman hilangnya prasasti yang disimpan masyarakat. Dengan adanyanya dokumentasi dan catatan data di Balai Arkeologi, maka akan memudahkan pencarian dan penyisiran jika ancaman itu terjadi.

Setelah diidentifikasi dan dibaca, kata Suarbawa, seluruh isi prasasti wajib diketahui masyarakat, terutama pemiliknya. Suarbawa mencontohkan keterkaitan isi prasasti Desa Klandis dan prasasti Desa Pakisan dengan prasasti Desa Bengkala di Kecamatan Kubutambahan, yang dulunya merupakan satu kesatuan desa. Setelah pembacaan prasasti, masyarakat tiga desa ini kembali merekatkan hubungan kekerluargaan, meskipun mereka terpisah secara administratif.

Menurut Suarbawa, hasil idenntifikasi dan pembacaan prasasti di Buleleng nantinya akan dipublikasikan berupa tulisan ilmiah dan buku pengayaan, yang disesuaikan dengan segmen pendidikan. Dengan begitu, generasi muda yang selama ini enggan mempelajari tinggalan sejarah, menjadi tergugah dan tertarik.

Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, I Gede Subur, berharap kegaiatan Balai Arkeologi untuk mengungkap tinggalan-tinggalan sejarah di Gumi Panji Sakti bisa berkelanjutan. Dengan begitu, data hasil penelitian nantinya dapat dijadikan dasar oleh Dinas Kebudayaan untuk melestarikan tinggalan budaya.

Menurut Gede Subur, pihaknya sudah melakukan inventarisasi situs dan tempat atau barang cagar budaya yang sangat banyak di temukan di Buleleng. Selain itu, juga menyusun anggaran untuk membentuk Tim Ahli Cagar Budaya guna melicinkan penetapan cagar budaya dari Bupati Buleleng.

“Buleleng memang sangat potensial di bidang tinggalan sejarah. Kami sudah melakukan inventarisir dan pendaftaran sebagai dugaan cagar budaya. Tahun depan juga sudah dianggarkan untuk pembentukan tim ahli cagar budaya,” jelas Gede Subur kepada NusaBali, Kamis kemarin. *k23

Komentar