nusabali

MUTIARA WEDA: Pegang Tongkat Estafet

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pegang-tongkat-estafet

Seorang bapak dan ibu yang tidak memberikan pelajaran (kesucian) kepada anaknya, mereka berdua adalah musuh dari anak tersebut. Anak tersebut tidak akan ada artinya di masyarakat, bagaikan seekor burung bangau di tengah-tengah kumpulan burung angsa.

Mata satru pita bairi Yena balo na pathitah

Na sobhate sabha-madhye Hamsa-madhye bako yatha
(Canakya Nitisastra, II: 11)


MENURUT Chanakya, mendidik anak adalah kewajiban bagi semua orangtua. Hadirnya anak yang berbakti merupakan indikasi dari keberhasilan kehidupan grhasta. Dari semua jenis kesuksesan yang pernah diraih, mungkin ini adalah yang tertinggi. Mengapa? Karena dia telah berhasil menjadi tongkat estafet dari leluhur sampai keturunan berikutnya. Jika tidak, teks di atas menyebut orangtua seperti itu adalah musuh, karena telah memutus rantai ‘taksu’ yang telah diwariskan oleh leluhur dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apalah artinya bagi kehidupan generasi saat ini jika hidupnya biasa-biasa saja atau tidak sukses, sementara leluhurnya hebat dan sukses. Gen kesuksesan tersebut mestinya terus terpelihara dengan baik dari generasi ke generasi. Ini ibarat parampara, satu generasi menggantikan generasi sebelumnya. Cara untuk memeliharanya hanya satu, yakni pendidikan.

Pengandaian yang digunakan oleh Chanakya terhadap gagalnya tongkat estafet itu pun unik dan layak diinterpretasi. Beliau mengatakan ‘apalah artinya seekor bangau di tengah kumpulan burung angsa’. Teks di atas mengartikan bahwa anak tersebut tidak berguna atau tidak berarti di masyarakat. Tidak berarti mungkin maksudnya banyak hal, bisa tidak memiliki kemampuan apapun sehingga tidak mampu mengikuti setiap kegiatan yang ada di masyarakat, atau bisa juga apa yang dikerjakannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mungkin juga anak karena tidak dididik akan menjadi bodoh. Bisa juga pengetahuan yang dimiliki oleh anak akan tidak sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, karena orangtua tidak pernah memberitahu kepada anaknya mengenai pengetahuan yang harus dipelajari berkenaan dengan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan yang di-transmit mestinya disesuaikan dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. Seperti misalnya, kehidupan masyarakat di Bali sering saling membantu terutama dalam kegiatan ritual baik
untuk Dewa, Bhuta atau Manusa, maka, pengetahuan yang diberikan kepada anaknya mesti yang berhubungan dengan itu. Anak harus mahir ngulat klakat, membuat penjor, ngelawar, membuat olahan makanan, manggang sate, dan yang sejenisnya. Mahir dengan semua jenis pekerjaan tersebut tentu akan sangat bermanfaat bagi mereka sehingga kedudukannya di mata masyarakat dihormati, demikian sebaliknya.

Apa jadinya jika tradisi masyarakat menghendaki seperti itu sementara anak yang menjadi generasi penerus tidak memiliki pengetahuan tersebut? Itulah mengapa, orangtua selalu wanti-wanti kepada anaknya agar selalu belajar dan menyesuaikan diri dengan masyarakat sehingga dirinya tidak merasa dikucilkan oleh karena tidak memiliki andil di dalamnya. Ini tentu bisa dijadikan satu interpretasi terhadap perumpamaan burung bangau di atas dan mungkin hanya ini yang paling tepat. Kalau seandainya hanya dinyatakan bahwa ‘jika orangtua tidak mengajari anaknya dan kemudian tidak berguna ke depannya’, maka bisa diinterpretasi bahwa anak tersebut kemungkinan bodoh, tidak memiliki pengetahuan. Tetapi, jika penjelasan berikunya harus dengan pengandaian burung bangau seperti di atas, maka maknanya akan berbeda. Burung bangau sebagai dirinya sendiri tidak boleh secara tergesa-gesa diinterpretasi sebagai bodoh. Tetapi, ia tampak bodoh berada di tengah-tengah kawanan angsa. Mengapa? Karena berbeda.

Oleh karena itu, meskipun seorang anak bisa menjadi profesor dan ahli di bidangnya, sementara dia tidak pernah belajar ngilit sate, nektek lawar, dan yang sejenisnya ketika berada dalam kegiatan di banjar-banjar, sang profesor itu tentu tidak akan bermanfaat sama sekali. Ke-profesor-annya tidak akan pernah diakui di sana. Ini mungkin yang dimaksudkan mengapa orangtua bisa menjadi musuh bagi anaknya yang tidak mau mengajarkan bagaimana mestinya menjalani tradisi. Sang profesor ini tentu akan menjadi bahan gunjingan. Dan, tentu, masyarakat akan memiliki lahan empuk untuk digunjingkan, apalagi standar yang terus diintip oleh setiap krama banjar tersebut adalah kemampuan mengambil pekerjaan itu. Bentuk-bentuk seperti ini biasanya sangat dinanti-nanti. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar