nusabali

Prasasti Bebetin Bahas Banwa Bharu hingga Karaman

  • www.nusabali.com-prasasti-bebetin-bahas-banwa-bharu-hingga-karaman

Balai Arkeologi (Balar) Denpasar bersama Tim Peneliti Universitas Udayana (Unud), melanjutkan proses identifikasi prasasti yang ada di Buleleng.

SINGARAJA, NusaBali

Sebagai tujuan keempat setelah Prasasti Klandis, Sawan dan Gobleg, tim mengidentifikasi prasasti Bebetin yang selama ini dimiliki dan dirawat krama Dadya Pasek Bebetin, di Banjar Dinas Desa, Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng. Prasasti yang terdiri dari delapan keping itu setelah dibaca dan diidentifikasi tim peneliti dan Balar disebut menyuratkan soal banwa bharu (desa dan dusun), karaman (batas desa).

Prasasti yang terbuat dari tembaga itu berjumlah delapan lempeng. Selama ini dikeramatkan oleh krama Dadya Pasek Bebetin dan disimpan dalam keropak dan ditempatkan di gedong simpen merajan dadya. Prasasti ini pun hanya diturunkan enam bulan sekali saat piodalan di Pura Dadya yakni pada Buda Kliwon Matal.

Kelian Dadya Pasek Bebetin, Made Widiarta, mengatakan, prasasti yang dikeramatkan oleh dadyanya tersebut adalah prasasti yang sudah diwarisi secara turun temurun. Tidak ada angka pasti tahun berapa prasasti itu ditemukan dan siapa yang pertama kali menemukan.

Krama Dadya yang mewarisi prasasti itu pun dikatakan Widiarta hanya meneruskan tradisi leluhurnya membersihkan prasasti dan air basuhannya dipercikkan kepada seluruh krama dadya saat piodalan, untuk memohon restu keselamatan.

“Memang kami keramatkan di sini, sebagai tatamian dari leluhur kami terdahulu. Setiap odalan baru diturunkan, dibersihkan dan dibasuh, kemudian tirtanya dipercikkan kepada krama semua, bersama juga paica kami lainnya di sini seperti keris, tombak, lampu dan lesung,” ungkap Widiarta.

Ia dan krama dadyanya sudah mendapati prasassti itu ada jarang yang mengetahui apa isi sebenarnya prasasti yang mereka miliki selama ini. Meski dulu menurut Widiarta prasasti milik dadyanya sempat dibaca. Hanya saja saat itu ia tak terlalu simpati dan mendetail dibaca oleh siapa dan saat itu jumlahnya berapa. “Dulu memang pernah dibaca, ada orang kesini tapi sudah lama, saat saya masih muda. Dan waktu itu memang tidak terlalu memahami,” imbuh Kelian Dadya Made Widiarta.

Pihaknya pun mengaku cukup terbantu dengan datangnya kembali Balar dan tim peneliti untuk membaca dan mengidentifikasi prasasti yang mereka keramatkan.

Sementara itu dari hasil identifikasi dan pembacaan Balar dan tim peneliti Unud, dari delapan lempeng prasasti yang ada di Bebetin itu, rata-rata memiliki panjang 40 sentimeter, lebar 7 sentimeter, tebal 1,8 milimeter dan berat 450 gram. Delapan lempeng prasasti yang hampir sama bentuknya dengan prasasti Klandis, Gobleg dan Sawan, secara kasat mata kondisinya masih bagus dan terawat. Tim peneliti dan Balar pun mudah membaca aksara Bali Kuno pada lempeng prasasti itu.

Koordinator Peneliti Balai Arkeologi Bali, Nyoman Sunarya didampingi Wayan Sumerata, mengatakan dari delapan lempeng yang dibaca, Balar dan tim peneliti mengelompokkannya menjadi tiga. Tiga dari delapan lempeng prasasti yang ada disebut berangka tahun 818 Saka dan tidak ada nama raja yang tertulis di dalamnya. Kelompok tiga lempeng prasasti ini disebut Yumupakatahu atau prasasti tanpa nama raja.

“Kelompok ini menjelaskan soal banwa bharu, itu bisa bagian dari desa atau lebih kecil dari desa. Boleh juga dianalogikan dengan Dusun seperti sekarang dan juga membahas batas-batas desa atau karaman, penetapan tempat suci atau yang disebut dengan Sima Hyang Api,” jelas Nyoman Sunarya. Dalam isi prasasti juga disebutkan hal istimewa bagi mereka yg mati membela daerah perbatasan yang dibebaskan dari berbagai jenis pajak, dan beberapa aturan sosial masyarakat lainnya.

Sedangkan kelompok kedua yang terdiri dari tiga lempeng prasasti berangka tahun 911 Saka dibuat pada zaman Raja Udayana. Kelompok prasasti kedua yang dikelompokkan tim peneliti ini pun diduga tak lengkap, karena tiga lempeng yang dibaca kemarin merupakan lempeng ke 3, 5 dan 7. Sedangkan bagian lempeng ke 4 dan 6 tidak ada. Dalam tiga lempeng prasasti itu dijelaskan terkait pemberian prasasti kepada banwa bharu. Sejumlah masyarakat juga diberikan pembebasan beberapa jenis pajak atau kewajiban karena mampu menawan perompak, yang disaksikan oleh pejabat kerajaan yg hadir pada saat penetapan prasasti tersebut.

Kemudian kelompok ketiga yang terdiri dari satu lempeng prasasti berangka tahun 972 Saka, yang dibuat pada zaman Raja Jayapangus. Pada kelompok ketiga ini, menjelaskan tentang karaman  banwa bharu melakukan permohonan menambahkan isi prasasti yang ada di desanya. Penambahan prasasti yang dimaksudkan agar tidak dibebankan untuk memperbaiki bentengnya dari segala kerusakan  dan kutukan terhadap mereka yang melanggar ketentuan dalam prasasti. Satu lempeng terakhir yang tersisa tidak beraksara alias kosong.*k23

Komentar