nusabali

Tanpa Kaki dan Tangan Kanan, Jago Melukis hingga Megambel

  • www.nusabali.com-tanpa-kaki-dan-tangan-kanan-jago-melukis-hingga-megambel

Karya lukisan I Gusti Ketut Arya Subakti sudah dibeli sejumlah orang terkenal, termasuk Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti dan istri Gubernur Bali, Nyonya Putu Putri Suastini Koster

I Gusti Ketut Arya Subakti, Bocah Disabilitas Asal Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, Buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Krama Bali percaya bahwa setiap orang terlahir dengan karma dan jalan hidupnya masing-masing. Begitu juga dengan I Gusti Ketut Arya Subakti, 12, bocah penyandang disabilitas asal Banjar Ideran, Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, Buleleng. Meski terlahir tanpa kaki dan tangan kanan, tidaklah menyurutkan semangat IGK Arya Subakti untuk menggapai cita-cita. Dia justru tumbuh menjadi bocah yang piawai dalam melukis dan kini mulai hobi magambel (menabuh seperangkat gong).

IGK Arya Surbakti merupakan anak bungsu dari empat ber-saudara keluarga pasangan I Gusti Made Sujana, 53, dan Made Tri Sulastri, 53. Arya Subakti mengalami cacat fisik tanpa kaki dan tangan kanan, sejak lahir. Menurut ibundanya, Made Tri Sulastri, kehamilan dan kelahiran Arya Subakti amat di luar dugaan. Tri Sulastri mengaku baru sadar telah mengandang Arya Subakti ketika baru 2 tahun melahirkan anak ketiganya, Gusti Ayu Komang Nita, 14.

“Saya waktu itu tidak sadar hamil lagi, karena masa datang bulan tidak teratur. Tiba-tiba, saat piodalan di Pura Desa, perut saya sakit dan periksa ke bidan. Dari hasil pemeriksaan, saya dibilang sudah hamil. Beberapa lama kemudian, saya langsung melahirkan Gus Tut (panggilan akrab Arya Subakti, Red),” kenang Sri Sulastri saat ditemui NusaBali di kediamannya kawasan Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, sepekan lalu.

Sri Sulatri dan bidan yang menolongnya bersalin pun tidak mengetahui pasti, berapa umur kandungan saat Arya Subakti lahir, 2 April 2007. Yang jelas, sebelum kelahiran Aryua Subakti, Sri Sulastri sempat bermimpi kehilangan sekotak perhiasan emas dan berlian. Awalnya, mimpi aneh itu tak pernah dia gubris. Nah, setelah Arya Subakti lahir dalam kondisi tanpa kaki dan tangan kanan, barulah Sri Sulastri sadar kalau mimpi aneh itu merupakan firasat buruk.



Ketika lahir, bocah Arya Subakti hanya memiliki berat badak sekitar 1 kilogram.  Dalam kondisi shock dan putus asa, Sri Sulastri dan keluarganya membawa bayi Arya Subakti pulang dari bidan. Meski demkian, pasutri IGM Sujana dan Sri Sulastri tetap merawat anaknya yang lahir cacat secara fisik ini dengan penuh kasih sayang.

Tanpa disangka, bocah Arya Subakti tumbuh dan berkembang sangat baik. Berat badannya juga berangsur normal, seiring perjalanan waktu. Meksi tanpa bantuan incubator dan alat kesehatan lainnya saat baru lahir, Arya Subakti kini tumbuh menjadi bocah yang pintar. “Setelah umur 4 bulan, anak saya ini mulai belajar duduk, belajar merangkak, dan bergerak seperti orang normal. Itu berkat kuasa Tuhan,” tutur Sri Sulastri.

Kekurangan fisiknya tidak menjadi hambatan bagi Arya Subakti. Pihak keluarga pun membesarkan jiwa, mensuport kemajuan dan masa depan bocah penyandang disabilitas ini. Pihak keluarga semakin percaya bahwa kekurangan fisik Arya Subakti ini merupakan jalan hidupnya. Keyakinan akan hal itu semakin kuat setelah dilakukan upacara ritual meretuang, yakni prosesi menghadirkan leluhur yang bereinkarnasi pada tubuh seseorang.

“Ini bukan faktor genetik, karena di keluarga kami tidak ada yang lahir seperti ini. Cuma, kata leluhur yang nyeroadi (bereinkarnasi dalam tubuh) Gus Tut, dulu memang meninggal karena dimutilasi di mana bagian kaki dan tangannya tidak ketemu,” ungkap Sri Sulastri.

Sri Sulastri mengisahkan, meski tanpa kaki dan tangan kanan, bocah Arya Subakti dikenal periang. Saat usianya mengingjak 9 tahun, Arya Subakti didaftarkan orangtuanya masuk SDN 3 Kayuputih. Dengan bimbingan ayah, ibu, dan ketiga kakaknya, bocah Arya Subakti yang memiliki IQ lumayan bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan, dia tergolong murid yang cerdas dan kritis. Rasa ingin tahunya menjadi kunci keberhasilannya.



Di tengah keterbatasan fisiknya, Arya Subakti memiliki kelebihan. Dia sangat piawai menggambar. Bahkan, saat ini dia sudah biasa melukis di atas kanvas. Lukisan-lukisannya sangat beragam. Yang paling dia suka adalah melukis barong, peman-dangan, dan ogoh-ogoh.

Bukan hanya itu, bocah berziodac Aries ini pun sempat melukis sosok Presiden Joko Widodo. Sejumlah karya lukisnya sudah dibeli oleh orang-orang terkenal, seperti Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, istri Gubernur Bali Nyonya Putu Putri Suastini Koster, hingga Senator Sri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna.

Kepada NusaBali, Arya Subakti mengaku suka menggambar sejak usia 4 tahun. Dengan kemampuan tangan kiri dan daya imajinasinya, dia berlatih menggambar di bawah bimbingan ayahnya, IGM Sujana, yang memang memiliki darah seni. “Saya suka gambar karena sering lihat karakter di film kartun, jadi pengin bisa gambar juga,” tutur bocah berusia 12 tahun ini.

Selain melukis, Arya Subakti juga suka menabuh gong. Sejak setahun terakhir, dia tertarik memainkan sejumlah alat musik tradisional. Dia pun meminta kepada orangtuanya untuk dibelikan perangkat gambelan seadanya. Saat ini, dia sudah menguasai tabuh Tarian Puspanjali.

Bukan hanya itu, bocah penyandang disabilitas ini juga ikut megambel saat ritual pengarakan ogoh-ogoh pada malam Pangerupukan Nyepi Tahu Baru Saka 1941, Rabu, 6 Maret 2019 lalu. Saat itu, dia menabuh cengceng dari atas kursi roda.

“Memang mungkin bakatnya di seni. Kalau buyut dan kakeknya dulu, dikenal sebagai seniman tari. Saya dulu juga ikut masekaa gong dan sempat ke keliling Eropa tahun 2000-an,” cerita sang ayah, IGM Sujana.

Hanya saja, kata Sujana, keluarga sejauh ini tak bisa berbuat banyak untuk mendukung bakat si bungsu Arya Subakti, karena kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum, pasutri Sujana dan Sri Sulastri bekerja sebagai buruh serabutan yang hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, menafkahi 7 orang. Beruntung, selama ini banyak bantuan dari pemerintah, yayasan, dan individu yang datang langsung membantu bocah Arya Subakti.

“Kalau jaminan sosial, kami dapat semua, seperti KIS, PKH, KIP, dan bantuan Rp 300.000 per bulan itu. Kalau soal penghasilan kami, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan tagihan bulanan,” papar Sujana. *k23

Komentar