nusabali

Sarad Ageng Loncati Tembok Panyengker

  • www.nusabali.com-sarad-ageng-loncati-tembok-panyengker

Tradisi Bukakak Melancaran ke Pura Desa Pakraman Buleleng

SINGARAJA, NusaBali

Tradisi Bukakak dalam upacara Ngusaba Desa dan Uma di Desa Pakraman Dangin Yeh, Desa Giri Emas pada Wraspati Kliwon Menail, Kamis (21/3), beda dari biasanya. Sebab, Sarad Ageng (perlambang Burung Garuda sebagai simbol stana Dewa Wisnu) yang diusung ribuan krama, harus meloncati tembok penyengker saat ritual melancaran (berkunjung, Red) ke Pura Desa Pakraman Buleleng di Singaraja, Kamis kemarin.

Ribuan krama yang mengusung satu Sarad Ageng dan tujuh Sarad Alit, harus menempuh perjalanan selama 2,5 jam, sejauh 10 kilometer dari Pura Gunung Sekar, Desa Pakraman Dangin Yeh menuju Pura Desa Pakraman Buleleng yang berlokasi di Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng. Iringi-iringan ribuan krama pengusung Sarad ini bergerak dari Pura Gunung Sekar mulai siang pukul 13.30 Wita. Mereka baru sampai di Pura Desa Pakraman Buleleng, Kamis sore pukul 16.00 Wita.

Sepanjang perjalanan, iring-iringan tradisi ritual Bukakak ini dikawal jajaran Polres Buleleng bersama pecalang Desa Pakraman Dangin Yeh dan pecalang Pakraman Buleleng. Ritual pengusungan Sarad Ageng dan Sarad Alit ini menjadi tontonan warga sepanjang perjalanan dari Pura Gunung Sekar ke arah barat menuju Pura Desa Pakraman Buleleng.

Dalam tradisi ritual Bukakak ini, ada tujuh Sarad Alit linggih Ida Batara Sesuhunan di Pura Subak Dangin Yeh dan pura lainnya, serta satu Sarad Ageng, yang diusung oleh ribuan krama Desa Pakraman Dangin Yeh, secara bergantian. Sarad tersebut diusung menuju menuju Pura Desa Pakraman Buleleng, sesuai yang diinginkan oleh Ida Batara Sasuhunan di Pura Gunung Sekar.

Sarad Ageng ini terbuat dari puluhan bambu yang dirakit, kemudian dihiasi ambu (daun pohon Aren muda) yang di beberapa ujungnya berisi bunga Pucuk Bang. Di dalam Sarad Ageng yang tingginya mencapai 5 meter dengan lebar 5 meter tersebut berisi sesajen berupa babi hitam yang dipanggang sebagian (lebeng matah)---berat maksimal sampai 1,5 ton.

Prosesi ini sudah dimulai sejak siang pukul 11.45 Wita, ketika ribuan krama mulai berkumpul di jabat Pura Subak Danginb Yeh. Prosesi diawali ritual penyucian Sarad Ageng oleh pamangku setempat, yang dilanjutkan mejaya-jaya seluruh krama yang mengusung Sarad di Pura Pancoran Mas dan Pura Gunung Sekar.

Usai persembahyangan dan nunas bija kuning di Pura Pancoran Mas dan nunas petirtaan di Pura Gunung Sekar, krama langsung berlari mengambil Sarad Ageng yang berada di Pura Subak. Sarad Ageng dan 7 Sarad  Alit selanjutnya diusung menuju Pura Gunung Sekar yang berjarak sekitar 300 meter. Hanya saja, karena medan cukup berat, krama harus berjuang mengusung Sarad Ageng agar bisa sampai di Pura Gunung Sekar.

Usai melaksanakan ritual di Pura Gunung Sekar sekitar pukul 13.30 Wita, Sarad Ageng dan Sarad Alit barulah diusung menuju Pura Desa Pakraman Buleleng di Sinharaja. Begitu tiba di Pura Desa Pakraman Buleleng, Kamis sore pukul 16.00 Wita, krama pengusung 7 Sarad Alit dan krama pengiring langusng masuk melalui gelung kori agung yang berada di sisi timur.

Namun, Sarad Ageng (berukuran besar) harus masuk ke Pura Desa Pakraman Buleleng dengan cara meloncati tembok penyengker di sisi utara. Selain karena ukuran gelung kori yang ada di Pura Desa Pakraman Buleleng tidak muat untuk Sarad Ageng, aksi meloncati tembok penyengker ini juga karena kehendak Ida Batara Sesuhunan Pura Gunung Sekar. “Kalau sudah kehendak dan kemauan beliau, tidak ada yang bisa menghalangi,” terang Kelian Subak Sangsit Dangin Yeh, Ketut Sukrana, kepada NusaBali.

Tradisi Bukakak itu sendiri merupakan puncak dari rangkaian upacara Ngusaba Desa dan Ngusaba Uma di Desa Pakraman Dangin Yeh, yang dilaksanakan dua tahun sekali pada Sasih Kadasa. Untuk tahun 2019 ini, Ngusaba Desa dan Uma berlangsung sejak Saniscara Kliwon Uye, Sabtu (16/3) lalu, ditandai dengan ritual melasti ke segara (laut) Desa Giri Emas.

Kemudian, dilanjutkan upacara Nguaba Uma di Pura Empelan, Pura Gaduh, dan Pura Panti pada Redite Umanis Menail, Minggu (17/3). Selanjutnya, upacara Ngembang pada Soma Kliwon Menail, Senin (18/3), di mana saat itu dilakukan prosesi nyujukang (mendirikan) 3 dangsil, masing-masing Dangsil Tumpang Pitu (tingkat 7), Tumpang Sia (tingkat 9), dan Tumpang Solas (tingkat 11).

Habis itu, dilaksanakan upacara Ngusaba Dalem dan Segara di Pura Dalem dan Pura Segara pada Anggara Pon Menail, Selasa (19/3). Kemudian, dilaksanakan bakti (persembahyangan bersama) di Pura Subak Dangin Yeh pada Buda Wage Menail, Rabu (20/3). Sehari berikutnya, pada Wraspati Kliwon Menail, Kamis kemarin, dilaksanakan tradisi ritual Bukakak.

Dalam tradisi ritual Bukakak ini, Ida Betara Sesuhunan melancaran ke suatu tempat, sebagai simbolik ucapan puji syukur atas terlaksanakanya rangkaian aci (upacara persembahan) di sejumlah pura di Desa Pakraman Dangin Yeh. Selain itu, juga sebagai simbolik memohon agar hasil pertanian berlimpah.

Khusus untuk tradisi ritual Bukakak kali ini, Ida Batara Sesuhunan kairing melancaran ke Pura Desa Pakraman Buleleng di Singaraja, tepatnya wilayah Kelurahan Paket Agung. “Sekarang Ida Sesuhunan melancaran ke Pura Desa Paktraman Buleleng. Ini sesuai petunjuk Ida Batara Sesuhunan saat nuntun,” papar Ketut Sukrana.

Sementara itu, Kelian Desa Pakraman Buleleng, Jero Nyoman Sutrisna, mengatakan pihaknya mengadakan penyambutan ritual Bukakak, karena sebelumnya sudah mendapat oleman (pemberitahuan) dari Desa Pakraman Dangin Yeh. “Sejak pagi kami sudah melakukan persiapan yang melibatkan pecalang dan Krama Tri Datu untuk nyanggra Sarad Bukakak yang melancaran ke Pura Desa,” terang Jero Nyoman Sutrisna.

Menurut Jero Sutrisna, Sarad Ageng Bukakak dari Desa Pakraman Dangin Yeh sudah dua kali melancaran ke Pura Desa Pakraman Buleleng, dengan tempat tujuan yang sama. Ritual terakhir sebelumnya terjadi 18 tahun silam. Kehadiran Sarad Ageng Bukakak merupakan sebuah kehormatan kepada Ida Sesuhunan, karena diyakini memiliki ikatan secara niskala yang sudah diwarisi turun temurun. “Sejak dulu memang sudah ada ikatan, ini sebuah kehormatan bagi kami. Prosesinya hanya persembahyangan bersama, di mana banten dipersembahkan langsung oleh krama Desa Pakraman Dangin Yeh,” jelas Jero Sutrisna. *k19

Komentar