nusabali

Desa Pakraman Semaagung Gelar Tradisi Tektekan

  • www.nusabali.com-desa-pakraman-semaagung-gelar-tradisi-tektekan

Desa Pakraman Semaagung, Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, menggelar tradisi Tektekan, serangkaian Karya Ngusaba Desa, saat Purnama Kadasa, Buda Wage Menail, Rabu (20/3) pagi.

SEMARAPURA, NusaBali

Tradisi ini berupa Melasti ke Pantai/Segara Tegal Besar, Desa Negari, Banjarangkan. Melasti ini juga disebut Makekobok Nangluk Desa.

Prosesi ini ditandai puluhan krama membunyikan Gong Dewa Tektekan, berupa kulkul yang terbuat dari bambu. Penabuh Gong Dewa mengenakan topi anyaman daun kelapa tua.  Pamangku Pura Dalem Penyarikan, Semaagung, Jro Mangku Ketut Purna mengatakan tradisi ini untuk menetralisir wabah penyakit dan menolak marabahaya secara niskala, di Desa Pakraman Semaagung. Gong Dewa, sebelum digunakan terlebih dulu dipasupati di Pura Dalem Penyarikan Puseh Bale Agung, Desa Pakraman Semaagung.

Ritual Tektekan diawali dengan bekumpulnya krama di Catus Pata Desa Pakraman Semaagung, Rabu dinihari sekitar pukul 04.00 Wita. Kemudian nedunang Ida Sasuhunan di wilayah Desa Pakraman Semaagung. Setelah itu krama mengambil Tektekan yang sudah dipasupati untuk dibunyikan dengan irama rancak. Krama langsung mengiringi Ida Sasuhunan Melasti ke Segara Tegal Besar, berjarak sekitar 5 km.

Setelah prosesi di Segara, Ida Bhatara maajar-ajar nyatur desa dengan berkeliling keempat arah penjuru desa untuk Nyuryanin Jagat atau Macecingak. Tujuannya, agar jagat Semaagung tenang dan damai. Ida Bhatara Khayangan Tiga nyejer di Pura Melanting selama tiga hari sebelum dilakukan Panyineban. Jro Mangku Ketut Purna menambahkan, Melasti Makekobok Nangluk Desa ini untuk penyucian Pakuluh, Pralingga dan Arug yang tedun sebagai stana Ida Bhatara. Prosesi ini juga untuk memohon kedamaian di Desa Pekraman Semaagung.

Jro Mangku Purna mengaku tidak mengatahui secara pasti awal mulanya dari Tradisi Tektekan ini. Namun sesuai kisah yang beredar di masyarakat, pada zaman dahulu di wilayah Desa Pakraman Semaagung terserang wabah penyakit berbahaya yang sulit diatasi. Beberapa waktu kemudian tiba-tiba turun pawisik dari Ida Sasuhunan lewat perantara serang krama (kerauhan). Dalam kondisi kerauhan itu disebutkan untuk menetralisir wabah penyakit harus dengan membunyikan Gong Dewa Tektekan. ‘’Akhirnya wabah penyakit itu tiba-tiba lenyap, maka sejak saat itulah digelar Tradisi Tektekan pada Purnama Kadasa,’’ jelasnya.

Selama ini krama setelalu taat mengajegkan tradisi tersebut. Jro Mangku Purna mengisahkan, puluhan tahun lalu sejumlah krama sempat mengusulkan agar saat Karya Ngusaba Desa berlangsung agar tidak Melasti ke Segara. Mengingat rentang Ngusaba Desa dan Hari Raya Nyepi cukup mepet, jadi krama ingin supaya lebih efisien tidak Melasti dua kali dalam waktu berdekatan. Di samping itu krama juga sibuk menyiapkan sarana upacara dan upakara.*wan

Komentar