nusabali

Pergub 99 Tahun 2018 Jadi Harapan Baru bagi Kesejahteraan Petani

  • www.nusabali.com-pergub-99-tahun-2018-jadi-harapan-baru-bagi-kesejahteraan-petani

Gubernur Bali Wayan Koster tegaskan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali, menjadi harapan bagi kesejahteraan petani lokal.

DENPASAR, NusaBali

Dengan Pergub 99/2018 ini, petani lokal Bali akan memiliki kepastian harga dan keuntungan dalam menjual hasil panennya.

“Melalui Pergub 99 Tahun 2018 ini, produk pertanian lokal akan dibeli pihak hotel, swalayan, restoran, dan catering dengan harga minimal 20 persen di atas biaya produksi. Sehingga ini sudah pasti menguntungkan para petani kita, tidak anjlok (harganya, Red),” ujar Gubernur Koster di Denpasar, beberapa hari lalu.

Gubernur Koster membeberkan, pemberlakuan Pergub 99/2018 ini bertujuan untuk lebih menyatukan sektor pertanian dengan pariwisata di Bali, sehingga mampu memberikan dampak positif langsung bagi perekonomian kalangan petani. “Bali ini dikunjungi wisatawan mancanegara mencapai 7-8 juta orang per tahun dan wisatawan domestiknya 9-10 juta per tahun. Misalnya, jika pada musim salak, kita suguhkan salak, musim manggis kita suguhkan manggis dan seterusnya, tidak ada lagi istilah buah lokal kita nggak laku,” tandas Koster.

“Saya wajibkan sekarang hotelnya, kalau di musim salak, minimal ada 2 biji salak di tiap kamar. Saat musim manggis, jeruk, dan buah lokal lainnya juga begitu. Dan, harus dibayar buahnya. (Kebijakan) Ini diharuskan dan ditegaskan,” lanjut Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini.

Dengan berjalan beriringan, menurut Koster, pariwisata bisa turut serta mengangkat ekonomi para petani lokal. “Jangan jalan sendiri-sendiri, pariwisatanya maju, sementara petaninya mati, tidak boleh seperti itu,” tegasnya.

Koster menambahkan, pasar dari wisatawan yang demikian besar datang ke Bali, selama ini belum diberdayakan sehingga belum mampu menyentuh langsung para petani lokal, yang di sisi lain seringkali menghadapi anjloknya harga saat musim panen dan akhirnya harus menerima produknya terbuang busuk, karena tidak laku terjual.  “Ini tidak boleh lagi. Akan saya tata dan buatkan sentra pasar sesuai dengan potensi dan komoditasnya, seperti jeruk di Kintamani, salak di Karangasem, manggis di Tabanan, dan seterusnya,” jelas Koster.

Menurut Koster, ke depannya juga akan dibentuk industri-industri pengolahan sebagai sarana menghindari terbuangnya hasil pertanian untuk kemudian diolah menjadi produk-produk seperti jus, wine, dan lainnya. “Sampai arak Bali pun akan saya benar-benar hidupkan lagi. Suratnya sudah saya kirimkan dan saya fasilitasi industrinya. Buat koperasi, agar masyarakat kita maju dan jadi bos, jangan jadi anak buah terus, itu yang namanya berdikari secara ekonomi,” tukas Koster yang notabene mantan anggota Komisi X DPR RI (membidangi pariwisata dan ekonomi kreatif) tiga kali periode.

Sementara itu, akademisi dan praktisi Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar, Pande Komang Suparyana STP MAg, mengharapkan terbitnya Pergub 99 Tahun 2018 dapat membantu petani Bali, utamanya dalam persaingan dengan produk pertanian dari luar.

“Seperti yang kita lihat di lapangan, banyaknya produk luar daerah yang masuk ke Bali membuat harga komoditas di tingkat petani lokal menjadi rendah. Ini berdampak pada kurang bergairahnya petani Bali untuk melakukan pengembangan dalam budidaya pertanian. Akibatnya, kuantitas dan kualitas produk juga stagnan,” terang Pande Suparyana dalam kesempata terpisah.

Pande Suparyana juga menyoroti banyaknya pengepul ‘nakal’ yang memanfaatkan produk luar daerah masuk ke Bali, hingga semakin memperparah kendala yang dihadapi petani lokal selama ini. Karena itu, dia berharap Pergub 99/2018 ini benar-benar dikawal dan dimonitor pelaksanaannya, sesuai dengan tujuan penetapannya, yakni mensejahterakan petani Bali.

“Karena kesejahteraan petani juga berarti menuju kemandirian pangan di Bali. Selain itu, juga memacu para petani untuk budidaya yang efektif dan efisien atau meningkatkan kompetensi petani itu sendiri. Apalagi, kalau ada pengembangan kompetensi untuk pertanian secara organik dan berkelanjutan, tentu kualitasnya bisa meningkat lebih jauh lagi,” papar Pande Suparyana.

Secara terpisah, salah seorang petani beras merah asal Desa Wongaya Betan, Kecamatan Penebel, Tabanan, Nengah Suarsana, mengarakan secara umum mendukung dan menyambut baik dilaksanakannya Pergub 99/2018, yang disebutnya bisa menjadi harapan baru bagi para petani. Berdasarkan pengalaman selama ini, kata Suarsana, yang jadi kendala dalam pemasaran produk pertanian adalah kebanyakan pembeli hotel, supermarket, atau restoran yang pembayarannya dilakukan belakangan alias ngebon dulu.

“Ini cukup memberatkan kami sebagai petani untuk memutar uang, karena ongkos produksi yang cukup tinggi. Nah, dengan adanya regulasi ini (Pergub 99/2018, Red), tentu harapan kami hal yang demikian bisa dikurangi dan petani mendapatkan pembayarannya secara tunai,” harap Ketua Kelompok Petani Somya Pertiwi yang mengkhususkan diri terhadap produksi beras organik ini.

Suarsana melanjutkan, dirinya dan petani yang lain juga mengharapkan adanya kejelasan dan sistem yang transparan dalam pembayaran, andaikata nantinya sistem pembayaran bekerjasama dengan pihak ketiga. “Yang saya dengar, pembayaran bisa dilakukan oleh Perusahaan Daerah (Perusda) dan petani mendapatkan pembayaran secara tunai,” katanya.

“Kalau bisa demikian, saya pikir baik sekali, karena petani akan mendapatkan kejelasan mengenai penjualan produknya, ditambah ada regulasi yang mengatur. Tinggal sekarang transparansi saja, baik harga maupun sistemnya, karena kami petani inginnya cuma satu: kepastian produk kami bisa terserap dan kepastian pula untuk harganya,” lanjut Suarsana. *

Komentar