nusabali

Berfungsi Fleksibel, Tetap Bersimbolis Sri Nini

  • www.nusabali.com-berfungsi-fleksibel-tetap-bersimbolis-sri-nini

Menyimak Jineng di Lumbung Beras Tabanan

TABANAN, NusaBali

Sebagai wilayah dengan persawahan nan subur dan membentang luas, Tabanan masih dijuluki lumbung berasnya Bali. Sebagai cirri wilayah agraris, hampir setiap rumah masyarakat di Kabupaten Tabanan dilengkapi bangunan tradisional berupa Jineng atau Lumbung.

Era dulu, Jineng berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Namun kini, di tengah beradaban zaman, fungsi Jineng mulai fleksibel. Bisa digunakan untuk menerima tamu, tempat santai, dan membuat upakara bahkan tempat untuk menyajikan makanan ketika ada acara tertentu.

Biasanya, Jineng yang terdapat di setiap pekatangan rumah di Tabanan terletak di depan saat masuk rumah bagian kiri dari arah pintu masuk. Berbeda sebutan di luar Tabanan, seperti di Kabupaten Bangli dan Gianyar Jineng sering disebut Klumpu atau Gelebeg. Jineng memiliki bentuk unik, sedikit memanjang dan mengerucut dengan memakai saka atau tiang bangunan berjumlah empat hingga enam.

Yang membedakan adalah besaran Jineng yang tergantung luas sawah yang dimiliki warga. Selain ukuran yang membedakan, juga motifnya. Karena saat ini bangunan Jineng yang dibuat dilengkapi bermacam asesoris. Dalam pembuatan Jineng, biasanya tukang bangunan menyelesaikan dalam waktu 15 hari.

Sesungguhnya keberadaan Jineng di Tabanan hingga kini tetap eksis. Bahkan ada masyarakat yang tidak memiliki sawah juga membuat Jineng di rumahnya. Fisik bangunan Jineng yang ada  saat ini lebih bermotif. Jika dulu bentuknya polos, saat ini sebagian besar telah dimodifikasi karena dilengkapi ukiran. "Jineng masih tetap eksis sekarang, apalagi di kampung-kampung," ujar Kepala UPT Museum Subak di Tabanan Ida Ayu Ratna Pawitrani.

Dikatakannya, kini Jineng juga berfungsi fleksibel. Bisa tempat bersantai, menerima tamu, tempat membuat upakara dan tempat untuk menyajikan makanan ketika dalam suatu rumah memiliki acara. "Jadi ini salah satu penyebab Jineng di Tabanan masih bertahan," imbuhnya.

Diterangkan Pawitrani, sebenarnya fungsi Jineng yang fleksibel sudah sejak lama. Karena masyarakat di Tabanan usai panen padi tidak serta merta langsung disimpan di Jineng. Agar lebih praktis, mereka menaruh padi di lantai. Ada pula yang padinya langsung dijual di sawah. Namun yang melakukan hal tersebut hanya sebagian, lebih banyak mereka tetap menyimpan di Jineng sebagai tabungan pangan.

Jleas dia, Jineng di Tabanan sebenarnya memiliki ciri khusus. Pada zaman dulu, Jineng yang dirancang dua tingkat yang keseluruhanya dalam keadaan tertutup. Namun sekarang karena memiliki fungsi fleksibel, di bagian bawah bangunan Jineng dibuka agar memiliki nilai keindahan dan multifungsi.

Sementara itu, Dony Darmawan alias Rama, salah seorang warga Tabanan yang mempertahankan warisan budaya dengan membuat Jineng, meskipun ia tidak memiliki sawah. Karena ia menerapkan pola pekarangan sesuai Asta Kosala Kosali, bahwa setiap rumah memang pantas dilengkapi dengan Jineng. "Saya tidak punya sawah, tapi tetap membuat Jineng. Meskipun Jineng  saya sempat dulu dibongkar oleh orangtua karena kami sempat transmigrasi. Namun saya banging lagi Jineng," ungkapnya.

Meskipun tidak difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi karena tidak memiliki sawah, Bhatara Sri Nini atau Dewi Sri, tetap ditandai dengan puluhan tangkai padi diikat dan disimpan dalam Jineng. Disamping itu Jineng yang dibangunnya tersebut digunakan sebagai tempat menerima tamu, tempat makan dan tempat ngobrol. "Kalau ada teman atau kolega datang ke rumah saya, saya ajak dulu duduk di Jineng, karena saking nyamannya teman tidak mau pindah ke teras rumah, sampai akhir akan ngobrol di Jineng," terang pria asal Banjar Bongan Gede, Desa Bongan, Kecamatan Tabanan.

Bahkan Doni juga mempercayai sesuai dengan kepercayaan para tetua, tamu datang ke rumah harus dipersilakan terdahulu ke Jineng untuk meminimalisir aura negatif. "Secara logika tamu dan kolega tidak mungkin membawa aneh-aneh atau mencelakai, hanya karena mereka perjalanan jauh hal-hal negatif pasti ada sehingga perlu diminimalisir," terangnya.

Diakui Dony Darmawanm Jineng di rumahnya dibeli Rp 40 juta ukuran 1,5 meter x 2 meter. Jineng yang dibeli polos tanpa ukiran menggunakan kayu bingkrai karena jenis kayu kuat dan tahan panas serta hujan.

Disinggung terkait dengan sentra pembuat Jineng, Dony mengakui banyak ada pembuat Jineng di wilayah Kecamatan Marga, Kerambitan, dan Penebel. Ia meyakini di era sekarang,  keberadaan Jineng makin eksis. Karena hampir setiap rumah masih mempertahankan. Apalagi saat ini, vila atau bangunan jenis lain banyak menyerupai Jineng. "Kalau saya sendiri memanfaatkan Jineng ini untuk menggali inspirasi," jelasnya. *de

Komentar