nusabali

Nol Nyepi

  • www.nusabali.com-nol-nyepi

BILA Hari Raya Nyepi tiba, kembali ihwal keheningan, ketenangan, kedamaian, diperbincangkan.

Tentang makna tapa, yoga, samadi, dikupas. Arti mulat sarira (introspeksi) didengungkan. Nyepi dianggap saat paling tepat untuk menelisik diri sendiri, menghentikan keinginan yang melesat mendesak-desak.

Jika Nyepi tiba, bermacam simbol tentang keseimbangan dibicarakan. Perlambang-perlambang Nyepi dinilai sangat dahsyat, juga unik, yang memberi filosofi hidup bagi orang Bali. Pegangan hidup itu mengajarkan agar manusia menahan diri, menjaga alam, hidup penuh tenggang rasa. Dan di dunia, hanya Bali yang punya Nyepi. Banyak orang bule yang menyaksikan Nyepi di Bali kagum, hanya Nyepi hari raya yang sanggup menghentikan kesibukan lalu lintas dunia, karena bandara ditutup.

Di Bali, boleh saja Galungan hari raya paling meriah, namun yang paling membanggakan adalah Nyepi. Ini hari raya unggul, banyak sekali membawa makna falsafah, dan (yang tak kalah penting) satu-satunya hari raya Hindu di Indonesia yang memperoleh jatah libur nasional. Nyepi sebagai hari libur nasional selalu dielu-elukan oleh orang Bali.

Nyepi juga acap dikaitkan dengan perlambang-perlambang yang serba tinggi. Karena jatuh ketika sasih kesanga (bulan kesembilan), Nyepi diyakini memiliki angka terunggul. Angka berapa pun dikalikan sembilan, jika hasilnya dijumlahkan, akan kembali menjadi sembilan.

Namun banyak orang Bali berpendapat, hakikat Nyepi tidak pada keberadaan sembilan sebagai angka tertinggi. Kemuliaan Nyepi justru terletak pada pemahaman umat pada hakikat Nol. Jika seseorang ingin lengkap, ia harus sanggup menghayati Nol. Sembilan, seribu, sejuta, itu cuma angka-angka. Sebagai angka, mereka tak terbatas, karena itu tak ada yang berhak mengaku sebagai tertinggi.

Tetapi Nol tidak. Kaum pedagang boleh saja menguntit terus Nol sebagai angka untuk menggenapkan laba menjadi sejuta, semiliar. Spiritualisme justru memburunya sebagai sebuah wilayah pencapaian tertinggi, hasil sempurna dari pengekangan diri, pengejawan­tahan kehalusan budi dan keluhuran rasa. Saat orang merasa sangat aman, lepas tanpa beban, bebas dari keinginan.

Nol adalah sebuah posisi maha penting. Seseorang yang mengaku telah mencapai sembilan, tak akan pernah tahu apakah ia benar-benar berada di sebuah puncak. Mereka yang mengaku dalam keadaan lelah, kalah, tak pernah tahu seberapa dalam mereka terbenam. Untuk mengetahui seberapa tinggi berada di puncak, atau seberapa jauh terpuruk, orang harus memosisikan dirinya di Nol. Tapa, yoga, samadi, memberi jalan ketenangan, keheningan, kedamaian, untuk mencapai posisi Nol itu. Maka pencapaian Nol itu sebuah proses, panjang, berliku, kaya godaan, tak bisa dicapai sekali jadi, tidak dengan tawar menawar.

Matematika mengajarkan, nol adalah pertemuan sumbu X dengan Y dengan nilai sama-sama nol. Dari titik sumbu nol inilah peluang untuk menilai posisi seberapa tinggi atau rendah titik dan garis, seberapa jauh posisi bergeser ke kiri atau ke kanan. Dari posisi nol ini pula kita memastikan atas, bawah, samping, plus dan minus.

Nyepi sesungguhnya adalah hakikat Nol. Inilah tahun baru yang dimulai dengan kosong, yang dilambangkan dengan Nol. Dalam Nyepi, Nol ini tidak lagi semata bermakna angka pertama dari rentetan hari-hari dalam setahun, namun juga berarti awal, ujung, kejelasan, dan ketidakjelasan, yang menjalin menjadi satu mata rantai lingkaran.

Nol dalam Nyepi adalah kejelasan, karena itulah awal. Tapi juga ketidakjelasan, karena orang tak tahu persis seperti apa hari-hari mendatang harus dilalui. Nol memberi keyakinan, tetapi juga sejumlah pertanyaan. Seseorang yang menghayati Nol tak akan berani sesumbar, karena ketika ia tahu sedang berada di atas, ia cemas, apakah tahun ini ia akan bergulir ke bawah? Namun ketika pasrah, ia merasa dalam Nol yang hening, tenang, damai. Ia merasa terselamatkan, dilewatkan dari rasa gelisah, dituntun menuju wilayah yang nyaman dan menenteramkan.

Nol itu sempurna. Siapakah di antara kita, ketika Nyepi, mencapai Nol? Atau tak seorang pun berhasil mencapai Nol, karena tak seorang pun sempurna?

Maka sungguh tidak mudah berhadapan dengan Nol. Ketika jaringan internet dibungkam sehari tatkala Nyepi, banyak orang menggerutu. Tapi tidak sedikit yang menilai alangkah bagus, betapa nyaman, sehari tanpa internet, tanpa deru mobil dan bising pesawat. Detik jam di dinding terdengar jelas, suara helaan nafas jernih menembus kuping. Sudah berkali-kali orang Bali melakoni Nyepi, namun nyaris semua mengaku tak jua bertemu Nol. Sampai-sampai ada yang berujar, “Nol itu, Nyepi itu, kalau benar-benar dihayati, sungguh-sungguh sebuah misteri. Di Bali, memang ada banyak misteri, tidak cuma Nyepi. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar