nusabali

Tanpa Ogoh-ogoh, Krama Lanang Lakoni Ritual Mabayang-bayang

  • www.nusabali.com-tanpa-ogoh-ogoh-krama-lanang-lakoni-ritual-mabayang-bayang

Tradisi ritual Mebayang-bayang berupa aksi tarik-tarikan belulang godel betina digelar secara turun temurun sejak berdirinya Desa Pakraman Sengkiding tahun 1900-an. Ritual ini pernah tidak dilaksanakan, sehingga terjadi peristiwa niskala di mana kelian banjar dicari sosok bertubuh besar

Sisi Unik Pangrupukan Nyepi di Desa Pakraman Sengkiding, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung


SEMARAPURA, NusaBali
Desa Pakraman Sengkiding, Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung merupakan salah satu desa adat di Bali yang tidak melaksanakan tradisi mengarak ogoh-ogoh saat malam Pangerupukan Nyepi Tahun Baru Saka. Yang ada adalah tradisi ritual Mabayang-bayang di atas genangan air, sebagai simbolok untuk mengusir pengaruh negatif.

Bendesa Pakraman Sengkiding, Ida Bagus Gede Yoga, 70, mengatakan secara etimologis, Mabayang-bayang berarti sebuah aktivitas atau gerakan saling tarik-menarik belulang godel (kulit anak sapi). Godel yang digunakan sebagai sarana pun harus betina yang hidungnya belum dicocok. Tradisi ritual Mebayang-bayang ini bertujuan untuk mengusir pengaruh negatif dari lingkungan desa.

Prosesi Mabayang-bayang rangkaain Nyepi Tahun Baru Saka 1941 di Desa Pakraman Senkiding digelar Cartus Pata (Perempatan) Desa pada Tilem Kasanga, Rabu (6/3) mulai petang pukul 18.00 Wita hingga malam pukul 20.00 Wita. Sebelum ritual Mebayang-bawang, terlebih dulu digelar upacara Tawur Agung Kasanga di Catus Pata Desa Pakraman Sengkiding, Rabu siang pukul 12.00 Wita.

Upacara pecaruan juga dilaksanakan di ujung-ujung perbatasan desa dari siang hingga petang pukul 18.00 Wita. Setelah upacara pecaruan selesai, belulang godel betina untuk sarana kurban yang lengkap menempel dengan kepala, keempat kaki, dan ekornya tersebut diamankan oleh krama desa. Belulang godel betina inilah yang kemudian dibayang dalam tradisi ritual Mabayang-bayang.

Saat ritual Mebayang-bayang, sejumlah kulkul (kentongan) besar dibunyikan krama lanang (pria) untuk menyemarakkan atraksi. Pada saat bersamaan, sebanyak 40 perakpak (obor besar yang terbuat dari daun kelapa kering yang disatukan menjadi ikatan besar) dinyalakan dan dipasang di pinggir areal ritual Mebayang-bayang. Selain itu, sejumlah krama lanang juga terlihat memegang perakpak, yang berfungsi sebagai penerang.

Mebayang-bayang ini bukan hanya berupa ritual saling tarik menarik belulang godel, namun juga ditingkahi dengan cipratan air yang diperoleh dari parit kecil yang mengalir di kiri kanan jalan raya. Sebelumnya, krama telah memasang puluhan karung pasir di parit, sehingga airnya menggenang dan meluap hingga ke jalan. Nah, air dari kolam buatan itulah yang diguyurkan ke peserta ritual Mebayang-bayang hingga mereka basah kuyup.

Selama ritual Mebayang-bayang, yang ikut terlibat aksi saling tarik belulang godel betina dan guyur mengguyur air adalah krama lanang dari segala usia, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sedangkan krama istri (perempuan) menjadi penonton dan penyemangat di pinggir areal. Ritual Mebayang-bayang berlangsung hingga malam pukul 22.00 Wita. Ritual Mebayang-bayang diakhiri dengan mengubur belulang godel betina di tanggun (ujung) desa.

Menurut Bendesa Ida Bagus Gede Yoga, tradisi ritual Mebayang-bayang ini digelar secara turun temurun sejak berdirinya Desa Pakraman Sengkiding sekitar tahun 1900-an. Ritual ini selalu dilaksanakan saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka (sehari sebelum Nyepi). Di desa adat ini tidak ada mengenal tradisi mengarak ogoh-ogoh saat Pangrupukan Nyepi.

Krama Desa Pakraman Sengkiding meyakini ritual Mebayang-bayang merupakan implementasi dari Pangrupukan Nyepi yang menjadi satu rangkaian dengan upacara Tawur Agung Kasanga untuk menyomiakan (menetralisasi) Bhuta Kala. “Tradisi sakral ini tidak boleh tak dilaksanakan, karena akibatnya bisa fatal,” ungkap Ida Bagus Gede Yoga alias Gus Yoga kepada NusaBali dis sela ritrual Mebayang-bayang, Rabu malam.

“Di masa lalu, ritual Mebayang-bayang ini pernah tidak dilaksanakan. Terjadi kemudian peristiwa magis, di mana kelian banjar dicari oleh sosok bertubuh besar-besar. Sejak saat itu, tradisi ini tak pernah lagi tidak dilaksanakan,” lanjut tokoh adat berusia 70 tahun yang menjabat sebagai Bendesa Pakraman Sengkiding sejak 2017 ini.

Kenapa tradisi ritual Mebayang-bayang kala itu sampai tidak dilaksanakan? Menurut Gus Yoga, saat itu krama setempat didera musim gerit, di mana mereka kelaparan, sehingga tidak sanggup membeli godel untuk sarana kurban ritual Mabayang-bayang. Ternyata, peniadaan ritrual Mebayang-bayang membuat kelian banjar dicari sosok bertubuh besar-besar.

Gus Yoga mengatakan, krama Desa Pakraman Sengkiding biasanya melaksanakan iuran tiap bulan untuk bisa melaksanakan tradisi rituak Mebayang-bayang, termasuk membeli godel betina. Selain itu, juga ada dibantu dengan dana Bantuan Kegiatan Khusus (BKK) dari Pemprov Bali.

Desa Pakraman Sengkiding sendiri termasuk salah satu desa adat yang kecil dari sisi jumlah krama dan banjar. Desa ini terdiri dari satu banjar adat dan satu banjar dinas, yakni Banjar Sengkiding, Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan. Krama Desa Pakraman Sengkiding hanya berjumlah 213 kepala keluarga (KK). *cr41

Komentar