nusabali

Belajar Karakter Saat Masih Kecil

  • www.nusabali.com-belajar-karakter-saat-masih-kecil

Mengharapkan anak menjadi pintar sejak usia dini adalah suatu kekeliruan. Seringkali ditemukan orangtua berlomba mendidik anak agar menjadi pintar membaca, menulis atau berhitung. Bersekolah hanya dimaknai untuk naik kelas, lulus ujian, dan/atau lulus seleksi. 

Penulis: Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya.

Berbeda dengan sekolah di Jepang, tidak ada ujian atau tes sampai mereka duduk di kelas empat sekolah dasar. Mereka membiasakan diri membangun perilaku baik dan sopan, kalau toh ada tes sifatnya sederhana. Pada usia dini sampai umur tiga tahun tidak ada penilaian pengetahuan.  Mereka sibuk membiasakan diri berperilaku sopan dan santun. Inilah pendidikan karakter yang baik sejak usia dini.

Sejak kecil anak hendaknya dibiasakan berperilaku adil, tidak ada perbedaan warna atau status sosial. Anak-anak harus dibiasakan untuk menghormati orang lain dan bersikap lembut terhadap hewan maupun alam. Mereka juga harus belajar menjadi dermawan, bersikap welas asih, dan memiliki empati. Selain itu, anak-anak perlu diajar mengontrol diri dan memiliki sifat adil dalam berbagai hal. Inilah pendidikan karakter yang berprinsip sejak kecil.

Mengakrabi kebersihan dan kesehatan juga dapat dilakukan sejak usia dini di rumah. Seperti di Jepang, anak-anak dibiasakan membersihkan lingkungan. Sebagian besar sekolah tidak mempekerjakan petugas kebersihan atau penjaga sekolah. Di sekolah Jepang, siswa harus membersihkan ruang kelas, kantin, dan bahkan toilet. Saat membersihkan, anak dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, tugas berotasi sepanjang tahun. Cara demikian akan membiasakan anak beraktivitas dalam tim dan saling membantu. Pembiasaan demikian masih tampak di beberapa sekolah dasar di desa. Selain itu, menghabiskan waktu untuk usaha sederhana seperti menyapu, mengepel, dan lainnya membuat anak menghormati pekerjaan sendiri dan orang lain. Namun ketika umur dan jenjang meningkat kebiasaan baik tersebut ditinggalkan. 

Kebersihan sama penting dengan kesehatan. Menu makanan di rumah dan sekolah selalu sehat, tidak perlu mewah. Anak-anak dipastikan agar diberikan makanan bergizi seimbang, bukan empat sehat lima sempurna lagi. Di sekolah anak-anak dapat memilih makanan sehat dan bergizi seimbang. Makanan dan minuman disediakan dengan menu standar dan diawasi oleh seorang perawat. Menu makan bukan main-main apalagi hanya modal enak rasa micin. Anak makan bersama dengan guru dan siswa lainnya. Ini membantu membangun hubungan guru dengan murid secara positif.

Di sekolah anak belajar aksara Bali, berinteraksi dalam basa Bali alus, belajar tata titi dan sepat sane tuhu. Mempelajari tembang dan berpuisi dalam bahasa Bali merupakan pemaknaan budaya sejak kecil. Anak-anak diajarkan untuk menghormati budaya dan tradisi yang telah ada sejak berabad-abad lamanya. Saat hari suci agama, anak-anak dibiasakan berbusana untuk bersembahyang. Tidak ada perasaan terpaksa, yang ada hanya kesadaran untuk memelihara kebudayaan dan tradisi leluhur. Tidak terbersit persaingan apalagi konflik. Atmosfer budaya terjaga, dengan sikap ‘paras paros salulung sabayantaka’. Seperti di Jepang, hanya pada akhir sekolah menengah atas, mereka mengikuti ujian untuk menentukan masa depan mereka. Seorang siswa dapat memilih satu perguruan tinggi yang ingin dituju, dan perguruan tinggi itu memiliki persyaratan. Jika seorang siswa tidak mencapai nilai itu, mereka mungkin tidak masuk perguruan tinggi. Persaingan sangat ketat, hanya mereka yang mampu lolos seleksi.  Tidak mengherankan bahwa periode persiapan masuk ke lembaga pendidikan tinggi dijuluki ‘neraka ujian’ di Jepang, bukan di Bali. Semoga. 7

Komentar