nusabali

Berat Saat tarung, Setelah Menang Pun Terasa Berat

  • www.nusabali.com-berat-saat-tarung-setelah-menang-pun-terasa-berat

Jor-joran Duit di Pileg 2019

DENPASAR, NusaBali

Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, mengatakan sistem Pemilu sekarang sangat memberatkan bagi para caleg. Berat saat bertarung karena harus berani jor-joran gelontor duit, setelah menang pun masih terasa berat lantaran banyak tuntutan dari konstituen.

Riniti Rahayu menyebutkan, untuk lolos ke kursi legislatif, biaya yang dikeluarkan tidaklah kecil. Setelah lolos pun, mereka harus memenuhi tuntutan konstituen, apalagi bagi caleg yang banyak umbar duit dan berjanji segala macam guna menarik suara pemilih. “Jadi, kalau sudah begini, bagaimana berharap bisa berharap anggota Dewan yang lolos akan berkualitas?” ujar Riniti keada NusaBali di Denpasar, Rabu (20/2).

Meski demikian, menurut Riniti, tidak semua caleg yang maju tarung di Pileg 2019 dan lolos ke kursi legislatif jelek dan hanya mengandalkan duit. “Banyak juga yang bisa lolos karena punya investasi sosial. Banyak juga yang lolos itu memiliki kualitas,” jelas mantan Komisioner KPU Bali 2008-2013 ini.

Hanya saja, bila sistem bisa diubah menjadi tidak terlalu mahal seperti sekarang, Riniti yakin caleg yang lolos ke kursi legislatif lebih baik dan banyak berkualitas. Riniti menyebutkan, biaya nyaleg hingga tembus Rp 10 miliar untuk kursi DPR RI Dapil Bali dan Rp 5 miliar untuk kursi DPRD Bali memang membuat kepala mengkerut. Jadi, seorang caleg new comer harus berkantong tebal.

“Apalagi, melawan incumbent yang punya hibah dan bansos. New comer harus berkantong tebal melawan duit bansos milik incumbent yang sudah 5 tahun pelihara konstituen,” tegas aktivis perempuan dan pemerhati politik asal Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan ini.

Sementara itu, salah satu caleg DPR RI dari PDIP Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan perkembangan demokrasi dan kebutuhan sosial masyarakat tidak bisa membantah bahwa nyaleg itu mahal. Selain itu, perkara adu gengsi juga membuat caleg tidak berani bertarung dengan ‘tangan kosong’. “Minimal harus punya dana untuk makan dan minum saat pertemuan simakrama,” ujar Kariyasa Adnyana kepada NusaBali secara terpisah.

Politisi PDIP asal Desa/Kecamatan Busungbiu, Buleleng ini mengegaskan, maju tarung sebagai caleg bukan berarti mencari pekerjaan. Menurut Kariyasa, dirinya berpolitik atas dasar keinginan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dia sudah hampir 25 tahun berpolitik dengan alasan tersebut. Saat ini, Kariyasa maju Pileg untuk keempat kalinya.

“Jadi, bagi saya pribadi, berpolitik itu bukan mencari pekerjaan. Politik memang perlu modal. Masa kita mengadakan pertemuan, lalu biaya konsumsinya dibebankan kepada rakyat? Minimal nasi jinggo kita siapkan dan itu manusiawi,” kelakar Kariyasa yang sudah tiga kali periode duduk di Fraksi PDIP DPRD Bali Dapil Buleleng (2004-2009, 2009-2014, 2014-2019).

Lain lagi pemaparan I Made Wijaya, salah satu caleg DPR RI dari Golkar Dapil Bali. Menurut Wijaya, omong kosong kalau ada yang bilang bertarung di politik tanpa pakai duit, apalagi maju ke kursi DPR RI. “Minimal harus ada biaya bensin untuk turun ke desa-desa, bertemu masyarakat. Itu normatif dan wajar,” jelas politisi Golkar asal kawasan seberang Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung yang berstatus caleg new comer ini.

Wijaya menyebutkan, berpolitik itu memang mahal. Apalagi, jika maju tarng sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Semuanya pakai ongkos. Wijaya sendiri mengaku sudah memasuki hampir 40 desa di Bali dan itu perlu biaya bensin, biaya konsumsi dalam simakrama.

“Ya, memang mahal ongkos politik itu. Di negara-negara maju, hanya mereka yang sudah selesai urusan perut dan urusan ekonominya yang berani berpolitik. Sehingga mereka tidak lagi berorientasi gaji, apalagi mencari uang untuk balik modal,” tandas Wijaya yang juga fungsionaris DPD I Golkar Bali. *nat

Komentar