nusabali

Desa Subsidi Perbaikan Bangunan Tradisonal

  • www.nusabali.com-desa-subsidi-perbaikan-bangunan-tradisonal

Namun perlu dilakukan penataan dalam pembangunan, agar tidak bangunan baru lebih menonjol ketimbang bangunan tradisional yang menjadi ciri khas.

Modernitas Ancam Bangunan Kuno di Penglipuran

BANGLI, NusaBali
Desa tradisional Penglipuran, Kelurahan Kubu, Bangli, salah satu desa di Bali yang amat terkenal karena bangunan Bali kunonya. Desa ini juga didukung lingkungan yang apik asri. Karena itu, desa di utara Kota Bangli ini amat pantas menjadi salah satu daya tarik wisatawan mumpuni di Bali. Sejauh mana warga desa ini mampu mempertahankan ketradisian tata bangunan dan pekarangan mereka?

Jika memasuki pekarangan warga Desa Penglipuran, maka dapat ditemukan tiga bangunan yang menjadi ciri khas, yakni Angkul-angkul (pintu masuk pekarangan), Bale Saka Enem, dan paon (dapur). Warga setempat berkomitmen menjaga dan melestarikan bangunan yang notabene berbahan bambu tersebut. Kemudian setiap ada perbaikan atau renovasi maka masing-masing pekarangan mendapat subsidi. Subsidi tersebut bersumber dari hasil retribusi kunjungan wisatawan.

Pengelola objek wisata Desa Penglipuran I Nengah Moneng, menyampaikan pendapatan yang diterima desa dari retribusi wisata dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Salah satunya untuk program subsidi bagi masing-masing kepala keluarga. Subsidi dalam hal ini, dana untuk perbaikan tiga bangunan yang meliputi Angkul-angkul, Bale Saka Enem, dan paon. "Ketiga bangunan tersebut merupakan bangunan tradisional yang menjadi ciri khas desa Penglipuran. Bangunan ini menggunakan bambu, sudah barang tentu tidak terlalu lama bertahan, paling lama 15 tahun," jelasnya.

Pihaknya berpandangan untuk melestarikan bangunan tradisional harus ada dukungan secara material untuk masing-masing KK sehingga diberikankanlah subsidi. "Tidak bisa kita menuntut untuk dilestarikan tanpa ada dukungan,” ujarnya.

Lebih lanjut disampaikan, masing-masing bangunan mendapat subsidi sebesar Rp 5 juta, sehingga satu KK menerima Rp 15 juta. Sementara untuk pemberian subsidi tersebut ketika ada pembangunan. “Kami tidak berikan sekaligus, siapa yang membangun itu yang kami berikan. Kebetulan memang pembangunan atau renovasi waktu berbeda-beda,” jelasnya.

Desa Penglipuran dihuni 77 KK, namun yang memiliki rumah tradisional hanya 72 KK. "Selain subsisdi tersebut, banyak hal yang harus dilakukan desa termasuk upaya untuk menjaga kebersihan," sebutnya.

Ditanya soal banyak bangunan modern, Nengah Moneng menyampaikan sebelum menjadi objek wisata masing-masing pekarangan sudah ada bangunan modern. Sejauh ini memang tidak ada pembatasan pembangunan rumah modern. Namun sudah menjadi kesadaran dan kesepakatan bahwa bangunan modern wajib menyertakan arsitektur Bali. Namun perlu dilakukan penataan dalam pembangunan, agar tidak bangunan baru lebih menonjol ketimbang bangunan tradisional yang menjadi ciri khas dan daya tarik wisatawan berkunjung ke Penglipuran. “Bangunan modern menyesuaikan dengan bangunan tradisional,” sebutnya.

Nengah Moneng menyampaikan ke depan pihaknya akan melakukan penataan pedagang. Seperti diketahui hampir di seluruh pekarangan warga terdapat barang dagangan. Mereka menjual souvenir, makanan tradisonal, dan minuman. Sebut Nengah Moneng, saat ini pedagang kebanyakan memanfaatkan emperan rumah untuk berjualan, ada beberapa yang sudah ditata semi permanen. Ke depan untuk tempat berjualan agar bisa diseragamkan. “Rencana dibuat seragam, tentu dengan nuansa Penglipuran yakni menggunakan bambu,” jelasnya.

Tidak ada pembatasan mana kala warga berjualan di pekarangannya masing-masing. Yang mana warga hanya tidak boleh memanfaatkan bangunan tradisional untuk berjualan. “Pedagang-pedagang ini akan mendapatkan pembinaan bagaimana melayani pembeli, tidak ada pemaksaan dalam berjualan dan teknis lainnya. Kemudian dalam berjualan agar mengenakan busana adat Bali. Seperti halnya dengan pengelolaan home stay sudah lebih dulu mengikuti sertifikasi,” tandasnya.

Desa Penglipuran ditetapkan sebagai objek wisata sejak tahun 1993, di mana massa itu untuk promosi hanya dari mulut ke mulut. Pemkab Bangli saat memiliki tamu, diboyong ke Penglipuran. “Tidak seperti sekarang ini promosi bisa melalui media sosial. Promosi zaman itu juga dari ikut perlombaan, baik lomba kebersihan. Penglipuran beberapa kali menyabet juara, sehingga orang tertarik ingin melihat langsung desa kami. Dan baru pada tahun 2012 ada Badan Pengelola Objek Wisata Penglipuran,” sambung Nengah Moneng.

Sebelum menjadi objek wisata, Desa Penglipuran sudah didatangi wisatawan, namun jumlahnya tidak banyak. Kata Nengah Moneng, dulu angkul-angkul pekarangan rumah tidak seragam, ada yang masih menggunakan tanah liat, ada juga yang sudah dibeton. Kisahnya, Presiden RI Soeharto pada era itu, akan berkunjung ke Penglipuran. Kemudian dari desa, kelurahan, pemerintah kabupaten berinisiatif untuk membuat angkul-angkul seragam. “Kami disini juga mendapat dana pengembangan desa, sehingga desa ini bisa ditata sedikit demi sedikit,” bebernya. *es

Komentar