nusabali

Bhinneka Tunggal Ika

  • www.nusabali.com-bhinneka-tunggal-ika

Bhineka tunggal ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu.”

Penulis : I Wayan Darmayasa, Pegiat Narmada dan Mahasiswa Universitas Mahasaraswati

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Artinya : 
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Bhineka tunggal ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Kutipan ini merupakan sebuah kakawin  Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan  toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha. Kutipan diatas berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti yang dituliskan diatas.

Bhinneka Tunggal Ika, cara pandang dan penilaian terhadap sesuatu keanekaragaman, dan multi perspektif, sehingga muncul kebenaran yang berbeda-beda menurut ukurannya masing-masing. Ilmuan, seniman, agamawan, filsuf dan yang lain-lain mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap sesuatu. Sekali lagi perbedaan itu indah, begitu juga persamaan ketika muncul kesadaran untuk mengendalikan egoisme memandang paling benar. Dalam sebuah panggung sosial kebenaran juga bersifat konsensus bersama untuk kepentingan dan tujuan bersama, dititik inilah ada “boleh dan tidak”. Dalam konteks kebersamaan, agama juga urusan kesepakatan bersama, dijalankan bersama untuk tujuan bersama. Di ranah privat agama dihayati sebagai kesendirian dalam ruang dan waktu yang khusus untuk diri sendiri.

Sebuah kisah ada beberapa orang buta yang ingin mendapat gambaran bentuk tentang gajah. Karena tidak melihat dan tidak mendapat gambaran yang lengkap tentang gajah itu, mereka saling menyalahkan. Gambaran mereka tentang gajah itu kacau. Mereka ingin sekali mengetahui gajah, oleh karena itu mereka memohon diberikan kesempatan untuk meraba gajah itu. Tetapi masing-masing meraba bagian yang berbeda dari gajah itu. Yang meraba kepalanya mengatakan bahwa bentuk gajah itu  seperti periuk, yang lain meraba telinganya dan mengatakan bentuk gajah itu seperti kipas, lainnya meraba gading dan mengatakan gajah itu seperti kayu yang dibubut. Ada yang neraba belalai dan mengatakan gajah itu seperti ular. Yang meraba  perut mengatakan bahwa gajah itu seperti lambung. Gajah seperti belut kata yang memegang ekor gajah. Dan yang meraba kaki mengatakan bahwa gajah itu seperti pilar. Setiap orang menyentuh bagian yang berbeda-beda dari badan gajah itu.

Maka oleh karena itu, mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang lengkap tentang gajah; tentang tinggi, besar badan, keinginan dan kelaluannya. Mereka tidak tahu karena mereka buta. Yang diketahui hanya bagian yang disentuh. Kenyataan seperti itu dan apa yg dialami oleh orang buta itu juga terjadi pada manusia. Itulah yang dinamakan kebingungan. Mereka dalam kegelapan, mereka dalam kebutaan. Nilai kebenaran dinyatakan oleh anggota badan gajah seperti kepala, telinga, gading belalai, perut, ekor, dan kaki. 

Itulah pengetahuan. Pengetahuan yang kita miliki bermacam-macam, yang menyebabkan kebingungan dan kekacauan. Ia lari kesana kemari, ia tidak mengetahui yang mana utara dan selatan. Ia tak tahu mana yang berharga dan yang tidak berarti atau yang rendah dan yang tinggi, atau yang hina dan yang terhormat, atau yang datang dan yang pergi. Itulah yang diketahui. Itul yang namanya kebingungan.

Berangkat dari kisah diatas, kita coba kembali pada Bhinneka Tunggal Ika. Begitulah, sebaris yang dipetik dari Sutasoma, sederet sastra kawi yang menjadi semboyan, yang dicengkram erat sang garuda. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda itu satu itu. Bhinneka Tunggal Ika yang secara umum sering kita sebut sebagai berbeda – beda tetapi tetap satu jua.

Mari coba kita menilik 1928, melihah bagaimana pemuda berkumpul, bersatu dan berikrar. Ini tentu tidak asing bagi kita karena tiap 28 Oktober selalu memanggil kita dibalik tinta dalam kalender. Mereka adalah kobaran semangat yang membakar hangus tembok pembeda, merontokkan jeruji-jeruji adat, sekat-sekat jarak. Sehingga sampailah pada lahirnya tiga butir ikrar bersama.

Hari ini kita kembali lahir seperti orang buta dalam kisah diatas. Bingung, merasa benar sendiri karena egoisme, fanatisme buta. Memandang paling benar. Kita lupa bahwa jarak seperti ini sudah dipangkat habis oleh para pendahulu kita. Pondasi gotong royong yang terbangun terkikis. Seakan laju cepat informasi keraskan ego opini. Tak mau lunak dengan yang lain yang tak yakin dengan apa yang kita yakini. Tak ada celah untuk beda, tak boleh beda karena merasa benar sendiri. Sebelum kericuhan dan begem mentah mendarat  lepas begitu saja, kita mesti ingat bahwa kita semua bersaudara, vasudhaiva kutumbakam. Saudara yang lahir berkat ikrar sederhana Sembilan puluh tahun silam.

Kenapa kita menjadi tersekat-sekat hari ini? Padahal jelas bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” yang dicengkeram sang Garuda terpampang disetiap ruang kelas dan kantor-kantor. Padahal kita semua sudah mengerti bahwa yang dimaksudkan satu bukanlah seragam, melainkan beda dengan beda yang terpadu. Memprihatinkan memang. Kalau pendahulu kita mampu menghilangkan sekat dan bisa menepis tembok-tembok serta jurang pembatas, kenapa kita yang lahir dialiri darah mereka tak mampu melakukannya?

Beda itu satu. Kalau nyatanya perbedaan adalah pemersatu. Bahwa dengan kotak – kotak kecil berlabelkan suku, ras, golongan dan agama yang saling melengkapi, nusantara ini tersusun. Bahwa pada akhirnya memang benar. Berbeda-beda tetapi tetap satu, karena berbeda itu satu. Bhinneka Tunggal Ika!

Komentar