nusabali

Er Jeruk, Gelulung, dan Lain-lain

  • www.nusabali.com-er-jeruk-gelulung-dan-lain-lain

BANYAK desa dan tempat suci di Bali punya nama yang khas dan memikat.

Tahun 1995 Pemprov Bali menerbitkan buku Sang Juara, memuat sembilan desa terpilih di Bali yang meraih berbagai penghargaan. Buku itu juga melaporkan potensi desa, kegigihan warga mengubah peruntungan, serta kegiatan keagamaan. Buku semacam itu dilanjutkan setahun kemudian lewat penerbitan buku Kabar dari Desa, dengan kajian sama.


Dua buku itu menjadi menarik karena bertutur tentang monografi desa. Tentu dimuat juga tentang nama dan asal-usul desa-desa itu. Desa Ubud di Gianyar misalnya, dikisahkan berasal dari ubad (obat), sehingga hingga kini pun Ubud memang menjadi tempat bagi orang-orang mencari penyegaran dengan menjadi wisatawan, dan memburu spiritualisme lewat yoga. Desa Penglipuran, Bangli, dikisahkan berasal dari kata lipur yang berarti menyegarkan diri (refreshing). Zaman dulu, konon, raja-raja di Bangli sering ke Penglipuran untuk menenangkan pikiran dan menghibur diri. Desa Serangan di Denpasar Selatan dituturkan berasal dari kata nyirang (miring), karena berada di pulau kecil yang posisinya menurut arah mata angin memang miring.

Kalau saja buku seperti itu diterbitkan saban tahun, tentu semakin banyak cerita desa dan tempat suci di Bali yang unik dan menarik terungkap, seperti riwayat nama Banjar Gelulung dan Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk, dua tempat yang berdekatan, di wilayah Desa Sukawati, Gianyar.

Nama Gelulung di tahun 1925-an awalnya ditulis Tegalulung. Ada pula versi lain yang menyebut Gelulung itu berasal dari ‘tegal luhung’ yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti mumpuni, adiluhung. Muncul pula versi cerita dari mulut ke mulut, bahwa Gelulung itu berasal dari ‘galuh ulung’, yang berarti ‘padi jatuh’, tercecer ketika panen dibawa pulang dari sawah. Konon, di zaman kerajaan Sukawati — yang berpusat di Gerogak Sukawati, berjarak sekitar 200 meter dari kawasan Banjar Gelulung sekarang — di lahan Banjar Gelulung ke utara sampai pinggir kali seberang kantor Puskesmas, adalah tempat lumbung raksasa (kelingki) yang menjadi gudang logistik (padi). Pintu ke luar-masuk menaikkan dan menurunkan padi ada di posisi Banjar Gelulung sekarang. Di sekitar itulah galuh-galuh (bulir padi) itu ulung (jatuh).

Acap pula nama sebuah tempat menimbulkan salah tafsir. Nama Banjar Pekuwudan, tetangga Gelulung, misalnya, diduga semula berasal dari kata kuwud (kelapa muda). Padahal Pekuwudan itu berasal dari kata pekudaan atau kandang kuda (istal). Di Pekuwudan bangsawan kerajaan merawat dan menempatkan kuda-kuda mereka. Tapi Pekuwudan menjadi tersohor tidak berkat kuda-kudanya, namun karena dari banjar ini lahir tari khas joged pingitan, yang sekarang langka dan jarang dipertunjukkan.

Banyak tafsir tentang nama tempat memang sudah lazim, termasuk juga nama Pura Er Jeruk, yang sejak 4 Januari hingga 9 Februari 2019 menggelar karya padudusan agung, segara kertih, tawur balik sumpah agung dan mupuk pedagingan. Anak Agung Gede Raka dan I Wayan Sudana dalam buku Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk  – diterbitkan oleh Humas Panitia Karya – mengungkapkan beberapa pendapat tentang asal usul nama Er Jeruk.

Nama Er Jeruk dihubungkan dengan subak Juwuk, kawasan persawahan di utara pura. Juwuk, bahasa Bali berarti jeruk. Ada pula pandangan lain, yang mengaitkan nama pura dengan lingkungan alam. Laut di selatan masuk ke lingkungan dekat pura menyerupai ceruk. Masih ada versi lain, nama Er Jeruk bersumber dari kata we jeruti. We berarti air yang kemudian dieja menjadi ‘er’, dan jeruti menjadi jeruk. Dari we jeruti menjadi Er Jeruk.

Raka dan Sudana tidak kuasa memastikan mana yang paling benar dari dugaan-dugaan itu. Banyak orang awam, apalagi yang pertama kali mendengar nama Er Jeruk, menduga dulu seputar pura membentang luas kebun jeruk. Tentu banyak yang tidak tahu kalau persawahan itu, apalagi sebelum dibelah oleh Jalan Ida Bagus Mantra, adalah kawasan penghasil padi, palawija, dan tembakau yang melimpah. Tak sebatang pohon jeruk pernah punya riwayat tumbuh di areal persawahan itu.

Dua penulis buku justru mempertegas hubungan Pura Er Jeruk dengan peran Dang Hyang Nirartha, dengan merujuk lontar Dwijendra Tatwa. Nabi Hindu dari Jawa itu berperan penting mengembangkan Pura Er Jeruk, ketika ia singgah saat melakukan perjalanan dari Uluwatu ke Goa Lawah melalui pesisir, seputar akhir abad ke-15. Suatu hari ia tiba di kawasan Subak Leba. Para petani menerima kehadirannya dengan riang, dan menjamu dengan suguhan air jeruk. Tidak dijelaskan mengapa yang disuguhkan air jeruk, bukan kopi, teh atau air kelapa muda. Mungkin air jeruk minuman bergengsi kala itu, sehingga sangat pantas disuguhkan buat tamu berwibawa.

Buku Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk semestinya dibaca oleh siapa saja yang mencintai tempat-tempat suci di Bali, terutama kaum milenial. Agar mereka tahu, Pura Er Jeruk dibangun dan direnovasi dalam beberapa tahapan sejak abad ke-10 Masehi, dan telah menetapkannya sebagai pura kahyangan jagat. Buku ini juga semakin meyakinkan kita, tempat-tempat kecil, seperti Gelulung, Pekuwudan, Penglipuran, Ubud, Serangan, dan yang lain-lain; maupun tempat megah seperti kawasan Pura Er Jeruk, sama-sama punya asal-usul yang unik, menarik, dan otentik. Maka hendaklah jangan gegabah mengganti nama-nama yang berkaitan dengan Bali, karena itu berarti mengingkari warisan leluhur, meremehkan sejarah, dan merusak jati diri. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar