nusabali

Kontribusi 10 Dolar Juga untuk Benahi TPA

  • www.nusabali.com-kontribusi-10-dolar-juga-untuk-benahi-tpa

Gubernur Wayan Koster menegaskan angka 10 dolar AS bukanlah retribusi macam pajak, tetapi kontribusi wisman untuk budaya dan alam Bali.

DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali I Wayan Koster bakal menemui Menteri Perhubungan (Menhub) untuk menggolkan kontribusi 10 dolar AS dari wisatawan manca negara (wisman) yang berkunjung ke Bali. Hasil kontribusi wisman tersebut antara lain akan dialokasikan untuk mengelola tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Desa Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan. 

“Saya sudah pastikan 29 Januari 2019 mendatang masalah ini kita akan putuskan penyelesaiannya. TPA Sarbagita Suwung ini dibiarkan bertahun-tahun, kumuh dan bau. Saya kunjungan ke sana, bau sampah sudah masuk ke pemukiman sekitar. Coba, pikir itu. Bagaimana tanggung jawab kita dengan kondisi begini? Malu kita,” ujar Koster di DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Selasa (22/1) siang.

Koster mengatakan TPA Suwung adalah jalur strategis —berada di sisi Jalan Bypass Ngurah Rai Suwung— dan menjadi jalur masuk ketika wisatawan tiba di Bali. Dengan adanya dana kontribusi maka akan dilakukan penanganan secepatnya supaya Bali benar-benar clean and green, melakukan pengolahan dan lokasi tersebut bisa disulap sebagai taman rekreasi. 

“Nanti dikompensasi dengan APBN dalam melakukan penataan di TPA Suwung. Jadi wisatawan yang lewat di jalur ini tidak complain, ini kan jalur strategis,” tandas Koster.

Penataan TPA Suwung ini merupakan bagian kecil saja konsep menjaga alam Bali. Secara keseluruhan, alam, budaya Bali, lingkungan harus diproteksi. “Payung besarnya itu bagaimana mengelola Bali ke depan. Menjaga keseimbangan alam Bali dengan manusianya,” ucap Koster.

Saat ini wisman yang masuk ke Bali sejumlah 7 juta per tahun atau sekitar 40 persen dari total jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia. Artinya Bali menjadi pintu masuknya di Indonesia. Sudah tentu Bali mendapatkan beban dan dampak luar biasa. termasuk dampak sampah. Di sinilah pariwisata Bali perlu dapat kontribusi. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Bali tidak dapat kontribusi, karena yang diatur dalam UU 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah hanya mengatur pendapatan dari sumber daya alam. “Bali tidak punya sumber daya alam,” beber Koster.

“Jadi menurut saya kalau budaya Bali dan alam Bali tidak dijaga, semuanya rusak, turis tidak mau datang, Bali bisa kolaps. Maka dari dana kontribusi ini jalan bisa diperbaiki, sampah ditangani, macet dikurangi, motor dikurangi, karena kita sudah tidak mengejar pajak motor. Bali jadi clean and green,” tegas Koster. 

Sementara wisman tak mempermasalahkan ada kontribusi sebesar 10 dolar. Namun, mereka berharap uang tersebut juga bisa digunakan untuk menjaga kebersihan objek wisata Bali.

Pasangan asal India, Mohamad dan Mehara mendukung keputusan tersebut. Sebab, uang itu digunakan untuk pelestarian budaya yang menjadi daya tarik Bali. “Saya pikir itu ide bagus. Saya mendukung untuk pelestarian budaya,” kata Mohamad saat berbincang di Terminal Kedatangan Internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, seperti dilansir detikcom, Senin (21/1).

Sedangkan pasangan Ann dan Howard asal Melbourne, Australia juga menyebut retribusi sebesar 10 dolar tidak mahal. Namun mereka berharap uang itu juga dipakai untuk menjaga kebersihan objek wisata alam di Bali.

“Saya pikir 10 dolar tak masalah bagi para turis yang datang ke Bali. Adat dan budaya Bali sangat kuat. Tapi masalah utama Bali dan Indonesia adalah sampah,” ujar Ann.

Pasangan yang sering bolak-balik ke Bali untuk liburan ini meluapkan kekecewaannya dengan pemandangan sampah di Pantai Kuta. Mereka pun bertanya-tanya kenapa para pedagang dan pemilik bisnis di sepanjang Kuta tak mau turun tangan membersihkan sampah-sampah tersebut.

Menurutnya jika masalah sampah ini tak ditangani, dia yakin banyak turis yang meninggalkan Bali dan berkunjung ke daerah lain. Howard dan Ann juga menyinggung Turki yang sudah lebih maju mengelola sampah mereka dan sedang menata sebagai daerah tujuan wisata bagi masyarakat Eropa.

“Ingat sekitar tahun 1920–1930 banyak turis Eropa datang ke Bali, hampir seluruh wisatawan itu mengatakan Bali adalah pulau surga. Saat ini Turki berusaha lebih maju dalam pengelolaan sampah, dan dari sisi geografis letaknya dekat dengan Eropa. Mereka juga menyasar turis Eropa, tak bisa kubilang (suasananya) lebih baik tapi berbeda,” ucap Howard.

“Jika para turis yang datang dan tetap melihat sampah, suatu saat mereka akan marah. Apalagi mereka sudah membayar,” imbuh Ann.

Sementara itu, mengenai besaran kontribusi 10 dolar AS yang akan masuk dalam Ranperda Kontribusi Wisatawan untuk Pelestarian Alam dan Budaya Bali, Koster bakal menemui Menteri Perhubungan karena yang akan memutuskan adalah pusat. Hal itu dikemukakannya saat penyampaian jawaban eksekutif terhadap pandangan umum Fraksi-Fraksi DPRD Bali, di Ruang Sidang Utama Kantor DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Selasa (22/1) siang. Koster menyebutkan Pansus jangan buru-buru berencana menurunkan dari angka 10 dolar, meskipun saat turun ke Bandara Ngurah Rai ada masukan supaya tidak memasang kontribusi sebesar 10 dolar. 

“Jangan buru-buru, itu kan yang bicara baru yang di bawah. Nanti kita ngomong dengan yang punya kewenangan lebih tinggi,” ujar Koster di sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama.

Koster menegaskan angka 10 dolar bukanlah retribusi macam pajak, tetapi kontribusi untuk budaya dan alam Bali. “Wisatawan masuk ke Bali makan di restoran bayar pajak, itu namanya retribusi. Masuk ke destinasi bayar parkir, itu retribusi. Kalau yang kita pungut ini adalah kontribusi yang nanti juga dibuatkan dasar hukumnya. Wisatawan asing ke Bali melihat budaya, ya bayar kontribusi. Makanya yang menentukan itu ya kita. Wisatawan asing dalam survei kita itu 60 persen setuju,” ujar Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini.

Koster menyebutkan Bali tidak seperti daerah lain. Alam Bali tidak jauh berbeda dengan di NTB, NTT, atau daerah lainnya. “Tapi di mana mencari budaya seperti Bali? Nggak ada. NTT alamnya bagus, Lombok (NTB) alamnya bagus juga, tapi budaya mereka tidak seperti di Bali. Tradisi adat dan vibrasi (taksu) keagamaan di Bali itu kuat, yang mungkin tidak ditemukan di daerah lain. Bali adalah padma buana (hulu) dunia,” kata mantan anggota Komisi X DPR RI 3 periode membidang pariwisata, adat, budaya, pendidikan, dan ekonomi kreatif.

Koster mengingatkan OPD Pemprov Bali dan DPRD Bali tidak lagi berharap banyak pada pajak kendaraan bermotor. Anggota DPRD Bali supaya melepaskan baju partai, kepentingan politik untuk menggolkan program ini. “Jangan lagi berharap dengan pajak kendaraan bermotor, sudah polusi, buat alam ini rusak. Demi Bali lepaskan dulu baju partai, sama-sama sebagai orang Bali lah. Di pundak kita ini tanggung jawab Bali. Suud magerengan (berhenti bertengkar). Jangan jadi kayu juwet. Karena pasti ruwet,” ucappolitisi asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, ini.

Koster pun mengajak anggota DPRD Bali di bawah komando Adi Wiyatama untuk kerja sama yang kuat secara politik, secara sekala niskala. “Ingat itu, kerja sama yang kuat, bukan hanya sekala tetapi niskala juga. DPRD Bali dan saya, ayo kerja sama yang kuat,” tegas Koster.

Usai menyampaikan pidato jawaban eksekutif, Gubernur Koster kembali menegaskan bahwa pihaknya akan menemui Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. 

Sementara General Manager Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Yanus Suprayogi dikonfirmasi NusaBali, Selasa sore kemarin menegaskan mendukung Pemprov Bali (Gubernur Koster). “Kami di AP I bukan setuju atau tidak setuju dalam persoalan kontribusi wisatawan ini. Angkasa Pura tidak punya kewenangan apa-apa soal kontribusi itu. Angkasa Pura mendukung pihak Pemprov Bali,” ujarnya.

Kata dia pihaknya ketika menerima kunjungan Pansus Kontribusi DPRD Bali, Senin (21/1) siang, tidak mau berbicara masalah angka. “Kami cuma meminta dimulai dari kecil saja dulu. Kalau angka saya nggak bisa nyebutkan dah. Karena saya nggak bisa ngitung. Kami di pertemuan dengan Pansus hanya memberikan masukan. Kami minta ke Menteri Perhubungan dulu,” tegas Yanus.

Kata dia nilai 10 dolar supaya dihitung dulu. Peruntukan untuk apa saja. Sehingga ketemu angka yang layak. “Dihitung dulu kalau 10 dolar itu gunanya untuk apa saja, asumsinya berapa yang layak? Ketemunya berapa? Wisatawan yang akan datang sekian, layaknya berapa? Untuk budaya sekian, untuk peningkatan objek pariwisata sekian ya dihitung. Saya kalau nyebut angka tetap nggak mau, namun bertahap dari yang kecil dulu. Dan harus ada aturannya. Karena ini berawal dari yang tidak ada menjadi ada,” tegas Suprayogi. *nat

Komentar