nusabali

Bali Sing Kenken?

  • www.nusabali.com-bali-sing-kenken

Setiap pagi, RRI Singaraja mengudara dengan dialog interaktif ‘Bali Sing Kenken’.

Apa benar Bali tidak berubah atau tetap ajeg walau dihadapkan pada berbagai tantangan. Di masa silam, Bali merupakan pulau agraris, sebagian besar krama bertani dan berkebun. Saat ini, krama digeluti pariwisata budaya. Paruh akhir dekade, krama tuwed maupun tamiu menggeluti profesi dan aktivitas jamak. Mereka tidak lagi bertani atau berkebun, tetapi berwirausaha di bidang inti maupun pendukung pariwisata sampai pada kegiatan yang menyimpang secara sosial dan budaya. Misalnya, narkoba, kriminal atau pelacuran. Apa Bali masih bisa dikategorikan ‘sing kenken?’

Sejak dahulu, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit di dunia. Keindahan alam, kreativitas krama, ragam budaya, dan sebagainya menjadi  komoditas yang laris dijual. Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni, seni tari, seni tabuh, lukis, pahat hingga seni tato tubuh. Apakah komodifikasi kekayaan alam dan sosio-budaya sejak dahulu sampai sekarang tidak ada efek negatifnya? Dengan perkataan lain, apakah  keadiluhungan budaya Bali masih juga ‘sing kenken?’.

Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekadar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat galeri di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim, dan menetap di Bali. Mereka berinteraksi dengan berbagai rupa dan cara dengan krama Bali. Awalnya, wisatawan memulai dengan berkesenian, namun akhirnya berubah menjadi bisnis. Mulanya, relasi wisatawan-pemandu, atau seniman-penikmat seni mengalami transformasi, yaitu: atasan-bawahan, tetangga-ekspatriat  atau pedagang-pelanggan, fotografer-model, dan sebagainya. Apakah transformasi relasi demikian masih dapat disimpulkan sebagai ‘Bali sing kenken?’. 

Sebelum era 70-an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80-an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dan sebagainya) dan perajin. Belakangan ini, berbagai macam pekerjaan dijalani oleh masyarakat Bali, mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha kafe remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih utang (debt-collector).

Peristiwa wisatawan Denmark berpose di atas pelinggih mendadak viral di media sosial. Krama Bali Hindu banyak yang menyesalkan perilaku demikian. Hanya menyesalkan, bagaimana tindakan inti yang akan dilakukan ke depan? Pelinggih itu merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk mendem pakelem oleh para krama subak yang ada di sekitar Pura Batukaru. Ketika dikonfirmasi, wisatawan tersebut memang tidak menggunakan pemandu dan juga pura tidak dijaga. Dia datang bersama temannya dan tidak ada yang memberi pengertian kepadanya bahwa tidak diperbolehkan untuk duduk atau jongkok di pelinggih tersebut. Jadi kesalahan siapa dan bagaimana tindak lanjutnya secara sekala maupun niskala?

Kekerapan dan intensitas hubungan antara krama Bali dengan masyarakat global akan semakin meningkat. Fenomena demikian tidak mustahil akan melahirkan budaya Bali yang semakin menjauh dari sifat asalinya. Salah satunya akan melahirkan orang asing yang ‘kebali-balian’ relatif sedikit. Sebaliknya, fenomena tersebut akan banyak melahirkan krama Bali yang ‘kebarat-baratan’. Kalau demikian faktanya, apa masih Bali dapat dikatakan ‘sing kenken?’. Begitu banyak pergeseran dan penyimpangan terjadi di gumi Bali yang harus diwaspadai efek negatifnya. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar