nusabali

MUTIARA WEDA : Bagaimana Menghilangkan Derita?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-bagaimana-menghilangkan-derita

Di manakah delusi, di manakah penderitaan, bagi orang bijaksana yang senantiasa melihat kesatuan eksistensi dan mengindra segala sesuatu sebagai dirinya sendiri?

Yasmin sarvani bhutani atma eva abhud vijanatah,
Tatra kah mohah kah sokah ekatvam anupasyatah.
(Isa Upanisad, 7)

SETIAP orang ingin agar penderitaan yang dialaminya sebisa dan sesegera mungkin diakhiri. Mereka sibuk melakukan banyak hal untuk itu. Mereka yang menderita karena kekurangan materi, giat siang dan malam banting tulang mencari uang agar deritanya berakhir. Mereka yang menderita karena kurang terkenal, sibuk mempublish dirinya agar dikenal oleh semua orang. Mereka yang menderita karena sakit, pergi ke berbagai tempat untuk berobat. Mereka yang menderita karena birahinya tinggi, sibuk ke sana kemari mencari alat pemuas. Di Bali, mereka yang menderita karena di-leak-in keluarga atau orang lain, juga sibuk mencari balian agar leak tersebut bisa dimusnahkan atau berbalik mengenai orangnya sendiri. Demikian seterusnya.   

Penyebab derita yang dialami seseorang ada ribuan, tetapi rasa deritanya tetap sama, yakni sangat tidak nikmat. Sehingga dengan demikian, mereka menginginkan agar derita tersebut segera hilang. Tetapi masalahnya, sebagian besar dari mereka tampak tidak berhasil seolah-olah usaha yang dilakukannya sia-sia. Mereka yang menderita karena miskin, setelah lama banting tulang dan kemudian mereka bisa menjadi kaya, bahkan kaya raya, hanya saja kebahagiaan yang diimpikannya belum juga datang. Yang datang kepadanya hanya materi bukan kebahagiaan. Ternyata materi yang datang tidak menyertakan kebahagiaan. Yang dibawa hanyalah kesenangan sementara karena merasa kehidupannya telah berubah. Segera ketika kesenangan berakhir, ketidakbahagiaan kembali menyelimutinya. Rasa derita ketika miskin dan setelah kaya ternyata sama, yakni sama-sama tidak mengenakkan. Demikian juga yang lainnya bernasib sama. Usahanya hanya mendatangkan kesenangan sementara, dan setelah itu, ketidakbahagiaan kembali menyelimutinya.

Di mana masalahnya? Apakah usahanya yang salah atau orientasinya? Usahanya tidak pernah salah. Hanya saja harapan akan kebahagiaan di dalam pencapaian itu yang salah. Mengapa salah? Karena apapun sesuatu yang bersifat material tidak akan mendatangkan kebahagiaan abadi. Kekayaan materi, nama, pemuasan nafsu birahi, dan yang lainnya tidak membawa kebahagiaan sejati. Segera setelah rasa senang yang dipantiknya dari pikiran hilang, berbagai bentuk derita mulai bermunculan. Umur telah membatasi mereka sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbenah. Sepanjang hidupnya menderita. Saat dilahirkan miskin menderita, kemudian berjuang guna mengatasi penderitaan tersebut juga penuh penderitaan, dan ketika sukses menjadi kaya pun, derita tidak mau meninggalkan mereka. Padahal, mereka berjuang guna mengatasi penderitaan tersebut.

Mengapa? Teks di atas jawabannya. Jika orang masih merasa menderita walaupun sudah maksimal berjuang, itu berarti ia belum bijaksana. Sebab jika dirinya sudah bijaksana, maka penderitaan tidak akan berani mendekat. Selama ini orang berjuang agar penderitaan itu bisa dihilangkan dari kehidupannya, tetapi caranya salah. Menurut teks di atas bahwa cara yang paling ampuh untuk menghilangkan penderitaan adalah menjadi bijaksana. Jika dengan menjadi bijaksana orang bisa menghilangkan penderitaan, lalu mengapa orang tidak mau menjadi bijaksana padahal keinginannya berupaya menghilangkan penderitaan? Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka justru mengambil jalan yang sebenarnya tidak mengantarkan dirinya meraih kebahagiaan? Mengapa derita kemiskinan mesti dicarikan kekayaan sebagai senjata untuk menghilangkan rasa deritanya? Mengapa rasa derita dari birahi tinggi mesti dicarikan penyaluran lawan jenis sebagai alat untuk menghilangkan deritanya itu? Mengapa rasa derita kurang tenar mesti publikasi diri dijadikan sebagai senjata yang sudah tentu tidak akan berhasil?

Itu artinya, sebenarnya orang tidak ingin bahagia. Mereka berpura-pura ingin bahagia tetapi sebenarnya tidak. Mereka ingin tetap berada dalam penderitaan. Sehingga di dalam penderitaan mereka terus memiliki harapan ke depan. Harapan akan kebahagiaan lebih penting dibandingkan kebahagiaan itu sendiri, sebab, jika kebahagiaan abadi itu datang, tentu harapan tidak ada lagi. Jika mereka mampu merasakan kesatuan dengan eksistensi, maka derita itu tidak pernah dirasakan sebab derita pada prinsipnya tidak eksis ketika orang menyatu dengan eksistensi. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta 

Komentar