nusabali

Etno-Politis Cap Sosial

  • www.nusabali.com-etno-politis-cap-sosial

SEJAK dulu, berbagai cap sosial menjadi perbendaharaan budaya Bali. Misalnya, ‘Ajer Gianyar’, mencap orang Gianyar sebagai ramah bila di luar wilayah.

Demikian pula, ‘Belog Mayong’, mencap orang desa Mayong sebagai bodoh. Ketika melakukan upacara melasti ke laut, mereka menyebut ombak kecil sebagai ‘panak ombak’ sedangkan ombak besar ‘memen ombak’. Masih ada cap lain, ‘Tamu Lebu’, untuk mengidentifikasi tamu yang rakus seperti mereka yang berasal dari Desa Lebu, suatu desa kecil di Karangasem. Cap demikian tidak menunjukkan sebuah identitas etnis. Cap demikian merupakan aspek hubungan, bukan karakter atau kualitas diri, seperti yang dipikirkan oleh Glazer dan Moynihan (1975).

Cap sosial di atas melihat kekurangan atau kelemahan suatu hubungan sosial. Di Bali dikenal ‘jaja mangkok Bali’ atau ‘mangkok Jawa’. Kata Bali dan Jawa adalah pembeda antara panganan pasar dan kue kukus, yang satu padat dan yang lain empuk. Demikian juga label seperti ‘anak dauh tukad’ atau ‘anak dangin tukad’ yang mengandung perbedaan etnisitas. Cap demikian sering digunakan untuk mendeskripsikan sikap dan watak etnis tertentu. Banyak orang tidak menyadari bahwa cap demikian bukan bawaan sejak lahir. Lebih-lebih lagi, cap demikian bukan watak personal permanen. Perbedaan tersebut muncul dikarenakan adanya konstruksi sikap dan perilaku seseorang secara skeptis. Suatu hal yang kurang dipahami khalayak bahwa cap sosial bersifat plastis, seperti halnya dengan identitas etnis. Label sosial, seperti juga identitas etnis, bersifat situasional, kontekstual, dan bersaing, menurut Gerd Baumann (1975). Label sosial akan berubah dan dinamis seiring dengan ruang, waktu, dan toleransi.

Kesadaran akan warna sosial atau kelas sosial sebagai identitas etnis permanen akan berakibat buruk. Warna sosial sebaiknya dikonsepsi sebagai pelangi sosial. Tidak ada warna yang dominan atau subordinat, semuanya mengokestrasi langit dengan warna-warni secara harmonis. Perkawinan lintas warna, etnis, atau bahkan bangsa telah berlangsung dengan baik. Tatanan sosial dan budaya tidak dirusak oleh adanya perkawinan lintas tersebut. Bahkan suatu diaspora tercipta yang mendatangkan kerinduan dan kohesifitas sosial. Pembatasan atau kekakuan etnis palsu semakin mengendor dengan lahirnya pemahaman terhadap falsifitas identitas etnis, seperti pandangan Joseph Rothschild (1981) ilmuwan politik dari Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Pembedaan elite Hindu di Bali atas ‘tri sadhaka’ dan ‘sarwa sadhaka’ kini sudah mulai mengabur makna implikatifnya. Pembedaan tersebut dapat dipahami terjadi karena adanya semacam etno-politis. Menurut Rothschild (1981), etno-politis merupakan ‘… a process of mobilizing ethnicity from a psychological or cultural or social datum into political leverage for the purpose of altering or reinforcing systems of structured inequality’. Singkat kata, pembedaan etnis diperlukan untuk memobilisasi etnisitas secara politis untuk memperkuat sebuah kekuasaan. Rekayasa sosial demikian tidak berlangsung lama, karena tidak menjamin keadilan sosial, kemerdekaan individu, dan keteraturan sosial. Saat ini, semua elite Hindu memiliki ruang dan waktu yang sama untuk menjalankan swadharmaning sulinggih. Comaroffs dan Comaroffs (1992) berpandangan bahwa diferensiasi etnis tidak berkaitan dengan perilaku dan sikap seseorang. Sejalan dengan pemikiran mereka itu bahwa warna sosial atau kelas sosial tidak selalu berhubungan dengan perilaku atau sikap seseorang, seperti halnya dengan identitas etnis lainnya.

Identitas etnis dan sejenisnya merupakan segelas anggur merah, kata antropolog Peter Worsley (1984). Ia bukan fakta sosial, melainkan sebuah kafetaria. Bila seseorang tidak biasa minum anggur, maka anggur tersebut akan membuatnya sakit. Bukan anggurnya yang membuat sakit, tetapi fermentasi produknya yang menyakitkan. Analognya, bukan warna atau kelas sosial yang buruk, tetapi perilaku atau sikap seseorang yang buruk yang harus dijauhkan dari kehidupan berbudaya dan bermartabat. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar