nusabali

Merasa Seperti Ibu Ketika Menjadi Seorang Guru

  • www.nusabali.com-merasa-seperti-ibu-ketika-menjadi-seorang-guru

Menjadi ibu tidak mudah. Selain melahirkan secara fisik, ibu juga harus bisa melahirkan secara mental dan spiritual.

Ni Gusti Putu Parmiti, Pendiri Yayasan Anak Unik

DENPASAR, NusaBali
Maksudnya, ibu juga memiliki peran sangat besar dalam mendidik mental serta spiritual sang anak. Karenanya, rumah sering disebut sebagai sekolah pertama dan utama. Di sekolah utama ini, ibu yang menjadi ‘ratunya’. Bila ingin sang anak berkembang dengan baik, maka ratunya harus memberikan contoh yang baik.

Demikianlah yang diungkapkan Ni Gusti Putu Parmiti, pendiri Yayasan Anak Unik untuk anak-anak berkebutuhan khusus saat ditanya mengenai pendapatnya tentang sosok ibu bagi pembentukan karakter anak. Dalam konsep di Bali, Guru Rupaka adalah guru yang patut digugu dan ditiru. Siapa lagi kalau bukan orang tua.

“Ibu itu tidak harus galak kayak macan, anak ditakut-takuti. Karena karakter anak sebagian besar dipengaruhi dari bagaimana didikan orangtuanya di rumah. Jadi menurut saya, jika anda ingin keturunan anda baik, maka anda dulu yang harus baik,” ungkap Parmiti saat dihubungi NusaBali, Jumat (21/12).

Pendidikan, menurut Parmiti, menjadi aspek penting yang harus diperhatikan oleh ibu dalam menciptakan generasi yang baik. Makanya sejak ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri, ia membuka bimbingan belajar. Sebab ia sadar betul, pendidikanlah yang akan membawa anak menuju kemajuan dalam hidupnya. Baik itu pendidikan intelektual, emosional dan spiritualnya.

“Sejak tahun 2012 saya membuka bimbingan belajar, dan ingin mengubah mindset tentang esensi pendidikan. Esensi dari pendidikan itu adalah memampukan diri, bukan mencari ranking atau juara. Jangan lagi mengejar nilai yang tinggi, tapi yang paling penting berani menjawab, berani menyanggah, berani mengemukakan pikiran dan pendapat. Dengan memampukan diri, anak-anak tentu akan bisa menjadi mandiri,” ujarnya.

Selama menjalankan bimbingan belajar tersebut, ternyata ia malah menemukan anak-anak yang unik dan tergolong aneh karena tidak bisa menangkap pelajaran seperti anak umumnya. Belakangan, Parmiti baru tahu bahwa anak-anak tersebut adalah anak-anak berkebutuhan khusus, yakni tuna grahita atau keterbelakangan mental. Karena didorong nalurinya untuk mendidik, dan saat itu tidak ada yang mengakomodir anak-anak tuna grahita, ia pun memutuskan untuk mendirikan Yayasan Anak Unik yang beralamat di Jalan Pasung Grigis II/2, Banjar Tengkulak Kaja, Kemenuh, Sukawati Gianyar.

“Di mana-mana, orang dengan keterbelakangan mental sudah dari dulu ada. Tapi penanganan yang dilakukan masih seperti penanganan untuk anak normal. Dipaksa-paksa, dimintakan ijazah di sekolah-sekolah terdekat. Atau bisa juga keluarganya malu untuk ngajak keluar rumah. Saya merasa terpanggil, bagaimana sih penanganan yang tepat untuk mereka,” ceritanya.

Mindset penanganan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus, menurutnya, selama ini adalah dipaksa asal bisa sejajar dengan anak-anak normal lainnya. Padahal anak dengan kebutuhan khusus dengan cacat mental juga membutuhkan penanganan yang khusus. “Kita yang harus menyederhanakan pelajaran. Sebab anak dengan kondisi seperti itu, daya ingatnya pendek. Sehingga sistem yang digunakan tidak bisa disamakan dengan sistem sekolah normal,” jelasnya.

Berbekal pengetahuan yang diberikan oleh mentornya dari Belanda, serta mentor ahli gangguan jiwa, Prof LK Suryani, ia akhirnya mampu mendirikan yayasan dengan petode pengajaran yang menyenangkan bagi anak-anak tuna grahita. Bahkan saat ini sudah memiliki pendidik. Menurut Parmiti, menjadi pendidik tidak harus pintar, namun siap mental.

Meski diakui anak-anak dengan kebutuhan khusus memang awalnya tidak bisa mengontrol emosi diri. “Metode yang digunakan gambar berisi tulisan singkat. Setelah itu akan ada belajar bina diri, seperti menyisir rambut, sikat gigi, potong kuku, itu semua ada gambar-gambarnya. Metode ini belum ada di tempat lain, sehingga ini menjadi spesialnya tempat kami. Karena anak dengan IQ rendah itu tidak ngerti tulisan, apalagi baca buku atau koran. Makanya disederhanakan kalimatnya,” paparnya.

Inti dari mendidik anak berkebutuhan khusus, kata Parmiti, adalah komunikasi dua arah. Empat pilar yang diterapkan dalam sekolah tersebut, yakni berkomunikasi, bersosialisasi, kognisi, dan kemandirian. Selama pelajaran, terapi yang paling banyak dilakukan.

Guru sebelum mengajar mendapatkan pelatihan selama enam bulan. Selain itu, guru yang akan mengajar diajak melepas beban terlebih dahulu dengan Prof Suryani. Sehingga ketika mengajar guru tidak merasa beban. “Ngajar anak-anak begini resikonya tinggi lho. Kita bisa digigit sama anak, ditendang, termasuk yang agresif. Jadi sekolah kami ini langsung ada terapinya. Dan yang melakukan itu langsung gurunya,” imbuhnya.

Parmiti mengaku, saat mendidik anak-anak, ia merasa seolah menjadi seorang ibu. Banyak nilai yang ia dapatkan selama membantu anak-anak tuna grahita agar mengerti tentang melakukan sesuatu. “Saya seperti menjadi ibu ketika menjadi seorang guru. Saya bukan mengajar, tapi mendidik. Kalau mengajar, biar dapat nilai yang bagus. Tapi kalau mendidik, kita mentransfer energi di situ. Saya menjadikan diri saya sendiri contoh untuk anak-anak didik saya. Sehingga walaupun saya tidak ada di rumah mereka, tapi mereka merasakan saya ada di sana,” ungkapnya.

“Value yang saya dapat, sebagai seorang perempuan dan sebagai pendidik, saya seperti mendidik anak sendiri. Saya bisa menjadi orang yang bermanfaat, walaupun labelnya hanya guru, tapi guru yang bermanfaat. Saya juga bahagia bisa membantu keluarga-keluarga yang tidak ada mengakomodir anaknya yang tuna grahita. Secara tidak langsung, saya sedang memperbaiki karma saya menjadi lebih baik,” katanya. Ia pun berpesan untuk ibu milenials yang identik dengan teknologi. Ia menitipkan pesan untuk menjadi contoh yang baik untuk anaknya sendiri bila ingin keturunan atau generasi penerusnya juga baik. *ind

Komentar