nusabali

Serba Beli, Kreativitas Jadi Mati

  • www.nusabali.com-serba-beli-kreativitas-jadi-mati

Upakara hendaknya dibuat sendiri. Sebab ada proses di dalamnya yang memberikan sebuah nilai.

Khidmat Perayaan Galungan di Era Milenial


HARI Raya Galungan, setiap Rabu atau Buda  Kliwon Dungulan (setiap 210 hari), selal disambut riang meriah oleh umat Hindu di Bali. Sebelum era 1980-an, Galungan ditandai dengan keriangan umat beli baju baru, terutama anak-anak. Namun pada era milenial kini, kemeriahan Galungan ditandai peningkatan semangat umat untuk membeli upakara serba jadi. Intinya, hampir semua upakara Galungan serba beli.

Namun semangat serba beli ini makin memicu kekhawatiran pelbagai kalangan. Karena, jika semua serba beli, bagaimana dengan kreativitas generasi muda Hindu Bali yang nota bena sebagai pelanjut ‘tradisi’ ngagalung?

Prof DR Drh I Made Damriyasa, Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, mengiyakan kekhawatiran tersebut. Papar dia, hidup dalam era modern  dan industrial menjadikan semua orang dituntut bergerak cepat. Orang Bali juga tak luput dari hukum perubahan serba cepat tersebut. Namun demikian, tak semua harus larut dalam arus perubahan itu. Dalam skup yang lebih sempit,  tradisi ngagalung, tak semua mesti dilakukan dengan ‘perayaan’ serba beli. Ada kebutuhan yang mesti dipenuhi dari semangat berkreasi. Misalnya, pengadaan pernak-pernik penjor dan perlengkapan lainnya. Bisa dimulai dari keluarga sendiri. “Saya sendiri, selalu melibatkan anak-anak untuk melakoni tradisi, seperti merangkai penjor,” ujarnya mencontohkan.

Kata Prof Damriyasa, untuk merangsang kreavitas anak-anaknya dan bertradisi ngagalung, salah satunya dengan penyiapan peralatan penjor. “Dengan penjor bikinan sendiri, lebih terjamin kesuciannya,” tambahnya.

Papar Prof Damriyasa, kemajuan industri tak semestinya dijadikan alasan untuk menggusur tradisi maupun kearifan lokal Bali. “Justru kemajuan industri bisa dimanfaatkan untuk memperkuat kearifan lokal dan tradisi,” jelasnya.

Sebab Negara-negara maju pun amat taat dengan kearifan lokalnya. Di antaranya, Jerman, Jepang, India, China dan lainnya. China dan Jepang misalnya, sukses bagaimana mengglobalkan tulisan mereka, dengan kemajuan teknologi.

Pandangan senada disampaikan Ketua PHDI Bali Prof DR I Gusti Ngurah Sudiana. “Memang perubahan adalah pasti,” ujarnya, saat dihubungi terpisah. Menurutnya, perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap laku tradisi ngagalung orang Bali, dari era sangat agraris ke industri.  “Kalau mau menanam bambu misalnya, terbentur lahan yang semakin sempit. Demikian juga waktu yang juga terbatas, karena faktor kesibukan,” paparnya.  Karena itu, Ngurah Sudiana memaklumi adanya sebagian masyarakat yang terpaksa harus mendapatkan bahan dan perlengkapan Galungan dengan serba membeli.

Namun ia menekankan, membuat dan mengkriya sendiri upakara Galungan, tentu lebih ideal dibanding membeli. “Nilainya lain, ada karma yoga   dan ada unsur sundaramnya,” jelasnya. Ngurah Sudiana sangat yakin, masih banyak pendukung  ngagalung yang bisa disiapkan sendiri, tanpa harus membeli. Misalnya, untuk penjor, seperti dedauan macam don girang, endong, sampyan tentunya masih bisa dibuat di rumah sendiri. “Jadi sebagian masih bisa didapat, tanpa harus membeli,” ujar Sudiana.

Namun ia bersyukur karena perayaan Galungan dari waktu ke waktu semakin khidmat. Tempat suci atau pura dijejali umat, ada selipan dharma wacana, dan perayaan Galungan semakin tertib.  

Sementara itu, Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, upakara serba beli tidak mungkin bisa dipungkiri. Sebab kesibukan saat zaman dahulu dengan sekarang berbeda. "Kalau dulu zaman agraris banyak waktu luang yang ada, sehingga bisa membuat upakara. Sekarang zaman industri, semuanya berkarir, jadi tidak semua upakara yang bisa dibuat. Ini memang tidak bisa dipungkiri," ujarnya, Sabtu (22/12).

Meski di satu sisi meningkatkan perekonomian masyarakat karena terjadi perputaran ekonomi bagi yang menjual upakara, namun seyogyanya menurut Pinandita Swastika, upakara hendaknya dibuat sendiri. Sebab ada proses di dalamnya yang memberikan sebuah nilai. Nilai ini yang dirasakan, dimengerti, dan dimaknai oleh si pembuat upakara.

"Nilai yang terkandung secara tattwa ketika kita membuat sendiri adalah ketulusikhlasan. Kalau beli sudah jadi, berarti kan tidak ada proses nilai-nilai ketulusikhlasan itu. Selain itu kesabaran, ketelitian, juga terlatih di sini. Lewat mejejahitan juga ada semangat gotong royong, ngumpul-ngumpul dengan keluarga," imbuhnya.

Pinandita Swastika menambahkan, jika umat terus menerus serba beli banten, dikhawatirkan juga akan mematikan kreativitas. Sebab mejejahitan sendiri adalah memgasah rasa dan seni. "Sudah pasti kreativitas tidak akan terasah karena jarang mejejahitan. Makanya terlihat dalam tetuasan itu, apakah bisa seni dan luwes nggak? Coba lihat di lis atau urasari itu, pasti terlihat bagaimana kreativitasnya," ungkapnya.

Sebagai sebuah saran, ia mengimbau kepada masyarakat, jika seandainya tidak bisa membuat secara keseluruhan, minimal tetap membuat beberapa bagian upakara, seperti misalnya canang sari. Ini agar tidak kehilangan intisari dari mejejahitan itu sendiri, yakni sebagai media pendidikan, kesabaran, dan keikhlasan. "Kalau tidak bisa membuat keseluruhan dari banten itu, minimal canang sarinya yang kita buat. Canang sari yang dibuat juga harus baik dan benar, tidak asal-asalan. *k17, ind

Komentar